Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.
Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Dosen Umar duduk terpaku di ruang kerjanya, tatapannya kosong menatap tumpukan dokumen di atas meja. Namun, pikirannya melayang jauh, berputar dalam kekalutan yang tak kunjung usai. Ia menghela napas panjang, dada bergetar menahan penat yang membelit.
“Ini bukan hidup yang kubayangkan,” gumamnya lirih.
Hatinya lah yang sudah lama terpaut pada Nay, wanita sederhana yang selalu hadir dalam mimpinya, yang ia harap bisa berdiri di sisinya, menjadi ibu bagi anak-anaknya. Cintanya padanya tulus dan dalam, tanpa hiasan. Tapi lalu, kenapa Citra harus hadir? Wanita itu bukan sekadar nama, melainkan ikatan yang telah diatur keluarga, tunangan yang dipilih karena pesantren dan tradisi. Umar merasakan amarah dan kecewa berkelindan, seperti terperangkap dalam cerita yang bukan ia tulis sendiri.
Umar duduk terdiam di sudut ruangan, matanya menatap kosong ke arah luar jendela. Jari-jarinya menekan-nekan lengan kursi seolah berusaha meredam kegelisahan yang menggebu dalam dada. Bayangan Citra dan Nay bergelayut di pikirannya, dua sosok yang berperang dalam hatinya tanpa kompromi.
Citra, istri yang telah lama menjadi tanggung jawab, hadir dengan kesetiaan dan janji-janji yang terikat. Sedangkan Nay, mengisi relung hati terdalam, membawa gairah yang tak bisa ia abaikan. Umar menghela napas panjang, dadanya sesak oleh rasa bersalah yang menusuk, seperti tali tambang yang semakin erat melilit pergelangan tangannya setiap kali ia mencoba melepaskan diri.
"Kenapa aku harus mencintai dua wanita sekaligus?" gumamnya pelan, bibirnya bergetar tanpa suara.
"Apakah aku pengecut karena meragukan peran Citra dalam hidupku? Ataukah aku berdosa menolak takdir yang sudah ditetapkan?"
Tangan Umar mengepal, menahan amarah sekaligus kepedihan yang sulit dijelaskan. Hatinya bertempur dalam sunyi, menyingkap pertanyaan tanpa jawaban. Ia tahu, jalan hidup yang ia pilih bukanlah yang mudah, tapi rasa ini entah bagaimana mengikatnya tanpa bisa ia lepaskan.
Dosen muda itu menatap layar laptop dengan mata kosong, seolah sudah lelah menangkap bayangan apa pun. Pikirannya justru melayang jauh, menyusuri lorong perasaan sedih yang mengekang sejak malam tadi. Hatinya terasa terjerat, seperti tali yang semakin mengikat kuat tanpa bisa lepas.
"Umar bodoh," gumamnya pelan, suara itu seperti memukul dirinya sendiri.
Penyesalan merayap pelan, tak mampu membalikkan kenyataan pahit: dia terperosok dalam permainan Citra, istri keduanya yang penuh tipu daya. Dalam dadanya hanya ada Nay, istri pertama yang selama ini jadi raja hatinya. Lalu mengapa dia bisa melemah begini? Malam itu, Citra menyerahkan dirinya pada sesuatu yang tak seharusnya, dan bahkan saat Umar ikut menyerah, pikirannya berkelana membayangkan Nay, sebuah ilusi yang mengiris hati.
"Astagfirullah, seburuk itukah aku?" tanyanya dalam hati, penuh perih. Berkhianat pada wanita yang dia cinta demi bayang-bayang di tubuh orang lain, sepertinya itu kenyataan paling pahit yang harus dia telan.
Langkah kaki mendadak menghentikan lamunannya. Airin, rekan dosen yang sudah akrab dengannya, melangkah masuk ke ruangan Umar dengan senyum ringan menghiasi bibirnya. Senyum itu seharusnya menghangatkan, tapi justru menekan hati Umar semakin dalam. Ia menggigit bibir bawah, ragu apakah harus menceritakan semuanya.
"Kalau aku bilang, bebanku ini akan terasa lebih ringan nggak, ya?" pikirnya, tapi ketakutan menjalari dada. Ia ingin, hanya sekali saja, melepas semua kekacauan yang menumpuk. Namun, hatinya bergelut, tak tahu mana yang benar, mana yang salah.
