Zona Khusus Dewasa
Adriel (28), sosok CEO yang dikenal dingin dan kejam. Dia tidak bisa melupakan mendiang istrinya bernama Drasha yang meninggal 10 tahun silam.
Ruby Rose (25), seorang wanita cantik yang bekerja sebagai jurnalis di media swasta ternama untuk menutupi identitas aslinya sebagai assassin.
Keduanya tidak sengaja bertemu saat Adriel ingin merayakan ulang tahun Drasha di sebuah sky lounge hotel.
Adriel terkejut melihat sosok Ruby Rose sangat mirip dengan Drasha. Wajah, aura bahkan iris honey amber khas mendiang istrinya ada pada wanita itu.
Ruby Rose tak kalah terkejut karena dia pertama kali merasakan debaran asing di dadanya saat berada di dekat Adriel.
Bagaimana kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yita Alian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 ACICD - Kekacauan di Prime Twenty Two
McLaren 720s berwarna hitam metalik berhenti tepat di area parkiran privat klub Prime Twenty Two. Pintu gullwing terbuka ke atas dan Adriel turun dengan gerakan tenang penuh wibawa dari dalam.
Tanpa terburu-buru, dia menutup pintu mobil lalu merapikan kancing jasnya, menyatukannya dengan satu sentakan ringan.
Dua staf keamanan klub yang menjaga jalur privat segera menundukkan kepala. "Selamat malam, Tuan Muda Adriel."
Adriel hanya memberi anggukan tipis.
Mereka tentu kenal dengan Adriel. Bukan karena Adriel terkenal sebagai CEO dingin dan kejam, melainkan karena Adriel adalah sahabat pemilik klub itu. Theo.
Lanjut, Adriel terus melangkah, sepatu kulitnya berdentum lembut di lantai marmer hitam, memasuki koridor khusus eksekutif.
Tak lama kemudian, dia tiba di ruangan VVIP yang senyap dan beraroma whiskey premium. Di dalam, seorang detektif sudah menunggu, duduk dengan punggung tegang.
Begitu melihat sosok Adriel muncul dari balik pintu, detektif Handri refleks berdiri.
"Pak Adriel… akhirnya Anda datang."
Adriel melangkah masuk tanpa mengubah ekspresi. Tatapannya dingin, penuh ketegasan yang membuat siapapun sulit bernapas di hadapannya.
"Silakan duduk dan katakan apa yang harus Anda katakan pada saya, Detektif Handri," ujar Adriel begitu duduk.
Udara langsung berubah tegang.
"Sebenarnya ada petunjuk baru yang ditemukan di kasus penembakan mendiang Nona Drasha, Pak Adriel."
Sorot mata Adriel meruncing. "Jadi apa yang kalian sampaikan pada saya pagi tadi… semuanya bohong?"
"Tidak, Pak, semuanya benar. Hanya saja mengenai petunjuk baru itu sengaja tidak disampaikan pada Anda. Karena memang institusi mau menutup kasus itu."
"Alasannya?"
"Saya tidak tahu pasti, Pak. Saya hanya tidak sengaja mendengar kalau atasan meminta peluru yang menyerang mendiang Nona Drasha diamankan."
"Petunjuknya berhubungan dengan peluru itu."
"Benar, Pak." Detektif Handri mengangguk. Tidak salah di umur yang masih terbilang muda Adriel sudah jadi CEO yang sukses. Lihat saja, bagaimana dia cepat menganalisis penyampaian detektif Handri.
"Bukannya pihak FBI saja tidak bisa melacak peluru itu."
"Iya, Pak. Tapi, ternyata setelah saya selidiki sendiri, peluru itu sama persis dengan peluru yang menewaskan asisten pribadi Tuan Narendra Alveroz, om Nona Drasha."
Adriel terdiam sejenak. Dia teringat sekitar 12 tahun silam, Drasha ingin dibunuh oleh Trevon tapi berakhir pria itu yang ditemukan tewas tertembak di kepala.
"Kasus itu juga ditutup tiba-tiba, bukan?" Adriel melirik detektif Handri.
"Benar, Pak, makanya saya menyelidikinya juga dan menemukan kalau pelurunya sama persis." Pria berkumis tipis itu mengeluarkan hape dari jaketnya. Berkutat sejenak, lalu mendorongnya di permukaan meja dengan kedua tangan.
"Saya diam-diam memotret kedua peluru itu, Pak."
Adriel meraih hape tersebut dan memindai kedua gambar peluru yang benar-benar sama persis itu.
"Kemungkinan orang yang menembak Trevon sama dengan orang yang menembak mendiang istri saya," ujar Adriel dingin.
"Saya berpikir demikian, Pak," ucap detektif Handri.
Adriel menarik napas tipis. Tatapannya semakin runcing.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di sisi lain, akhirnya semua detail tentang club Prime Twenty Two sudah berada di kepala Ruby seperti denah terbuka. Dia bahkan sudah mengantongi akses privat yang dia dapatkan dari seorang staf yang Ruby buat tak sadarkan diri beberapa saat tadi.
Wanita cantik itu kemudian memasuki koridor servis, menuruni tangga sempit yang hanya diperuntukkan bagi staf.
Di atas ruangan VIP targetnya, ada sebuah mezzanine teknisi, dipenuhi kabel, panel kontrol audio dan kisi-kisi ventilasi lebar yang menghadap langsung ke ruangan di bawah. Tempat yang sempurna untuk menembak tanpa terlihat oleh siapapun.
