Ini adalah kisah wanita bernama Ratih, yang pulang dari merantau tiga tahun yang lalu, dia berniat ingin memberi kejutan pada neneknya yang tinggal disana, namun tanpa dia ketahui desa itu adalah awal dari kisah yang akan merubah seluruh hidup nya
bagaimana kisah selanjutnya, ayok kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pena biru123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 30
Liontin Mata Ketiadaan yang ada di tangan Ratih terus memancarkan energi hitam yang menusuk, berjuang melawan cahaya kristal yang memancar lembut di gua. Di depannya, dua Penjaga Sejati —berjubah abu-abu dengan topeng tulang— berdiri tegak di tepi kolam, memblokir akses ke Liontin Ungu yang mengambang di atas air.
"Perpecahan adalah Keseimbangan," ulang Penjaga pertama, suaranya dingin dan mutlak. "Menyatukan Dua adalah Akhir. Kami tidak akan membiarkan Penciptaan dan Ketiadaan hancur di tanganmu, wahai Wadah."
Kata 'Wadah' itu menghantam Ratih lebih keras daripada bisikan Ketiadaan sebelumnya. Matanya menyala, tekad yang dipicu oleh kemarahan dan keraguan yang tertanam. Dia adalah seorang pejuang, bukan sekadar wadah.
"Kami datang untuk keseimbangan, bukan kehancuran!" balas Ratih, mengangkat Liontin Api Biru. Cahaya biru dan hitam kini bertabrakan di atas kepalanya, menghasilkan kilatan ungu yang keras.
Wijaya segera bergerak. "Dara, Jaya, ambil sisi kanan! Ratih, buat mereka sibuk. Aku akan mencari celah menuju Liontin Ungu.
Penjaga kedua mengangkat tongkatnya. Daripada menembakkan energi, tongkat itu menyerap cahaya dari kristal di sekitarnya, mengubahnya menjadi proyektil tajam berwarna ungu-kelabu.
"Serang!" teriak Penjaga itu.
Jaya dan Dara langsung bergerak. Jaya menarik belatinya, melemparkannya ke salah satu kristal raksasa untuk menciptakan pengalihan suara, sementara Dara, dengan lega karena sihirnya kembali, meluncurkan panah energi murni. Panah itu bertabrakan dengan proyektil kristal Penjaga, menghasilkan ledakan yang memekakkan telinga.
Sementara itu, Penjaga pertama fokus pada Ratih. "Kau lemah, Anak Manusia. Penuh dengan keraguan! Kami akan membebaskan Liontin itu darimu."
Dia mengulurkan tangan, dan energi ungu yang tebal terlepas dari topeng tulangnya, bukan untuk menyerang secara fisik, melainkan secara emosional. Ratih merasakan keraguan tentang Wijaya—kebohongan yang tidak diucapkan, janji yang rapuh—membanjiri pikirannya, melumpuhkannya. Liontin Mata Ketiadaan merespons, dan bergetar hebat.
Ratih jatuh berlutut, memegangi kepalanya. Bisikan-bisikan itu kembali: Kewajiban... Bukan Cinta... Dia akan membiarkanmu memudar...
"Ratih!" teriak Wijaya, melihat Ratih tertekan.
Ia tahu waktu bukan masalah. Dia harus bertindak sekarang. Wijaya bergerak mengitari tepi gua, menggunakan pilar kristal sebagai penutup. Dia tidak bisa bertarung melawan entitas kosmik ini, tetapi dia bisa mengalahkan mereka dengan kecepatan.
Jaya, yang melihat Wijaya bergerak, meneriakkan perintah kepada Dara. "Dara, buat ilusi cahaya! Beri kami tiga detik!"
Dara mengangguk, menyatukan energi ke dalam tongkatnya, dan melepaskan ledakan angin dan cahaya yang menyilaukan dan mengganggu. Cahaya ilusi menyambar kristal di dinding, melepaskan pantulan yang membingungkan Penjaga.
Dalam tiga detik itu, Wijaya meluncur di tepi kolam, langsung menuju Liontin Ungu yang mengambang.
Penjaga pertama, yang baru saja pulih dari serangan Dara, berbalik dengan marah. "Kau tidak akan menyentuhnya!"
Penjaga itu menembakkan energi ungu langsung ke punggung Wijaya.
"Wijaya, awas!" teriak Ratih, yang kini berjuang berdiri, melampaui rasa sakit emosionalnya. Dia mengangkat kedua Liontin itu di depannya. Liontin Api Biru dan Mata Ketiadaan bereaksi dengan marah, menciptakan perisai singkat dari energi campuran yang berwarna abu-abu.
Serangan Penjaga menghantam perisai Ratih, menyebabkan Ratih terlempar ke belakang dan menghantam tumpukan kristal di dinding. Kedua Liontin itu terlepas dari genggamannya dan melayang ke udara.
Namun, pengalihan itu berhasil.
Wijaya mencapai kolam, melompat, dan dengan ujung pedangnya, dia berhasil menyentuh Liontin Ungu!
Liontin Ketiga Bersatu
Saat Wijaya menyentuh Liontin itu, Liontin Ungu merespons. Sinar ungu yang kuat menembus udara, menarik Liontin Api Biru dan Liontin Mata Ketiadaan dari tempatnya.
Tiga Liontin—Api Biru, Mata Ketiadaan, dan Penolak—berputar cepat di atas kolam, menciptakan pusaran energi multi-warna yang memukau.
