Dua tahun menjadi istri dari pria cuek nan dingin yang tak pernah mencintaiku, aku masih bersabar dalam pernikahan ini dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban untuk hubungan kami.
Tetapi, batas kesabaranku akhirnya habis, saat dia kembali dari luar kota dengan membawa seorang wanita yang ia kenalkan padaku sebagai istri barunya.
Hatiku sakit saat tahu dia menikah lagi tanpa izin dariku, haruskah dia melakukan hal seperti ini untuk menyakiti aku?
Jujur, aku tak mau di madu, meskipun awalnya aku meyakinkan diriku untuk menerima wanita itu di rumah kami. Aku memilih pergi, meminta perpisahan darinya karena itulah yang ia harapkan dariku selama ini.
Aku melangkah pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kupikir semua sudah berakhir begitu aku pergi darinya, namun sesuatu yang tak terduga justru terjadi. Ia tak mau bercerai, dan memintaku untuk kembali padanya.
Ada apa dengannya?
Mengapa ia tiba-tiba memintaku mempertahankan rumah tangga kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyesalan
Beberapa jam kemudian…
Alden keluar dari kamarnya setelah merasa jauh lebih baik dari semalam. Ia melewati Serena begitu saja tanpa sepatah kata pun, padahal wanita itu sedang rebahan santai di tempat tidur mereka, memainkan ponsel di tangannya.
Serena sempat melirik sekilas, tapi tak menggubris saat Alden terus berjalan tanpa bicara. Mungkin dia mengira Alden hanya ingin ke dapur atau ke kamar mandi.
Namun tidak. Langkah Alden justru semakin cepat saat mendekati kamar Naysila. Ada perasaan tak tenang yang menyesakkan dadanya, setelah pembicaraan terakhir dengan wanita itu, sebuah firasat yang tak bisa ia abaikan. Tangannya mengepal saat akhirnya tiba di depan pintu kamar Naysila. Ia mengetuknya dua kali.
Tok, tok, tok!
Sunyi.
Tak ada suara dari dalam. Alden pun perlahan memutar kenop pintu dan mendorongnya terbuka.
Dan benar saja.
Kamar itu kosong.
Tempat tidurnya rapi, tidak ada koper, tidak ada pakaian, tidak ada aroma khas yang biasa ia hirup setiap kali Naysila berada di sana. Seolah wanita itu memang benar-benar telah pergi, atau bahkan tak pernah ada di kamar itu.
Alden melangkah masuk, matanya menyapu seluruh ruangan. Napasnya tercekat saat pandangannya tertumbuk pada meja di samping tempat tidur. Di sana, tergeletak benda kecil yang begitu familiar, cincin kawin mereka.
Dan di di bawahnya, sepucuk surat.
Dengan tangan gemetar, Alden mengambil kertas itu dan membacanya. Tulisan tangan Naysila yang lembut menyapa matanya, namun kata-katanya menghujam jantungnya.
Mas Alden…
Maaf kalau aku pergi tanpa pamit langsung. Aku tidak ingin menangis di hadapanmu, karena aku tahu aku akan lemah lagi. Aku takut tidak bisa pergi, mengingat begitu besarnya cintaku padamu.
Terima kasih karena pernah jadi bagian penting dalam hidupku, meski akhirnya kita harus memilih jalan masing-masing.
Aku tidak menyesal pernah mencintaimu, aku tidak menyesal pernah menjadi istrimu selama dua tahun ini. Tapi aku akan lebih menyesal jika terus bertahan di tempat yang tak pernah menginginkan diriku.
Maafkan untuk segala kesalahanku selama ini. Aku berharap kamu bisa memaafkanku dunia akhirat, agar tidak ada lagi rasa berat dalam hatiku setelah ini.
Jaga dirimu, dan semoga kamu menemukan kebahagiaan yang kamu cari selama ini.
—Naysila.
Alden menjatuhkan dirinya ke tepi ranjang, tangannya masih menggenggam surat itu. Ia mengambil cincin yang Naysila tinggalkan. Cincin itu telah dilepas dari jari manisnya, pertanda bahwa Naysila sudah ikhlas melepaskan dirinya, melepas hubungan yang rumit dan membuatnya menderita.
Matanya menatap kosong, dadanya sesak, tangannya menggenggam erat cincin kawin milik Naysila. Ia baru benar-benar merasakan kepergian itu sekarang, kehilangan yang nyata, bukan lagi ancaman.
Apa yang Alden harapkan sudah terjadi, Naysila pergi, mengalah untuk kebahagiaannya. Tapi Alden tak bahagia, ia justru merasa kehilangan separuh jiwanya.
Dan untuk pertama kalinya, Alden menyadari betapa ia telah menyepelekan sesuatu yang sangat berharga.
Terlambat.
Sangat terlambat.
Akhirnya, Alden menangis juga. Kepergian Naysila meninggalkan sesal mendalam di hatinya, yang membuatnya ingin waktu kembali ke hari di mana ia membawa Serena ke rumah dan memperkenalkannya sebagai madu bagi Naysila.
Andai saja itu terulang, Alden tentu tak akan pernah membawa wanita itu ke rumah mereka.
*
[Rumah orang tua Naysila]
Naysila duduk termenung di dekat jendela kamarnya, kini ia berada di rumah orang tuanya yang sederhana. Rumah yang selalu memberikan ketenangan dan juga tempat di mana ia bisa mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya.
Di rumah itu tidak akan pernah ada yang menyakitinya, tidak akan pernah ada yang menyepelekannya dan tidak akan pernah ada yang menganggapnya rendah. Orang tuanya sangat menyayangi Naysila, mereka selalu berusaha membuatnya tersenyum dikala sedih.