"Halo, pengantin baru. Kok wajahnya muram gitu, sih?" goda Bu Dosen Airin sambil duduk di kursi, senyumnya penuh keisengan tapi juga perhatian, mencoba mencairkan keheningan. Umar menghela napas panjang, menahan berat rasa yang berputar di kepalanya, berusaha merangkai kata agar bisa membuka segala beban yang selama ini tersembunyi.
Pak Umar duduk termenung, matanya menatap kosong ke arah luar jendela yang buram oleh hujan. Suaranya keluar datar, hampir seperti bisikan yang dipaksa tertahan.
“Saya kira setelah menikah, hidup bakal penuh nikmat dan indah bersama Nay, istri kesayangan...” ucapnya pelan, jari-jari gemetar ringan di atas meja kayu. Mendengar itu, Bu Airin mengerutkan kening, wajahnya berubah serius. Ia menyandarkan tubuh ke kursi, langkahnya melembut, suaranya penuh perhatian.
“Ada apa, Pak Umar? Apa sedang ada masalah dengan Nay?” tanyanya dengan nada hangat, seolah berusaha menangkap kegelisahan yang tersimpan.
Pak Umar menggeleng cepat, tersenyum kecil tapi senyum itu tampak seperti topeng yang retak, tak mampu menutupi bayang-bayang kecemasan di matanya. Namun setiap kali menyebut nama Nay, wajahnya seolah menemukan celah cahaya, menjadi cerah dan penuh harap.
“Bukan, bukan itu, Bu Airin. Nay tetap segalanya untuk saya,” jawabnya lembut, namun suara itu menyimpan kepedihan yang tak terucap.
Bu Airin mendekat, menatap dalam ke mata sahabatnya yang kini terdiam, menunggu jawaban yang lain. Pak Umar menarik napas dalam, menunduk ke meja seolah meraba-raba kekuatan untuk melanjutkan.
“Ini... baru awal perjalanan panjang, Bu. Banyak ujian yang harus kami lewati.”
Pak Umar menunduk sejenak, matanya berkaca-kaca namun cepat-cepat disembunyikan di balik kacamata hitam yang sudah agak buram.
"Bu Airin," suaranya berat, hampir bergetar,
"saya ingin bercerita... tapi tolong, simpan ini rapat-rapat. Jangan sampai ada yang tahu."
Tatapan matanya penuh harap tapi juga mengambang gelisah, seperti mencari perlindungan di antara kata-kata. Bu Airin mengamati wajah pria di depannya, wajah yang biasanya penuh percaya diri dan tanpa cela tapi kini terpampang jelas beban yang sulit dijelaskan.
"Apa yang membuat Pak Umar seperti ini?" pikirnya. Dia menahan diri, tidak buru-buru memecah keheningan.
"Saya bisa dipercaya, kan, Bu?" Pak Umar menyandarkan punggung ke kursi, kedua tangan mengepal di pangkuan. Bu Airin mengangguk pelan, mencoba menebak arah pembicaraan,
"Apakah ini tentang dokter wanita yang kemarin datang ke kampus?" tanyanya dengan nada lembut, berharap setidaknya bisa sedikit mengurangi beban yang dirasakan Pak Umar.
Pak Umar mengangguk cepat, matanya berkedip gelisah seperti ada yang mengganjal di hati. Aku menahan napas, mencoba merangkai kata yang tepat.
“Sudah bisa ditebak, Pak Umar. Pasti dia sumber masalahnya, kan?” tanya Bu Airin dengan suara penuh keyakinan, tatapannya tak lepas dari wajah Pak Umar. Pak Umar mengalihkan pandang, bibirnya bergetar sedikit sebelum menggeleng pelan.
“Entahlah, Bu Airin,” jawabnya, tapi nada suaranya tercekik oleh keraguan yang sulit disembunyikan. Ia menunduk sebentar, kemudian menghela napas berat, seperti membawa beban lama yang tak ingin diceritakan.
“Sejak dulu, saya dan Citra memang dijodohkan orang tua kami. Hubungan mereka sangat dekat, bahkan bersahabat lama. Mereka sepakat menjodohkan kami supaya pesantren keluarga makin besar dan namanya semakin dikenal.”
Kata-katanya seperti menahan gejolak yang tak terucap, membuat suasana jadi makin berat.