Ruby berhenti di bayangan rak peralatan. Napasnya tenang.
Lalu dia membuka tas makeup kecil berwarna merah metalik. Di mata siapapun, itu hanya pouch kosmetik mahal. Namun di dalamnya terdapat komponen-komponen kecil yang bisa membentuk senjata mematikan.
Ruby mulai merakit. Bagian-bagian mini tersebut dia satukan dengan gerakan stabil, presisi, tanpa suara.
Dalam waktu kurang dari tiga puluh detik, alat itu sudah berubah menjadi pistol rakitan ultra-ramping bersuppressor.
Dari celah kisi, Ruby bisa melihat langsung ke bawah. Sebuah ruang VIP dengan sofa beludru, dinding kaca hitam dan meja marmer mahal.
Di sana, targetnya, Dante Castellano, si kepala bandar narkoba dengan tubuh besar bertato dan cincin emas berkilauan, sedang merangkul dua wanita yang memakai dress minim bahan. Ada dua bodyguard yang berdiri di belakang Dante.
Pria itu tertawa lalu menyesap gelas whiskey yang dipegang salah satu wanitanya. Dia sama sekali tidak sadar bahwa beberapa meter di atasnya, seseorang memantau.
Sementara itu, bass club Prime Twenty Two menghentak keras, membuat lantai sedikit bergetar. Lampu-lampu berputar liar mengikuti musik.
Ruby menemukan angle posisi menembak yang sempurna. Dia kemudian mengangkat pistol rakitannya perlahan, merunduk tenang seperti bayangan. Matanya mulai membidik.
Lalu –
Begitu momennya tiba, saat Dante mengangkat cerutu, menengadahkan kepala sedikit, disitulah Ruby menembak.
Tembakannya hampir tak terdengar karena tenggelam oleh dentuman musik.
Pssst!
Peluru menembus bagian samping kepala Dante. Merah segar langsung memercik ke meja marmer.
Cerutunya jatuh.
Dante terhuyung lalu jatuh keras ke lantai.
Dua wanita di sebelahnya berteriak sampai suaranya pecah.
"AAAAA!!!!"
"TOLOOOONGGG!!!"
"D–DIA KENA TEMBAK! DANTE KENA TEMBAK!!"
"PANGGIL POLISI!"
Tubuh VIP lain panik mundur dari sofa. Bodyguard Dante langsung merunduk sambil mencabut pistol.
"CARI PENEMBAKNYA!" teriak salah satu bodyguard. "CEPAT!"
Musik club berhenti mendadak karena DJ mematikan sound saat melihat keributan. Lampu berubah menjadi putih terang.
Informasi mengenai penembakan itu menyebar cepat seperti virus. Dalam hitungan detik, suasana club Prime Twenty Two berubah menjadi kacau. Orang berlarian, teriak, kursi jatuh, kaca pecah, alarm membelah udara.
Di momen yang sama, Hougan masuk tiba-tiba ke ruangan VVIP tempat Adriel dan detektif Handri berada.
Napasnya terengah.
"Ada apa?" tanya Adriel.
"D-di salah satu ruangan VIP ada yang kena tembak, Pak."
Detektif Handri beranjak cepat dan segera berlari keluar setelah izin pada Adriel.
"Pak, sebaiknya kita pergi dari sini," saran Hougan. "Pasti penembaknya masih berkeliaran."
"Kalau dia muncul, saya akan melawannya, Hougan," Adriel mengabaikan saran Hougan dan berjalan melewati sang asisten.
Di sisi lain, Ruby memundurkan diri dari kisi-kisi mezzanine. Tembakan para bodyguard Dante terdengar. Wanita itu terus bergerak cepat, terlatih, seperti bayangan yang tahu persis ke mana harus melompat.
Dia lalu mendarat di balik rak peralatan, melepas laras kecil dari pistol rakitannya, memasukkannya kembali ke pouch makeup seolah itu hanya compact powder biasa.
Ruby turun lewat tangga servis, namun begitu mencapai pintu akses samping, rencananya buyar.
Empat staf keamanan berdiri menghadang, seperti tembok hidup.
"Itu dia!"
"Penembaknya!"
Keempat staf itu bergerak maju ingin menangkap Ruby. Tapi wanita cantik itu tidak tinggal diam.
Dengan satu gerakan kilat, sikunya menghantam tenggorokan pria pertama.
"Arghh!"
Yang kedua mencoba meraih lengan Ruby, tetapi dia memutar tubuh, menendang lutut staf out hingga terdengar krak kecil. Tulangnya mungkin patah.
Dua lainnya maju bersamaan, tapi Ruby meraih bahu salah satu, memutarnya sebagai tameng sebelum mendorongnya keras ke dinding. Pria terakhir mencoba menahan, namun Ruby menyabet hidungnya dengan pukulan palm strike yang membuat pria itu tersungkur.
BRUKKK!
Empat orang itu tumbang dalam waktu singkat oleh Ruby. Dia lanjut berlari meski tahu kalau seluruh staf keamanan klub ini dan bodyguard Dante pasti menargetkan Ruby.
Pokoknya dia harus keluar dari sini tanpa ketahuan. Dia The Silent Belle. Bisa hancur reputasinya sebagai assassin top tier kalau dia sampai tertangkap.