Di Desa Awan Jingga—desa terpencil yang menyimpan legenda tentang “Pengikat Takdir”—tinggal seorang gadis penenun bernama Mei Lan. Ia dikenal lembut, tapi menyimpan luka masa lalu dan tekanan adat untuk segera menikah.
Suatu hari, desa kedatangan pria asing bernama Rho Jian, mantan pengawal istana yang melarikan diri dari kehidupan lamanya. Jian tinggal di rumah bekas gudang padi di dekat hutan bambu—tempat orang-orang jarang berani mendekat.
Sejak pertemuan pertama yang tidak disengaja di sungai berembun, Mei Lan dan Jian terhubung oleh rasa sunyi yang sama.
Namun kedekatan mereka dianggap tabu—terlebih karena Jian menyimpan rahasia gelap: ia membawa tanda “Pengkhianat Istana”.
Hubungan mereka berkembang dari saling menjaga… hingga saling mendambakan.
Tetapi ketika desa diguncang serangkaian kejadian misterius, masa lalu Jian kembali menghantui, dan Mei Lan harus memilih: mengikuti adat atau mengikuti hatinya yang berdegup untuk pria terlarang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 — Pelarian di Bawah Tanah
Tepat pada pergantian jam—waktu terlemah antara malam dan fajar—Rho Jian bergerak. Keheningan di antara mereka telah berakhir, digantikan oleh komunikasi tanpa kata yang dingin dan efisien. Jian adalah Bayangan Singa; Mei Lan adalah benang yang teranyam sempurna dalam strategi pelariannya.
Jian menyelinap ke pintu, menyentuh kayu lapuk dengan ujung jarinya. “Dua penjaga di ujung gang. Satu di atap timur. Kita akan menggunakan jalan buntu ke bawah,” bisiknya.
Mei Lan hanya mengangguk, napasnya dangkal. Ia meraih tasnya yang berisi dokumen rahasia, Kain Harapan (yang akan berfungsi sebagai umpan pengalihan perhatian), dan beberapa benang sutra berharga.
Mereka keluar, bergerak seperti bayangan yang menyatu dengan kegelapan. Udara pagi terasa dingin dan basah, membawa bau lumpur dan rempah-rempah.
Mengelabui Penjaga
Jian tidak menuju ke gang utama. Sebaliknya, ia memimpin Mei Lan melalui labirin gudang rempah-rempah yang lebih kecil, tempat yang hanya diketahui oleh beberapa buruh. Jian, yang telah memetakan setiap sudut Kota Bayangan dalam pikirannya, tahu kelemahan Nyonya Liu.
Mereka tiba di sebuah lorong sempit yang berakhir di dinding batu yang tinggi. Dinding ini memisahkan Jaringan Bawah Tanah Nyonya Liu dari saluran air limbah lama Kekaisaran—rute pelarian Jian yang berisiko.
Saat Jian bersiap untuk memanjat, suara langkah kaki terdengar di ujung lorong—seorang penjaga malam Nyonya Liu.
Jian mendorong Mei Lan ke belakang tumpukan tong yang berlumut. “Tunggu di sini. Jangan bernapas.”
Penjaga itu, seorang pria kekar yang jelas kelelahan, berjalan lambat. Saat penjaga itu lewat, Jian bergerak dengan kecepatan yang mengerikan. Itu bukan serangan frontal; itu adalah gerakan yang terencana, cepat, dan tanpa suara.
Jian menjatuhkan penjaga itu dengan satu pukulan cepat di belakang leher. Pria itu ambruk ke tanah tanpa suara. Jian tidak melukai atau membunuhnya; ia hanya memastikan pria itu akan tidur selama beberapa jam.
“Dia akan ditemukan saat shift pagi,” bisik Jian, menarik Mei Lan keluar. “Itu akan memberi kita waktu paling lama setengah jam sebelum Nyonya Liu menyadari kita hilang.”
Umpan Kain Harapan
Jian segera memulai rencana utamanya: pengalihan perhatian. Ia mengeluarkan Kain Harapan dari tas Mei Lan. Kain sutra terindah itu, kini bernilai setara dengan nyawa seorang Jenderal, adalah umpan yang sempurna.
Jian naik ke atap gudang terdekat dengan ketangkasan yang menakjubkan. Ia mengambil kain itu, menempelkannya ke sebuah kotak kayu yang berat, dan menempelkan pesan yang ditulis tergesa-gesa: ’Tuan Yu, aku di Utara. Kain Harapan ada di sini. Datang dan ambil. - Jenderal.’
“Ini akan menarik Tuan Yu dan Nyonya Liu,” jelas Jian, sambil menurunkan kotak itu ke gang utama yang terlihat dari ruangan Nyonya Liu. “Nyonya Liu akan panik karena kehilangan aset utamanya dan kain terindahnya. Tuan Yu akan mengejar ke utara, yakin aku telah meninggalkan ‘harta’ untuknya.”
“Tapi kain itu bisa saja hilang,” bisik Mei Lan, merasakan kesedihan yang menusuk karena mengorbankan mahakaryanya.
“Itu hanya sutra,” jawab Jian, suaranya dipenuhi ketegasan. “Hidupmu lebih berharga dari semua sutra Kekaisaran. Kau akan menenun yang lebih indah lagi, Gadis Manis.”