Bu Airin terdiam sejenak, matanya menatap lurus ke depan seolah menimbang berat tiap kata yang baru didengarnya. Suaranya tetap lembut, tapi ada getar halus yang mengisyaratkan keraguan mendalam, bahkan sedikit keengganan yang ia coba sembunyikan.
“Jadi, akhirnya Anda menikah dengan dokter wanita itu tanpa sepengetahuan Nay?” tanyanya pelan, nada suaranya bergetar saat mengucapkan nama Nay. Dosen Umar mengangguk cepat, wajahnya menunduk penuh penyesalan.
“Astagfirullah... kasihan Nay,” gumam Bu Airin sambil menyeka ujung matanya.
“Rasanya aku ingin memeluk Nay sekarang,” tambahnya dengan suara serak, membuat Umar semakin terhanyut dalam kesedihan yang sama.
Umar duduk terdiam, wajahnya penuh kekhawatiran yang sulit disembunyikan.
“Bu Airin, saya takut suatu saat Nay tahu rahasia ini,” suaranya serak, tangan gemetar menangkup di pangkuan.
“Semalam... aku sepertinya terjebak perangkap Citra. Saat terbangun pagi tadi, aku baru sadar, aku sudah melakukan hubungan suami istri dengannya saat fajar.” Tatapannya lurus ke lantai, penuh rasa bersalah yang membebaninya.
“Itu membuat aku makin tercekik rasa bersalah pada Nay.” Mendengar itu, Bu Airin melemas, kedua lututnya nyaris tak kuat menahan beban. Matanya berkaca-kaca, seolah sudah menganggap Nay seperti adik kandung sendiri. Namun suaranya malah terdengar dingin, tajam menusuk.
“Kamu merasa bersalah karena itu dengan istri keduamu? Aku pikir, nanti kamu akan terbiasa. Sesak dan rasa bersalah itu akan hilang sendiri,” sindirnya, bibirnya membentuk garis tipis penuh kecewa.
Kata-katanya bukan hanya menusuk, tapi seperti pisau tumpul yang perlahan menekan dada Umar. Ia menarik napas dalam, namun ketidaknyamanan itu semakin melekat erat.
Umar menatap Airin dengan wajah penuh penyesalan, suaranya bergetar saat berkata,
"Tidak, jangan begitu, Bu Airin. Saya benar-benar menyesal atas apa yang terjadi pada Citra. Serius, Bu." Namun, dalam hati, dia tahu permintaan maafnya seperti melayang di udara—tak ada yang berubah.
Airin menarik napas panjang, dadanya naik turun pelan, seolah sesak itu takkan pernah pergi. Ia mendengus kecil, kedua lengannya disilangkan erat di depan dada, menahan gelombang kecewa yang tiba-tiba membanjiri ruang sempit itu. Matanya menyipit, penuh luka, tajam menusuk udara di antara mereka.
"Ya sudahlah. Semua sudah terjadi. Tidak bisa kita ulang kembali, bukan?" suaranya serak, mengeraskan nada. Setelah beberapa detik, Airin melunak sedikit dan mengalihkan pembicaraan.
"Boleh nggak kalau setelah ini aku main ke rumah Pak Umar? Aku ingin ketemu Nay. Kangen juga sama dia. Apalagi, sekarang Nay mulai sibuk ngajar, ya? Jadi jarang ikut Pak Umar ke kampus."
Ada kerinduan yang terselip di ujung kata-katanya, sekaligus keinginan tersembunyi untuk memperbaiki apa yang pernah retak di antara mereka.
Kata-kata Bu Airin tiba-tiba menyentak hatiku. Napasku tersendat, dada terasa sesak seolah ada sesuatu yang mengganjal. Mendengar nama Nay kembali, api kecil berkobar dalam relung jiwa campuran rindu yang menyesak, penyesalan yang membekas, dan keinginan kuat untuk memperbaiki semua yang sudah hancur. Aku menelan ludah, bibir mengeras seolah ingin menyimpan semuanya. Setelah itu, aku berdeham pelan.
"Boleh, Bu," suaraku terputus-putus, terasa berat.
"Saya malah senang, kalau Nay bisa kembali ceria setelah bertemu Bu Airin."
Mataku tertuju ke lantai, berharap Tuhan tahu betapa aku rindu melihat senyum tulus Nay yang dulu, senyum yang kini makin jarang kukenal, tertutup oleh luka yang kuberi.