Ratih yang tidak terima karena anaknya meningal atas kekerasan kembali menuntut balas pada mereka.
Ia menuntut keadilan pada hukum namun tidak di dengar alhasil ia Kembali menganut ilmu hitam, saat para warga kembali mengolok-olok dirinya. Ditambah kematian Rarasati anaknya.
"Hutang nyawa harus dibayar nyawa.." Teriak Ratih dalam kemarahan itu...
Kisah lanjutan Santet Pitung Dino...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom young, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Ki Ageng
"Ki' kenapa harus memangil roh para leluhur?" ucap Sinta lirih, ia sudah merasakan aura di dalam ruangan itu begitu mistis.
Sinta merasa seperti berada di dalam kabut, tidak bisa melihat apa yang terjadi di sekitarnya. Ki Ageng masih menatapnya dengan mata yang tajam, membuat Sinta merasa seperti dia sedang diintai.
"Apa yang terjadi, Ki Ageng?" tanya Pak Lurah dengan suara yang lembut. Pak lurah juga ikut merasa berdebar
Ki Ageng tidak menjawab, tapi malah mengambil sebuah cermin kecil dari dalam sakunya. "Sinta, lihatlah ke dalam cermin ini," kata Ki Ageng dengan suara yang rendah.
Sinta merasa seperti ada sesuatu yang tidak beres, tapi dia tidak bisa menolak perintah Ki Ageng. Dia mengambil cermin itu dan melihat ke dalamnya.
Apa yang dia lihat membuat Sinta merasa seperti jantungnya berhenti berdetak. Dia melihat bayangannya sendiri, tapi bayangan itu tidak seperti dia. Bayangan itu memiliki mata yang merah dan wajah yang menyeramkan.
"Sinta, kamu harus berani menghadapi kenyataan," kata Ki Ageng dengan suara yang rendah. "Kamu di ikuti mahluk yang tidak biasa, dan kamu harus belajar untuk mengendalikan nya."
Sinta ingin menjerit saat melihat bayangannya, ia begitu takut dengan apa yang terjadi pada dirinya? Kenapa dia memiliki bayangan yang sangat begitu menyeramkan?
Tiba-tiba, cermin itu pecah, dan Sinta merasa seperti ada sesuatu yang keluar dari dalam cermin itu. Suara-suara aneh mulai terdengar di sekitarnya, membuat Sinta merasa seperti berada di dalam mimpi buruk.
"Sinta, kamu harus berani menghadapi kenyataan," kata Ki Ageng lagi. "Kamu tidak bisa lari dari semua ini, aku membekalimu dengan kalung itu, dan roh leluhurmu memberkatinya." Kata Ki Ageng, dengan tatapan mata yang tajam.
Sinta merasa seperti ada sesuatu yang menariknya ke dalam kegelapan. Dia tidak bisa melawan, dan dia tidak bisa melihat apa yang terjadi di sekitarnya.
Sinta merasa seperti berada di dalam kegelapan yang tak terhingga. Dia tidak bisa melihat apa-apa, tidak bisa mendengar apa-apa, dan tidak bisa merasakan apa-apa. Dia hanya bisa merasakan ketakutan yang luar biasa.
Pak lurah berusaha menenagkan sang keponakan, akan tetapi seolah Sinta, tak tersentuh, karena ruangan itu tiba-tiba saja menjadi gelap gulita.
Sinta membuka mata, dan melihat Ki Ageng yang berdiri di depannya. "Sinta, kamu aman sekarang," kata Ki Ageng dengan suara yang lembut.
Ruangan itu sekarang kembali seperti semula, tidak lagi nampak gelap dan berkabut, Pak lurah dan Sinta menarik nafas lega.
"Ki Ageng... apakah kami sudah boleh pergi?" Tanya Pak lurah lirih.
Mata Ki'Ageng menatap mereka tajam, seolah kembali akan ada suatu hal yang di sampaikan. "Tunggu sebentar, akan ada satu hal penting yang akan aku sampaikan."
"Apa itu, Ki?" Sinta tersentak, ia langsung menatap kearah pamanya.
Ki Ageng menatap Sinta dengan mata yang tajam.
"Kamu harus berhati-hati, Sinta," kata Ki Ageng dengan suara yang serius.
"Ada sesuatu yang tidak beres didesa itu, Ratih telah menancapkan paku bumi, pada desa itu, tujuannya agar kau tidak bisa keluar dari desa itu."