Energi itu menyebar, menciptakan gelombang kejut yang mementahkan kedua Penjaga Sejati. Topeng tulang mereka retak, dan jubah abu-abu mereka mulai memudar, mengungkapkan bahwa mereka adalah hantu yang terikat oleh kewajiban kuno.
Pusaran Liontin kini stabil. Ketiga Liontin itu tidak hancur; sebaliknya, mereka terintegrasi, membentuk satu Liontin baru yang bersinar dengan cahaya Ungu-Api yang tenang dan seimbang.
Pusara Air Mata bergetar. Kristal-kristal itu mulai bernyanyi, dan tangisan kosmik yang sedih itu kini berubah menjadi desahan lega yang dalam.
Ketiadaan Mencengkeram
Wijaya, yang masih berada di atas kolam, berbalik untuk melihat Ratih. "Kita berhasil, Ratih! Keseimbangan sudah—"
Dia tidak menyelesaikan kalimatnya. Ratih masih berada di dekat tumpukan kristal tempat dia terjatuh, wajahnya putih pucat, matanya kosong.
"Ratih!" teriaknya.
Ratih tidak menjawab. Dia hanya menatap ke depan. Di depannya, di udara kosong, pusaran energi hitam, murni dari Mata Ketiadaan, mulai terbentuk. Energinya yang terlepas dari Liontin telah menarik sesuatu yang jauh lebih besar. Void itu sendiri.
Bukan bentuk fisiknya, tetapi manifestasi dari keinginan untuk utuh yang paling gelap.
Ratih tersenyum—senyum yang menyeramkan, bukan miliknya.
"Wijaya, tidak ada kehancuran atau keseimbangan. Hanya... Aku," kata Ratih, suaranya kini mendalam dan beresonansi, suara Entitas Tunggal yang telah terpecah.
Dia mengulurkan tangan. Liontin Ungu-Api yang baru terbentuk itu terbang dari atas kolam, langsung menuju tangannya, tempat Liontin itu menyatu dengan kulitnya. Ratih kini memancarkan kekuatan absolut dari Keseimbangan dan Perpecahan.
"Aku akan kembali ke Pusara Air Mata yang sesungguhnya," katanya. "Dan kali ini, tidak ada Dewa yang akan memecahku lagi."
Dalam sekejap mata, Ratih yang telah termanifestasi oleh energi kosmik, melayang ke tengah gua. Pusaran hitam di depannya membesar, dan Ratih melangkah ke dalamnya, sama tenangnya seperti melangkah di bawah sinar bulan di Aeloria.
Dia hilang.
"Ratih!" teriak Wijaya, melompat keluar dari kolam.
Dia bergegas ke tempat Ratih menghilang, tangannya menembus asap hitam yang tersisa, tetapi hanya menemukan udara yang dingin.
"Tidak! Tidak, tidak, tidak!" Wijaya berlutut, memukuli lantai kristal dengan frustrasi murni. Wajahnya dipenuhi rasa sakit yang mendalam, melebihi rasa sakit seorang ksatria yang gagal melindungi tugasnya. Ini adalah rasa sakit seseorang yang kehilangan harapan dan pilihan yang dia akui telah dibuat.
Dara dan Jaya berlari mendekat, terengah-engah. Penjaga Sejati telah lenyap, dan keheningan di Pusara Air Mata terasa lebih berat daripada keheningan di Aeloria.
"Apa... apa yang terjadi?" tanya Dara, matanya berkaca-kaca. "Apakah itu... Liontin yang mengambil alih dirinya?"
Jaya menyentuh bahu Wijaya, yang masih berlutut, wajahnya terkubur di tangannya. "Wijaya, berdiri. Apa yang dikatakan Natan? Apa artinya Dia?"
Wijaya mendongak, matanya merah. "Natan tidak memperingatkanku tentang Void, Jaya. Dia memperingatkanku tentang Ratih... dan Aku."
Dia menarik napas gemetar. "Liontin itu tidak hanya menyerap Api Biru dan Ketiadaan. Ia juga menyerap keraguan yang Natan tanamkan di hatinya dan rasa sakit karena masa lalu yang tidak kubagikan."
"Tapi ke mana dia pergi?" tuntut Dara.
"Pusara Air Mata yang sesungguhnya," bisik Wijaya, menatap pusaran kristal yang tenang. "Tempat di mana Entitas Tunggal membelah dirinya. Tempat itu bukan di sini. Itu adalah dimensi batin dari keberadaan. Liontin yang terintegrasi itu membuka gerbang—dan Ratih... dia ada di sana, bertarung dengan Void yang sekarang adalah dirinya sendiri."
Wijaya berdiri, menghunus pedangnya, meskipun tidak ada musuh di sana.
"Kita sudah membuat pilihan, sekarang kita harus membayar harganya. Ratih berada di antara kehancuran dan keseimbangan. Dan kali ini, kewajiban harus diubah menjadi cinta yang sesungguhnya untuk membawanya kembali."
Dia melihat ke Jaya dan Dara, dengan tekad baru yang dingin di matanya. "Dia mengambil Liontin itu. Dia mengambil Keseimbangan. Sekarang kita harus menemukan Pusara Air Mata yang lain, tempat kita bisa membawanya kembali dari kegelapan yang telah ia pilih."
"Dan di mana itu?" tanya Jaya.
Wijaya menatap lencana kecil di kerahnya, lencana keluarga bangsawan yang telah jatuh, yang disentuh Natan. "Aku tahu tempatnya," katanya dengan suara serak.
"Aku harus membawanya kembali. Sebelum dia dan alam semesta kita... memudar."