Ketika Violetta Quinn, saudari kembar yang lembut dan penurut, ditemukan tak sadarkan diri akibat percobaan bunuh diri, Victoria Thompson tak bisa menerima kenyataan itu begitu saja. Tidak ada yang tahu alasan di balik keputusasaan Violetta, hanya satu kenangan samar dari sang ibu: malam sebelum tragedi, Violetta pulang kerja sambil menangis dan berkata bahwa ia 'Tidak sanggup lagi'.
Didorong rasa bersalah dan amarah, Victoria memutuskan untuk menyamar menggantikan Violetta di tempat kerjanya. Namun pencarian kebenaran itu justru membawanya ke dalam dunia gelap yang selama ini Victoria pimpin sendiri; Black Viper. Jaringan mafia yang terkenal kejam.
Di sanalah Victoria berhadapan dengan Julius Lemington, pemilik perusahaan yang ternyata klien tetap sindikat Victoria. Tapi ketika Julius mulai mencurigai identitas Victoria, permainan berbahaya pun dimulai.
Victoria masuk dalam obsesi Julius.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30. JULIUS, SEAN, DAN VICTORIA
Angin malam menerobos masuk melalui jendela pecah di ruang bawah tanah itu, membawa aroma logam, kayu tua, dan sedikit bau gosong dari lampu sorot yang sempat dipukul seseorang hingga padam. Sean berdiri mematung di ujung tangga, matanya menyipit tajam saat suara berdebam, diikuti hentakan keras seperti tubuh besar yang dihantamkan ke dinding, menggema dari lantai bawah. Suara itu hanya datang dari satu titik, bukan pertarungan kelompok, bukan desingan tembakan, melainkan ... keributan tunggal. Seseorang sedang mengobrak-abrik tempat ini.
Pikiran Sean segera terhubung pada yang tak mungkin. Dan ketika ia akhirnya menuruni tangga dengan cekatan, sepatu hitamnya menapaki anak tangga kayu yang sedikit berderit, naluri pemburu dalam dirinya langsung menyala.
Begitu sampai di lantai dasar, pemandangan itu membuat darahnya mendidih.
Tiga penjaga kepercayaan Sean tergeletak di lantai, tubuh besar mereka tak bergerak. Yang satu wajahnya lebam parah, yang lain tampak tak sadarkan diri dengan lengan terpelintir pada posisi yang mustahil. Kursi terbalik, meja terhempas ke samping, dan salah satu lampu gantung bergoyang tak stabil, seolah habis dihantam barang berat.
Dan tepat di tengah ruangan yang kacau itu, berdiri seseorang yang seharusnya tidak mungkin ada di sini.
Julius.
Berdiri tegak. Napas sedikit berat. Wajah penuh amarah gelap yang mengintai.
Sean menegang. Tubuhnya bergerak lebih cepat daripada pikirannya. Dalam satu tarikan napas, ia mengangkat pistolnya dan menodongkan ujung moncongnya langsung ke kepala Julius.
"Apa yang kau lakukan di sini?" suara Sean rendah namun menggelegar. "Dan bagaimana sialan kau bisa tahu tempat ini?!"
Julius perlahan melirik ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada penjaga lain yang masih sadar. Kemudian ia mengangkat dagunya sedikit, gerakan kecil, tapi penuh penghinaan.
"Aku hanya mengambil kembali apa yang seharusnya milikku." Julius berjalan selangkah maju. "Victoria."
Nama itu menusuk udara dingin seperti belati.
Rahang Sean mengeras begitu kuat sampai terdengar bunyi gemeretak. "Kau menyentuh Victoria, bahkan kau mendekatinya saja, aku akan membuatmu menyesal hidup."
Julius tertawa. Bukan tawa lebar. Lebih seperti tawa rendah, pendek, yang menggores telinga seperti sayatan tipis.
"Tempat ini ...." Julius mengayunkan tangannya pelan, menunjuk seisi ruangan tersembunyi Sean. "Kau pikir penyembunyian seperti ini cukup untuk menghentikanku? Sean, Sean ... kau sok pintar, tapi sebenarnya tidak tahu apa-apa."