Meski begitu, pikiran Naysila tetap tertuju pada Alden, lelaki yang telah mengkhianati dirinya dan mengubah rumah tangga mereka menjadi neraka dunia baginya.
Perlahan air matanya menetes, ia tak bisa mencegahnya. Ingatan tentang momen pernikahan mereka yang sakral kini perlahan muncul. Momen yang menurutnya indah, di mana ia dan orang yang sangat dicintainya bersatu dalam ikatan pernikahan.
Dua tahun bukanlah waktu yang sebentar, banyak hal yang telah ia lalui bersama Alden walaupun sebagian besar hanya penderitaan batin. Naysila pernah berpikir bahwa hubungan mereka mungkin bisa dipertahankan, ia berpikir bahwa mungkin Alden bisa mulai menerimanya. Tapi semua hanya asa yang tak pernah menjadi nyata.
Ternyata cinta saja tidak cukup untuk membuat seseorang bertahan, apalagi jika hanya satu pihak yang terus berjuang.
Naysila menunduk, meremas ujung jilbabnya. Ia mencoba mengatur napasnya yang mulai memburu. Ada getir yang membekas dalam hatinya. Campuran antara kecewa, sayang, dan luka yang terlalu dalam untuk disembuhkan dalam waktu singkat.
"Ibu, aku ingin sendiri dulu ya..." ucapnya lirih saat sang ibu datang membawakan segelas susu hangat. Sang ibu hanya mengangguk penuh pengertian, mengelus punggung putrinya pelan sebelum meninggalkannya seorang diri.
Begitu pintu tertutup, Naysila membiarkan tangisnya pecah. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, membiarkan semua rasa sesak dan pilu itu tumpah ruah.
"Aku sudah mencoba segalanya, Mas..." gumamnya di antara isak. "Aku sudah berusaha... Tapi kamu malah memilih dia."
Lalu, dengan gerakan pelan dan berat, Naysila berdiri, berjalan menuju lemari kecil di sudut kamar. Ia membuka laci teratas dan mengambil sebuah album foto yang sudah lama tidak ia sentuh. Album foto itu adalah salinan dari album foto pernikahan mereka, di mana dua keluarga menyimpan album foto pernikahan tersebut masing-masing satu untuk kenang-kenangan.
Di halaman pertama, terpampang foto pernikahan mereka. Ia terlihat sangat bahagia dalam balutan kebaya putih dan jilbab yang dihiasi bunga kantil dan mahkota kecil, sementara Alden tersenyum tipis di sampingnya, senyum terpaksa yang dibuat karena permintaan orang tuanya.
Air matanya kembali jatuh, membasahi foto yang masih ia genggam.
"Saya terima nikah dan kawinnya, Naysila Paramitha binti Bapak Ali Rusmana dengan mas kawin tersebut di bayar tunai!"
"Wah, akhirnya Naysila dan Alden resmi menikah. Kita pasti akan segera dapat cucu!"
"Mereka sangat serasi, cantik dan tampan. Rumah tangga mereka pasti akan bahagia dan sempurna!"
"Naysila beruntung dapat suami yang tampan, kaya raya dan baik. Aku jadi ingin seperti dia!"
Kalimat-kalimat itu terngiang di telinganya dengan jelas, kalimat-kalimat menyenangkan yang ia dengar dari kilasan momen itu.
Suara Alden saat melafazkan ijab qobul, suara kebahagiaan orang tua mereka dan suara orang yang memuji pernikahan keduanya.
Saat itu terasa sangat membahagiakan. Semua orang kagum akan pasangan Alden dan Naysila, tak sedikit dari mereka yang mengaku iri pada nasib mujur Naysila.
Namun kemudian, ia menarik napas panjang. Ia tahu, ia tidak bisa terus seperti ini. Tidak harus mengingat masa lalu yang sudah seharusnya ia lupakan.
Kehidupan harus berjalan, dan luka ini harus ia sembuhkan, meski perlahan, meski tertatih. Ia harus mulai menata hidupnya kembali, bukan untuk Alden, tapi untuk dirinya sendiri.
"Mulai hari ini… aku akan belajar bahagia tanpa kamu, Mas."
Dengan kalimat itu, Naysila menutup album foto dan mengembalikannya ke dalam laci. Ia menatap bayangannya di kaca jendela, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia melihat sosok perempuan kuat yang pernah ia banggakan, dirinya sendiri.
*
[Malamnya]
Sementara itu, di rumah yang dulu mereka tempati bersama, Alden duduk termenung dengan mata sembab, surat dari Naysila masih tergenggam di tangannya. Malam telah tiba, tapi rumah itu terasa lebih dingin dari biasanya, seperti kehilangan nyawanya.
Alden pun tak beranjak dari kamar Naysila, tubuhnya terasa berat meninggalkan kamar itu.
Ia akhirnya beranjak, membuka lemari di kamar Naysila, berharap menemukan sesuatu yang tertinggal. Tapi tak ada. Semua milik Naysila telah lenyap, seakan wanita itu benar-benar telah menutup bab kehidupannya di sana.
Dan di sanalah Alden berdiri, sendiri, dikelilingi oleh sisa-sisa kenangan Naysila yang tak bisa ia pulihkan.
Serena yang berdiri di ambang pintu hanya menatapnya dengan tatapan rumit. Ia tahu, ia tak akan pernah bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Naysila.
"Al..." panggil Serena pelan. Tapi Alden tak menoleh. Hanya gumaman lirih yang keluar dari bibirnya, hampir tak terdengar.
"Aku kehilangan segalanya."
*****