Aluna seorang gadis manis yang terpaksa harus menerima perjodohan dengan pria pilihan keluarganya.Umurnya yang sudah memasuki 25 tahun dan masih lajang membuat keluarganya menjodohkannya.
Bukan harta bukan rupa yang membuat keluarganya menjodohkannya dengan Firman. Karena nyatanya Firman B aja dari segala sisi.
Menikah dengan pria tak dikenal dan HARUS tinggal seatap dengan ipar yang kelewat bar-bar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ismi Sasmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 REAKSI FIRMAN
Baru beberapa saat mataku terpejam, terbangun ketika mendengar suara pintu kamar yang di buka. Aku enggan membuka mata. Karena yakin pasti itu Bang Firman.
Bukan, aku bukan marah padanya.
Aku hanya kecewa. Kecewa itu berbeda dengan marah. Jika marah masih bisa reda dengan kata "maaf" lau bisa lupa begitu saja.
Tapi jika sudah kecewa....
Bisa memaafkan namun tidak bisa melupakan. Dan keadaannya pun tidak akan sama seperti dulu.
Aku kecewa dengan ketiadaan Bang Firman saat aku mengalami titik terendah dalam hidupku.
Terdengar langkah kaki tergesa menghampiriku.
"Loh kamu kenapa infusan gini, Dek ?" tanyanya panik.
"Dek !" ucapnya menepuk pipiku.
Aku pura-pura menggeliat dan membuka mata perlahan.
"Apa yang terjadi, Dek ?" cecarnya lagi.
"Gak usah urusin aku, Bang. Lebih baik kamu urusin keponakan kesayanganmu itu. Dia lebih membutuhkan kamu di banding aku" sarkasku.
"Kamu cemburu sama Ica ? Luna...Luna...tingkah kamu kayak anak kecil. Terlalu kekanakan. Ngerti gak sih kamu kondisi orang sakit ? Jangan mikirin ego sendiri dong !" ucapnya sambil keluar kamar dengan membanting pintu.
Aku hanya menatap datar kepergiannya. Aku memilih kembali memejamkan mata, karena kepalaku masih terasa nyut-nyutan.
Sekitar jam 7 pagi samar terdengar Bang Firman mengobrol dengan seseorang. Dari suaranya seperti Bidan Nisa.
"Silahkan masuk Bu Bidan." ucap Bang Firman sambil mendorong pintu.
"Gimana kondisi hari ini Mbak Luna ?" tanya Bu bidan ramah.
"Alhamdulillah sudah lebih baik, Bu" jawabku tersenyum samar.
Bu bidan pun memeriksaku dan melepas infus yang sudah kosong.
"Kenapa dengan istri saya, Bu bidan ?" tanya Bang Firman penasaran.
Bu bidan melirikku sebelum menjawab.
"Tadi malam Mbak Luna keguguran, dari sore mengeluhkan perutnya terasa nyeri. Sudah saya beri obat. Tapi rupanya janinnya tidak bisa bertahan. Itu janinnya saya simpan dalam toples biar gak di kerebungi semut. Segera di kubur ya, Mas !" jelas Bu bidan sambil menunjukkan toples yang berisi janin.
Bang firman terlihat syok mendengar jawaban Bu bidan. Berkali-kali dia menatapku seolah menuntut penjelasan. Tapi aku memilih acuh dengan membuang muka.
"Boleh langsung dikubur aja setelah dibungkus dengan kain tanpa perlu dimandikan. karena usia kandungan Mbak Luna belum 4 bulan, maka dinyatakan belum berbentuk manusia" jelas Bu bidan lagi.
Bang firman hanya mengangguk menanggapi.
"Jangan lupa ajak istrinya USG, Mas. Takutnya rahimnya belum bersih" saran Bu bidan.
Kemudian Bu bidan mengelus rambutku dan berkata....
"Nanti jangan lupa sarapan ya, Mbak ! Setelah itu minum obat. Biar Mbak cepat pulih dan nanti bisa program hamil lagi. Janin yang gugur ini akan menjadi tabungan orang tuanya di akhirat kelak. Tetap semangat Mbak. Saya yakin nanti Mbak bisa hamil lagi".
Air mataku mengalir deras membasahi pipi.
Tak lupa ku ucapkan banyak terima kasih atas bantuan Bidan Nisa. Entah bagaimana nasibku jika tak ada beliau.
Bu bidan akhirnya pamit pulang dan menyisakan kami berdua yang sama-sama membisu.
Bang firman meraih toples yang berisi janin dan membukanya. Di pandanginya sambil terus menangis. Sementara aku hanya terdiam dengan tatapan kosong.
Aku tak menangis lagi.
Air mataku sudah kering karena menangis semalaman.
