Anton selalu pulang dengan senyum hangat, perhatian yang tak berubah, dan alasan pekerjaan yang terdengar sangat wajar. Terlalu wajar, hingga Nayla tak pernah merasa perlu meragukannya.
Namun ketika satu demi satu kejanggalan kecil muncul, Nayla mulai dihadapkan pada kenyataan pahit. Pengkhianatan tak selalu datang dari sikap yang dingin, melainkan dari kehangatan yang dijaga dengan terlalu rapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caracaramel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Rumah terasa lebih riuh dibanding biasanya. Dea sedang terburu-buru mencari kaos kaki, sedangkan Anton sibuk menata berkas-berkas di meja makan sambil menyeruput kopi.
“Bu Sari, lihat kaos kaki putih Dea nggak?” teriak Dea dari ruang keluarga.
“Neng taruh di mesin cuci kemarin, bukan?” balas Bu Sari dari dapur.
“Ya ampun, iya! Aku lupa!” Dea menepuk dahinya sendiri.
Anton tertawa. “Dea, kamu itu kalau nyuci sendiri, ya jangan ditinggal begitu aja. Lain kali bilang sama Bu Sari.”
“Ayah,” Dea mendesah kesal tapi manja, “Dea tuh nyuci sendiri biar mandiri, oke?”
“Katanya mandiri, tapi lupa dijemur,” goda Anton.
Nayla hanya tersenyum melihat keduanya.
Momen-momen kecil seperti itu membuat rumah terasa hidup, seperti tidak ada sesuatu pun yang salah.
Anton meraih tas kerjanya. “Udah siap semua?”
“Belum,” kata Dea sambil memeluk tasnya. “Ayah jangan pergi dulu, tungguin Dea ganti kaos kaki dulu.”
“Ya sudah. Cepat.”
Dea berlari ke kamarnya. Anton menghela napas panjang dan menatap Nayla yang sedang merapikan meja makan.
“Kamu kenapa pagi ini?” tanya Anton. “Kelihatan mikir sesuatu.”
“Enggak,” jawab Nayla sambil menunduk. “Cuma belum habis ngantuknya aja.”
Anton mendekat dan memegang bahunya sebentar. “Kalau capek, bilang.”
Nayla mengangguk. “Kamu juga.”
Anton tersenyum. Tapi ketika Anton memiringkan kepala untuk mengambil jaket, ponselnya yang tergeletak di meja berbunyi. Nayla tidak berniat melihat, tapi layar ponsel itu menyala cepat sebelum meredup lagi.
Hanya satu detik.
Satu detik yang menampilkan nama:
Lestari.
Seketika jantung Nayla menegang.
Bagian dalam dadanya seperti tertekuk. Anton cepat-cepat meraih ponselnya, menekan tombol, lalu memasukkannya ke saku.
“Nay,” katanya ringan seolah tak ada apa-apa. “Ada meeting tambahan jam sepuluh nanti. Jadi pulang agak malam, ya.”
Nada suaranya tenang. Konsisten.
Tidak ada jeda. Tidak ada rasa bersalah.
Nayla mencoba tersenyum. “Iya. Kerjaan kamu lagi banyak ya?”
“Lagi banyak banget,” jawab Anton sambil merapikan jam tangannya.
Nayla ingin bertanya tentang nama yang muncul di layar tadi. Tapi dia menahan diri. Tidak masuk akal bertanya hanya dari satu notifikasi. Lagipula, kenapa nama itu muncul pagi-pagi begini?
Sebelum pikirannya semakin liar, Dea muncul dari koridor. “Udah! Gas!” kata anak gadis itu.
Anton menepuk pundak Nayla sebentar. “Aku anter Dea dulu.”
“Ya.”
Anton dan Dea keluar. Pintu tertutup, menyisakan sepi dalam hitungan detik.
Nayla berdiri di dapur, lama sekali, hingga suara jam dinding terdengar sejelas detak jantungnya sendiri.
Lestari.
Nama itu seperti gema samar yang berputar-putar di kepala. Nayla duduk. Mencoba meyakinkan dirinya.
Mungkin Dea pernah chat pakai ponsel ayahnya ke nomor mama Vina? Atau mungkin saat itu ponsel Vina tidak aktif, jadi di menghubungi mamanya Vina?
Segala pikiran berkecamuk di kepala Nayla. Namun di dasar pikirannya, muncul satu fakta yang tidak bisa ia abaikan,
Lestari adalah Mama dari sahabat Dea.
Mama dari salah satu gadis yang sering main ke rumah.
Nayla memijat pelipisnya. “Kamu cuma capek, Nay. Jangan mikir yang enggak-enggak,” gumamnya pada diri sendiri.
Tetapi pikiran manusia bukan saklar yang bisa dimatikan. Baru saja Nayla hendak berdiri, Bu Sari menghampirinya perlahan.
“Mbak Nayla” panggilnya hati-hati. “Mbak Nayla kelihatan pucat lagi.”