Sean menggeram dalam dada. "Bicara yang jelas."
"Dengan senang hati." Julius mengangkat sebelah alis. "Aku tahu tempat ini bukan karena seseorang membocorkannya, tetapi karena kau sendiri yang terlalu percaya diri. Jejakmu, kebiasaanmu, tempat-tempat yang kau kunjungi, kau kira tidak ada yang memperhatikan? Percayalah aku hanya perlu sebuah laptop untuk melacakmu."
Sean memaki dalam hati. Ia biasanya sangat berhati-hati, dan fakta bahwa Julius bisa menembus ruang ini berarti Julius telah mengawasinya lebih lama dari dugaan.
Namun Sean tak akan menunjukkannya.
"Aku lebih terkejut," Julius melanjutkan, "karena kau tampak begitu yakin bahwa kau sudah menyingkirkan semua ancamanmu, padahal ancaman terbesar berdiri tepat di depanmu."
"Ancaman?" Sean mendecakkan lidah. "Kau? Kau hanya bocah Lemington yang tak punya otak. Kau besar karena nama, bukan kemampuan. Kau duduk di posisi tinggi DeLuca karena kau disuruh, bukan karena layak."
Kata-kata itu seperti bensin disiramkan ke api.
Julius tertawa sekali lagi, namun kini matanya berkilat dingin. "Kau benar-benar tinggi hati, Sean. Begitu tinggi sampai lupa bahwa ada orang yang lebih tinggi darimu. Orang yang memegang tali di atas kepalamu."
Sean mengangkat pistol sedikit, tepat di antara kedua mata Julius. "Dan siapa orang itu? Hah?"
Julius memiringkan kepala. Sudut bibirnya terangkat sinis.
"Kau begitu yakin yang membunuh Gerald Lemington adalah anak pertamanya?" ujar Julius.
Sean membelalak. "Apa maksudmu?"
"Oh?" Julius menatapnya dengan tatapan yang tajam dan jahat. "Kau benar-benar tidak tahu, ya?" Ia mendekat satu langkah lagi. "Semua kekacauan itu ... semuanya, Sean ... adalah ulahku."
Kata-kata itu menghantam Sean seperti palu.
"Tidak mungkin. Kau tidak kekuatan apa-apa," Sean menggeram.
"Tidak." Julius menunjuk dirinya sendiri. "Inilah wajah yang membuat keluarga Lemington jatuh, membuat perusahaan itu hampir runtuh, membuatmu kehilangan kendali. Dan sekarang aku datang untuk tujuan terakhirku."
"Apa tujuanmu?" Sean memaksa suaranya tetap stabil.
Julius tidak berkedip saat menjawab.
"Menghancurkanmu Karena kaulah otak terbunuhnya orang tuaku. Maulah penghasutnya. Yang membuat pria tua Lemington itu membunuh anaknya sendiri," geram Julius.
Dunia seakan berhenti berputar selama satu detik.
Sebelum logika sempat menyusun ulang potongan-potongan informasi itu, Sean langsung mengangkat senjata dan menembak.
Dor!
Tembakan meledak keras, menggema ke seluruh ruangan.
Namun Julius sudah bergeser cepat, begitu cepat hingga peluru meleset dan menghantam pilar kayu di belakang. Serpihan kayu terbang, lampu gantung berayun makin liar.
Julius meraih meja terdekat, menggunakannya sebagai tameng, lalu mendorongnya keras ke arah Sean. Sean menghindar tepat waktu, tapi itu cukup memberi Julius kesempatan untuk menyerang. Ia berlari, melompat, dan menabrak Sean dari samping.
Mereka berdua terjatuh ke lantai dengan hentakan keras.
Pistol Sean terlempar menjauh, memantul di lantai sebelum berhenti di dekat tangga.
"Dasar bajingan!" Sean menghantamkan sikunya ke rahang Julius.
Julius membalas dengan memukul tulang rusuk Sean, membuat pria itu meringis pendek. Mereka bergulat, tubuh mereka memantul ke dinding dan lantai, saling mengunci, saling mencoba merebut dominasi. Julius mencoba melingkarkan lengan ke leher Sean, tapi Sean lebih gesit. Ia membalikkan tubuh Julius, memutar posisi, dan menghantamkan punggung pria itu ke lantai.