"Sekarang kita kubur dia, Dek. Kasihan dia" ucap Bang Firman lirih.
Bang firman membungkusnya dengan kain dan membawanya ke samping rumah untuk di kuburkan. Hatiku nyeri ketika melihat tertimbun tanah.
Kehilangan ini terlalu menyakitkan.
Tapi aku berusaha untuk ikhlas.
Setelah selesai proses penguburan, aku tertatih kembali ke kamar. Sementara Bang Firman mencuci tangan dan kaki di kran samping rumah.
Tak lama dia menyusulku ke kamar.
"Dek kenapa kamu gak cerita sama Abang ? Biar bagaimanapun Abang berhak tau. Abang ini suami kamu, Dek" cecarnya.
"Masih ingat waktu Abang marah-marah padaku saat aku telpon. Bagaimana aku mau cerita kalau Abang langsung memutuskan panggilan sepihak ? Disaat aku kesakitan sendirian, Abang malah memilih menemani keponakan Abang. Padahal sudah ada orang tuanya disana. Jadi sekarang Abang gak usah berlagak sok perhatian. Udah basi ! Aku gak butuh lagi" jeritku pilu.
Bang firman hanya terdiam tanpa berani menyanggah perkataanku. Mungkin dia merasa bersalah.
"Abang minta maaf, Dek. Abang gak punya maksud kayak gitu. Abang cuma khawatir dengan kondisi Ica".
"Jadi Abang sama sekali gak khawatir sama aku ? Padahal aku sedang mengandung darah daging Abang. Abang sendiri tau gimana kondisi aku akhir-akhir ini. Untuk makan aja aku hanya duduk di kasur. Tapi kok tega Abang ninggalin aku sendirian ? Abang punya hati gak sih ? Aku juga sebenarnya gak pengen ngerepotin Abang. Tapi kondisi gak memungkinkan, sehingga aku harus bergantung sama Abang. Abang fikir aku senang ? gak Bang ! Aku juga gak enak repotin Abang terus" sambarku dengan suara bergetar.
"Dek..."Ucap Bang Firman ingin menggenggam tanganku. Tapi aku langsung menepisnya.
"Kata Bu bidan kamu harus minum obat, Abang beliin bubur dulu ya buat sarapan ". Bujuknya.
"Aku gak lapar !" tolakku.
"Tapi kamu harus minum obat, Dek."
"Gak perlu minum obat lagi. Lagian anakku sekarang udah gak ada. Gak ada yang harus aku pikirin lagi. Mau mat* sekalian juga gak papa. Aku udah capek hidup" ucapku terisak.
"Jangan kayak gini, Dek. Kamu harus ikhlas. Abang juga sedih kehilangan anak kita. Tunggu sebentar ya, Abang beli bubur dulu" ucapnya sambil beranjak.
***
Aku pun terpaksa makan bubur yang di beli Bang Firman. Meskipun perutku tak merasa lapar sama sekali. Hanya tiga suap yang bisa ku makan.
"Habisin buburnya, Dek !" titah Bang Firman.
"Aku udah kenyang" jawabku datar.
Bang firman hanya menghela nafas panjang menghadapi tingkahku. Dia tak protes lagi dan segera mengangsurkan obat yang harus ku minum pagi ini. Aku pun meminumnya meskipun terasa enggan.
"Mau kemana, Dek ?" tanya Bang Firman ketika melihatku susah payah ingin beranjak.
"Mau ke kamar mandi" jawabku.
"Mau ngapain ?"
"Mau mandi".
Badanku terasa sangat lengket dari kemaren sore tidak ada mandi sama sekali.
Bang firman inisiatif ingin membantuku.
Tapi aku menolak tegas.
"Gak usah repot-repot, Bang. Sekarang aku udah bisa ngurus diri sendiri. Lagian aku udah gak hamil lagi. Jadi gak ada yang perlu Abang khawatirin lagi. Abang gak usah capek-capek perhatian sama aku" ucapku sembari melangkah perlahan ke kamar mandi.
Air mataku kembali mengalir. Namun gegas ku hapus dengan kasar. Aku tak ingin terlihat lemah dihadapannya.
Ketika di kamar mandi, tangisku kembali tumpah. Rasanya masih sesak di dada.
Setelah puas menangis, aku pun mengguyur tubuhku untuk menghilangkan rasa lengket. Selesai ritual mandi, aku pun kembali ke kamar.
Ternyata Bang Firman sudah tidak ada. Mungkin dia pergi ke toko.
"Baguslah..." ucapku sambil memakai baju daster.
Untuk saat ini aku lelah berdebat. Emosiku masih labil. Lebih baik aku tak bertemu dia dulu sampai aku merasa lebih tenang. Aku pun tak ingin menambah dosa berbicara dengan nada tinggi terhadapnya.