Nayla tersenyum tipis. “Saya nggak apa-apa, Bu. Mungkin kurang tidur.”
“Kalau capek istirahat saja, Mbak.”
Nayla mengangguk, tapi matanya memandang jauh ke arah pintu depan yang baru saja ditutup Anton. Hatinya mulai mengumpulkan tanda-tanda, tetapi ia masih menolak mengakuinya.
Karena pagi itu kembali seperti biasa.
Semuanya terlihat rapi. Bahkan terlalu rapi. Dan sesuatu yang terlalu rapi,
biasanya menyembunyikan sesuatu di bawahnya.
Setelah suara mobil Anton dan Dea menghilang dari depan rumah, Nayla menutup pintu perlahan. Suasana rumah mendadak terasa terlalu besar untuk dirinya sendiri. Bahkan, detak jam dinding terasa lebih keras dari biasanya.
Nayla kembali ke meja makan, merapikan sisa-sisa sarapan. Piring, sendok, remah roti. Hal-hal kecil yang biasanya terasa biasa saja, pagi itu justru terasa ganjil. Semuanya tampak rapi, tapi seperti menyimpan sesuatu yang tidak terlihat.
Ketika ia mengangkat cangkir kopi Anton, dia berhenti sejenak. Kopi itu tersisa setengah. Anton jarang menyisakan kopi.
Biasanya, dia akan menghabiskan sampai tetes terakhir.
Perubahan kecil. Sepele.
Tapi tetap terasa.
Nayla menggeleng. “Kenapa aku jadi sensitif gini?”
Ia membawa piring ke sink, membilasnya perlahan. Air mengalir, namun pikirannya tidak ikut mengalir pergi. Nama itu, nama yang tadi muncul satu detik di layar ponsel Anton terus berputar di kepalanya.
Lestari.
Tapi kenapa langsung pagi-pagi private chat ke Anton, apa sebelumnya Dea yang ngechat ke sana? Nayla menghela napas.
Kepalanya mulai terasa penuh.
Nayla mengeringkan tangannya dan duduk sebentar. Ia memijat pelipis, lalu berdiri lagi karena ia tahu, tidak bisa diam adalah satu-satunya cara membuat pikirannya berhenti mengembara.
Ia mulai menyapu ruang tamu.
Lantai itu sudah bersih, sebenarnya.
Tapi ia butuh sesuatu untuk digerakkan.
Sambil menyapu, matanya sempat tertuju pada sofa tempat Anton duduk semalam.
Ia bahkan bisa mengingat ekspresi wajah Anton ketika mengatakan bahwa semua baik-baik saja, bahwa yang dia lakukan hanyalah untuk keluarga.
“Kenapa kamu begitu manis belakangan ini, Mas?” bisik Nayla pada dirinya sendiri.
Pikiran itu membuatnya berhenti menyapu.
Ia menunduk, menggenggam gagang sapu lebih erat.
“Jangan berlebihan. Jangan suudzon,” katanya menegur diri sendiri. “Dia suamimu sendiri.”
Bu Sari keluar dari dapur membawa lap.
“Mbak Nay, sini biar saya yang nyapu,” katanya ramah.
Nayla tersenyum lembut. “Nggak apa-apa, Bu Sari. Saya lagi butuh bergerak.”
Bu Sari memandang wajah Nayla lama. “Tapi Mbak dari tadi bengong. Saya lihat dari dapur.”
Nayla tercekat sebentar. “Kelihatan ya?”
“Kelihatan banget. Ada apa, Mbak?”
Nayla ingin menjawab, tapi bibirnya seperti tidak tahu harus mulai dari mana. Ia tidak bisa bilang soal nama Lestari itu. Terlalu cepat, terlalu dangkal untuk dijadikan kecurigaan.
“Enggak ada apa-apa, Bu. Mungkin kurang tidur.”
Bu Sari mengangguk pelan tetapi tidak sepenuhnya percaya. “Kalau begitu, Mbak minum teh hangat dulu. Saya buatkan, ya?”
Nayla hendak menolak, tapi Bu Sari sudah masuk lagi ke dapur.
Nayla kembali menyapu, tapi perasaannya semakin tidak tenang. Rasanya seperti ada sesuatu yang ingin pecah di dalam dadanya. Telepon rumah tiba-tiba berdering. Nayla terkejut kecil.
Ia meletakkan sapu, menghampiri meja kecil di dekat tangga, dan mengangkat gagang telepon.
“Halo?”
“Halo. Benar ini Bu Nayla?” suara seorang perempuan terdengar.
“Iya, ini saya.”
“Oh! Saya Ratih, Bu. Ibunya teman Dea di kelas. Mau tanya, nanti bisa ikut rapat komite sekolah Hari Jumat?”
“Oh, iya. Saya bisa,” jawab Nayla.
Percakapan berjalan singkat. Tentang rapat, jadwal, dan hal-hal kecil lain. Nayla berbicara sambil berusaha menenangkan nafas. Namun begitu telepon ditutup, perasaannya kembali mengambang.