"Kalian siapa? Kenapa perut kalian kecil sekali? Apa kalian tidak makan?" tanya seorang perempuan dengan tatapan bingungnya, dia adalah Margaretha Arisya.
"Matanan tami dimatan cama cacing," ucap seorang bocah laki-laki dengan tatapan polosnya.
"Memang tami ndak dikacih matan cama ibu," ceplos seorang bocah laki-laki satunya yang berwajah sama, namun tatapannya sangat tajam dan ucapannya sangat pedas.
"Astaga..."
Seorang perempuan yang baru bangun dari tidurnya itu kebingungan. Ia yang semalam menyelamatkan seorang wanita paruh baya dari pencopet dan berakhir pingsan atau mungkin meninggal dunia.
Ternyata ia baru sadar jika masuk ke dalam tubuh seorang perempuan dengan status janda bernama Naura Arisya Maure. Setelah menerima keadaan, ia berupaya mengubah semuanya. Namun kedatangan orang-orang di masa lalu pemilik tubuh ini membuat semuanya semakin rumit.
Bagaimakah Arisya bertahan pada tubuh seorang janda dengan dua orang anak? Apakah Arisya bisa kembali ke tubuh aslinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eli_wi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Bukan Ibu Kalian
"Ricko, emang sialan lo ya."
"Bisa-bisanya nggak berangkat ke kantor di saat kerjaan lagi banyak-banyaknya. Darimana lo, ha? Datang-datang mukanya kaya nggak merasa bersalah sama sekali," seru Andhika yang melihat Ricko sudah seperti orang kesurupan karena senyum-senyum sendiri.
Bahkan Andhika tidak mempedulikan panggilan atau ucapannya walaupun saat ini mereka ada di kantor. Andhika sudah terlalu kesal dengan Ricko. Baru kali ini, Ricko bolos dari pekerjaan yang sangat penting. Bahkan ponselnya sampai tidak aktif dari kemarin.
"Lagi ada urusan penting. Demi masa depan yang cerah ini," Ricko menjawab dengan kalimat penuh teka-teki.
"Masa depan apaan? Pikirkan tuh masa depan perusahaan ini kalau bosnya malas kerja. Bangkrut, digantung sama Om Tama ntar." seru Andhika yang berusaha menyadarkan Ricko tentang perusahaan ini juga butuh sosok pemimpin yang disiplin.
"Baru juga bolos sehari doang, Dhika. Nggak usah lebay gitulah," Ricko sepertinya acuh dan menganggap enteng dirinya yang bolos sehari itu. Toh selama ini dia sering lembur, masa libur sehari saja sudah diomeli.
"Kalau bolosnya di hari yang nggak sibuk, aku tidak masalah. Lha ini tuh kemarin kita meeting penting dengan pihak rumah sakit Jepang untuk tandatangan kerjasama pengiriman alkes. Terus kalau nggak ada lo, gimana? Siapa yang bakalan tandatangan, ha? Aku atau Om Tama gitu? Ya kali," Andhika meluapkan kekesalannya pada Ricko yang tak profesional.
Mereka sudah membahas kerjasama ini puluhan kali dan berhasil mendapatkannya. Namun saat pihak rumah sakit dari Jepang datang, malah Ricko tidak ada di tempat. Andhika sudah menghubungi Ricko berulangkali namun tak tersambung. Andhika rasanya ingin menghilang saja kemarin daripada harus menanggung malu.
"Sorry..." Ricko menatap Andhika dengan tatapan memelasnya. Bahkan ia yang biasanya galak dan acuh, kini langsung minta maaf. Ia sendiri juga lupa mengenai pertemuan itu.
"Terus gimana sekarang? Pihak sana udah kecewa sama kita. Rugi ratusan juta ini. Tahu ah, pusing aku. Pikirin aja sendiri sana," seru Andhika yang terus menyalahkan Ricko sambil mengacak rambutnya karena frustasi.
"Biar aku hubungi orangnya langsung. Hari ini terakhir mereka ada di negara ini kan? Aku bakalan pastikan kalau kerjasama ini tetap berlanjut. Tenang aja," Ricko akan menyelesaikan semuanya. Untuk kali ini, ia akan mengesampingkan dulu urusan hatinya sebelum semuanya hancur.
"Terserah. Nggak mau urus aku. Silahkan urus sendiri," Andhika berlalu meninggalkan Ricko dengan sedikit amarah yang masih tertinggal. Baru kali ini dia dibuat emosi oleh Ricko perihal pekerjaan.
Padahal biasanya Ricko yang selalu memarahi Andhika jika pekerjaannya tidak beres. Namun kali ini malah sebaliknya. Ricko menghela nafasnya kasar, moodnya berubah buruk. Ricko segera masuk ke dalam ruangannya dan mencoba menghubungi pihak rumah sakit yang ingin bekerjasama dengannya.