Menuju Saluran Air
Mereka kembali ke dinding batu. Jian menarik tali kasar yang ia sembunyikan di bawah lumpur. Itu adalah pintu masuk tersembunyi ke saluran air lama yang digunakan untuk irigasi.
Jian membuka penutup batu tua dengan upaya yang luar biasa. Aroma air yang stagnan dan lumut langsung menyeruak ke udara.
“Kita masuk ke sana,” kata Jian. “Ini kotor, gelap, dan sempit. Tapi ini satu-satunya jalan keluar dari Kota Bayangan tanpa melewati gerbang yang dijaga Tuan Yu.”
Mei Lan tidak ragu. Ia menatap ke dalam lubang hitam yang terlihat mengerikan. Setelah semua yang ia dengar, semua yang ia ketahui tentang Jian, ia tidak takut pada lumpur atau kotoran.
“Saya duluan,” kata Mei Lan, memegang erat pinggang Jian.
“Tidak. Aku dulu,” Jian menyentaknya. “Aku harus memastikan tidak ada jebakan air atau penemuan di bawah.”
Jian masuk terlebih dahulu, meluncur ke dalam kegelapan. Mei Lan mendengarkan suara gemercik air dan desisan yang tertekan.
“Bersih,” suara Jian bergema dari bawah. “Lumpur setinggi lutut. Jangan panik. Turun perlahan. Aku akan menangkapmu.”
Mei Lan meluncur masuk. Bau yang menyengat langsung menusuk hidungnya. Ia tergelincir, dan Jian dengan cepat menangkapnya, menahan tubuhnya dengan kuat.
Mereka kini berdiri di dalam terowongan batu yang sempit, dengan air berlumpur setinggi lutut. Dindingnya ditutupi oleh lumut yang licin.
Jian menyalakan lentera kecil yang terbuat dari tanduk dan minyak ikan paus, memancarkan cahaya redup. Saluran air itu adalah labirin yang dibangun ratusan tahun yang lalu, membentang di bawah tembok kota menuju sungai di luar.
“Tetap di belakangku. Jejakku akan membuat jalanmu lebih mudah,” perintah Jian.
Mereka berjalan lambat, lumpur menghambat setiap langkah. Mei Lan harus menggunakan seluruh kekuatannya untuk menahan keseimbangan. Ia sesekali tersandung, dan setiap kali ia melakukannya, Jian langsung menahannya dengan tangan yang kuat di punggungnya.
Pertarungan di Terowongan
Setelah berjalan selama sekitar dua puluh menit, saat mereka yakin telah melewati batas Kota Bayangan, Jian tiba-tiba berhenti.
“Sinyal,” bisik Jian. “Aku melihat sinyal Nyonya Liu di dinding. Ia pasti telah memperluas jaringannya ke sini. Dia sudah tahu kita pergi.”
Jian mematikan lentera. Mereka langsung tenggelam dalam kegelapan yang total.
“Mereka datang,” bisik Jian, menarik Mei Lan ke celah batu di dinding terowongan.
Dalam kegelapan yang memekakkan, Mei Lan mendengar suara gemercik air yang datang dari depan dan belakang. Mereka terjebak di tengah.
“Aku akan menghadapi mereka dari depan. Kau tetap di sini, Mei Lan. Lindungi dokumen itu dengan nyawamu,” perintah Jian.
Mei Lan tidak menjawab; ia hanya mencengkeram tasnya erat-erat, air dingin dan lumpur mengalir di sekitar kakinya.
Jian bergerak maju, pisaunya sudah ada di tangan. Pertarungan di terowongan sempit, dalam kegelapan, di tengah lumpur, adalah pertarungan yang paling brutal dan pribadi.
Mei Lan hanya bisa mendengar. Ia mendengar suara shing saat pisau Jian bergerak. Ia mendengar erangan, suara lumpur yang berceceran, dan suara air yang disiramkan. Itu adalah suara kekerasan yang terkendali, menunjukkan kemampuan Jian sebagai Bayangan Singa—efisien dan mematikan.
Pertarungan itu singkat dan brutal. Tiba-tiba, semuanya hening. Mei Lan mendengar langkah kaki yang berat, langkah kaki Jian, kembali ke arahnya.
Jian kembali, wajahnya tertutup lumpur dan keringat. Ia tidak terluka, tetapi ia kelelahan.
“Tiga orang,” desis Jian, suaranya terengah-engah. “Nyonya Liu mengirim penjaga terbaiknya. Mereka tidak akan mengejar lagi.”
Mereka tidak bisa tinggal di sana. Bau darah akan menarik perhatian.
Jian menyalakan kembali lentera. “Kita harus cepat. Tuan Yu akan menyadari umpan itu adalah jebakan dalam satu jam. Kita harus mencapai sungai utama sebelum fajar.”
Mereka terus berjalan, bergerak dengan kehati-hatian yang lebih besar. Mei Lan kini tidak hanya melihat Jian sebagai kekasihnya, tetapi sebagai mesin pertahanan yang luar biasa, seorang Jenderal yang berjuang bukan untuk Kekaisaran, melainkan untuk kebebasan dan cinta.
Jian menyentuh bahu Mei Lan, pandangannya teguh. “Kita akan berhasil, Gadis Manenun. Kita akan keluar dari kegelapan ini.”