Julius mengerang, namun sebelum ia sempat bangkit, Sean menindihnya dengan berat penuh dan menekan kedua lengannya.
"Katakan lagi," Sean mendesis. "Coba katakan lagi kalau kau ingin menghancurkanku."
Julius mendengus, memuntahkan darah dari bibirnya yang pecah. "Dengan senang hati, Sean. Aku akan-"
Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari arah tangga.
"Sean?"
Suara itu sangat lembut, sangat familiar, namun justru membuat hati Sean berhenti berdetak.
Victoria.
Sean menoleh cepat.
Victoria berdiri di ujung tangga, pakaiannya sedikit kusut, rambut panjangnya jatuh berantakan di bahunya. Wajah Victoria tegang, matanya membelalak ketakutan melihat ruangan yang porak poranda.
"Sean?" panggil Victoria lagi, mencari keberadaan Sean. Turun ke lantai bawah.
Dan Victoria menatap langsung pada pistol yang tergeletak tak jauh darinya.
Sial! umpat Sean dalam hati.
"Victoria?!" Sean berteriak, suara panik merayapi tepinya. Ia berdiri secepat mungkin. "Jangan sentuh itu-"
Namun Victoria sudah menunduk dan meraih pistol itu terlebih dahulu. Menggenggamnya erat.
Jantung Sean seperti diremas.
"Victoria! Berikan itu padaku!" raung Sean.
Victoria terkejut melihat Sean, namun keterkejutannya berubah menjadi horor murni ketika ia melihat sosok Julius bangkit di belakang Sean, berlari ke arah mereka dengan amarah membara.
"VICTORIA?!" Julius berteriak. Suaranya keras, kasar, dan penuh kepemilikan.
Victoria mundur selangkah, menggenggam pistol itu erat-erat. Wajahnya takut akan situasi yanh terkesan tegang ini.
"Victoria?" Sean mencoba dengan suara yang lebih lembut. "Lihat aku. Berikan itu padaku."
Victoria tidak bergerak. Napasnya kacau. Tangannya gemetar. Namun ia tidak lari.
Ia membiarkan Sean mendekat.
Dan ketika Sean sudah cukup dekat, Victoria menyerahkan pistol itu kepadanya. Sean segera menarik Victoria ke dalam pelukan, menyembunyikannya di balik tubuh pria itu.
"Apa yang terjadi?" Victoria berbisik kecil, takut. "Sean-"
Namun sebelum ia selesai bicara ...
"SEAN! AWAS!" Victoria berteriak, mendorong Sean keras ke samping.
Sean tersentak mundur.
Julius sudah berada tepat di depan mereka, tangannya terulur ke arah Victoria. Dan menangkap Victoria dalam kukungan tangannya.
Raungan Sean memenuhi ruangan. "JANGAN SENTUH WANITAKU!"
Namun Julius menyeringai seraya meletakkan tangannya di leher Victoria dan meremasnya.
"S-Sean ..." panggil Victoria yang kesulitan bernapas.
Sean menatap murka Julius.
happy ending 👏👍
terimakasih thor, sukses dgn karya-karyanya di novel 💪
S
E
H
A
T
SELALUUU YAAAA💪💪💪💪❤️☕️
Hanya kamu yang tau thoorrr...
q suka....q suka...q suka
tarik siiiiiiisssss💃💃💃💃
Violetta Henry
wkwkwk
bener² kejutan yang amat sangat besaaarr...
kusangka hanya PION dr SEAN...nyata oh ternyata...daebaaaakkkk👏👏👏👏👏👏👏
kebuuut sampai 400 episode thooorrr...
bagis banget alur cerita ini...☕️☕️☕️
lanjutin Thor semangat 💪 trimakasih salam 🙏
eh, ngomong² gmn tuh dgn Sean skrg
Sean dah dipenjara, semoga aja gak bikin ulah lagi, tapi kayaknya gak bisa diem deh Sean