"Istri saya sedang hamil dan ngidam tidak ingin suaminya pergi ke kantor. Maka dari itu saya harus menurutinya. Jadi mohon maaf atas ketidaknyamanannya karena saya tidak bisa hadir langsung. Pikirkanlah kembali keputusan anda untuk memutus kerjasama ini,"
Ricko berbicara menggunakan bahasa Jepang, mencoba bernegosiasi dengan pihak rumah sakit. Alhasil dengan alasan palsunya itu, pihak rumah sakit mau untuk melanjutkan kerjasama ini.
Hahahaha...
"Ternyata semudah itu. Maaf ya, Pak. Saya tidak bermaksud berbohong. Tapi ini demi kelangsungan perusahaan saya. Kita udah nyicil beli bahan baku, masa nggak jadi. Rugi dong," gumam Ricko setelah mengakhiri panggilannya.
"Istri aja belum punya, mana bisa ada perempuan hamil anakku dan lagi ngidam." Ricko hanya bisa geleng-geleng kepala karena pihak rumah sakit itu percaya saja dengan alasannya. Padahal selama ini Ricko diberitakan masih melajang dan rekan bisnisnya tahu itu.
Eh...
"Tapi sebentar lagi juga punya istri plus bonus anak. Ah... Betapa sempurnanya hidupku saat ini," Ricko senyum-senyum sendiri setelah moodnya kembali membaik. Apalagi ia mengingat bagaimana hubungannya dengan Arisya dan kedua anaknya semakin dekat.
"Jadi kangen sama..."
"Kangen sama siapa, Ricko?"
Gubrakk...
Hahahaha...
Andhika yang melihat Ricko terjatuh dari kursinya langsung tertawa. Saat Andhika masuk, Ricko sedang melamun dan memainkan kursinya dengan gerakan memutar. Ricko yang terkejut saat ada orang berbicara, malah salah tingkah dan berakhir kursinya oleng.
"Rasain. Makanya kerja yang benar, jangan ngelamun terus." sindir Andhika yang masih belum bisa menghentikan tawanya karena tingkah absurd Ricko.
"Sialan. Berisik amat, terlalu banyak komentar. Ngapain di sini?" seru Ricko yang kini sudah beranjak bangun dari lantai.
"Nanti jam dua, bertemu sama pihak rumah sakit Jepang. Awas aja sampai kabur lagi," peringat Andhika yang mendapatkan pesan dari pihak rumah sakit Jepang.
"Heleh... Bawel amat sih. Ganggu aja," gerutunya yang tak suka kesenangannya diganggu.
"Pergi sana. Tenang saja, aku nanti pasti akan datang." usirnya pada Andhika.
Ini juga mau pergi. Mau kencan lah aku,
Kencan sama siapa? Situ kan jomblo kaya aku,
Sama Arisya dong. Janda cantik dengan dua bocil lucu,
Kamu mau pulang tinggal nama doang, Dhika?
Ampun, Bos. Berjanda... Eh, bercanda.
***
Roti bakar nanas, siap dimakan.
Seruan Arisya itu langsung membuat Theo dan Gheo menegakkan badannya. Tadinya mereka sedang merebahkan kepalanya di atas meja makan. Kini keduanya saling tatap, seakan memberi kode satu sama lain.
"Ibu sadal dengan apa yang dimacak?" tanya Theo memulai pembicaraan dengan hati-hati.
"Sadar dong. Ini roti bakar kesukaan Ibu, apalagi pakai selai nanas. Ini selai nanasnya Ibu yang bikin sendiri lho tadi," Arisya menceritakannya dengan raut wajah antusias. Hal itu membuat Gheo menatap kembarannya yang raut wajahnya tiba-tiba berubah.
"Ibu ndak cuka nanas, katana gatal di lidah. Telus Ibu ndak bica kupas nanas. Badaimana calana Ibu bica kupas nanas dan buat celai?" Gheo mengatakan keanehan yang terjadi. Hal itu membuat Arisya menghentikan gerakannya yang menyuapkan roti ke dalam mulutnya.
"I-Iya. Ibu kemarin emang nggak suka sama nanas, tapi nggak tahu kenapa hari ini ingin sekali." Arisya mencoba mencari alasan.
Raut wajah Arisya terlihat panik dan gugup. Tak menyangka jika Arisya ini tidak menyukai buah nanas. Arisya tambah gugup saat melihat Theo menatapnya penuh selidik. Hidup bersama dengan Theo beberapa bulan, membuat ia tahu bagaimana sifatnya itu.
"Apakah hari ini sudah saatnya aku harus mengaku kalau aku bukan Ibu mereka? Aku hanya jiwa yang tersesat dalam tubuh Ibu mereka," batin Arisya dengan jantung berdetak kencang.
Bohong, Ibuku ndak akan pelnah menyukai nanas apapun itu alacanna.
Bahkan Ibu ndak bica matan nanas,
Sepertinya sudah saatnya untuk kalian mengetahui yang sebenarnya,
Apa makcudna?
Aku bukan Ibu kalian,
Apa?
Huaaa... Ini Ibuna ciapa? Kok bica cama kita,