Sinta merasa tidak nyaman mendengar kata-kata Ki'Ageng.
Pak lurah, dan juga Sinta saling menatap, mereka berdua tidak menyangka ternyata Ratih sudah melakukan strateginya sejauh itu. "Lalu apa yang harus kami lakukan Ki?" Sinta menelan salivanya dalam.
Ki Ageng tidak menjawab, tapi malah berpaling ke arah Pak Lurah. "Pak Lurah, tolong jagalah Sinta dengan baik, kata Ki Ageng dengan suara yang serius."
Pak Lurah mengangguk. "Baik, Ki, saya akan menjaganya dengan baik," kata Pak Lurah dengan suara yang sopan.
"Cabut-lah paku bumi itu, ada di gerbang awal desa Pengasinan, Ratih menancapkan itu di tugu barat. Dan ini semua leluhurmu yang memberi tahu." Kata Ki Ageng menatap keduanya.
Ki Ageng kemudian berpaling ke arah Sinta. "Sinta, ingatlah apa yang saya katakan," kata Ki Ageng dengan suara yang serius.
Sinta mengangguk. "Baik, Ki, saya akan ingat," kata Sinta dengan suara yang sopan.
Ki Ageng kemudian kembali berbicara. "Dan kau tahu, kenapa kau sering mimpi di cengkram perutmu, hinga seluruh isinya keluar?" Ki Ageng menatap Sinta dengan senyum samar
Sinta menggeleng, karena ia mengira kalau dia benar-benar terkena guna-guna.
"Itu karena Ratih sudah bersekutu dengan iblis. Iblis Alas Siro, dan maafkan aku karena aku tidak bisa membantu mu jika dalam hal itu, sebab Ratih sebenarnya menumbalkan rahimmu, pada iblis itu, dan sampai kapanpun kau takan bisa hamil."
Mendengar pengakuan Ki Ageng, Sinta merasa lemas, ia begitu marah tapi sangat tidak berdaya, ia benar-benar tidak menyangka kalu Ratih sudah membalas tidakannya, bahkan sampai separah ini.
"Lalu untuk apa gunanya kalung ini Ki? kalau Ratih masih terus menggangu saya?" Sinta nampak emosi.
"Kalung itu hanya untuk menjadi pelindungmu Sinta, agar tidak kembali bermimpi buruk soal perutmu yang di cengkram Ratih," Jelas Ki Ageng.
Karena biar bagaimanapun Ki Ageng ilmunya tidak ada apa-apanya dengan dedemit yang ada di. Alas Siro.
Jadi kegunaan kalung yang di berikan Ki Ageng untuk Sinta, hanya bisa melindungi Sinta dari alam mimpi, akan tetapi rahimnya sudah di gadai Ratih, meskipun Ratih juga tidak tahu kalau iblis itu tetap meminta tumbal.
Karena Iblis tetaplah Iblis, dan dari jalur manapun akan tetap meminta imbalan.
Sinta lemas, sesak mendera hinga ulung hatinya, ia harus bagimana? kalau saja suaminya tahu rahimnya telah rusak sudah pasti Tuan Zacky akan menceraikannya dan mencari pengatinya.
Sedangkan kelima Gigolo yang ia sewa sudah tewas dibunuh Ratih secara keji.
.
.
Sementara itu, Ratih kembali menaruh pedangnya di tempat peti kamarnya. "Sialan Lurah itu pilih kasih, aku meminta keadilan untuk anaku! tapi saat keponakannya yang salah malah di lindungi." Ratih merasa tidak terima karena anaknya tidak mendapatkan keadilan.
Amarahnya menjadi saat tadi beberapa warga mengejarnya, beruntung, ia bisa lari dan menyelamatkan nama serta harga dirinya.
"Sialan kau Sinta!.." Ratih menggerutu dalam hening, ia memaki Sinta dan pak lurah.
Ratih malam ini kembali bersemedi, untuk melakukan ritual pati geni, karena mungkin tadi ia tidak bisa menyakiti tubuh Sinta, setidaknya ia akan mendatangi Sinta dalam mimpi dan kembali memporak porandakan isian perutnya.
Ratih bersemedi, menghafalkan mantra. Mulutnya mulai kamat-kamit membaca lantunan mantra jawa kuno yang mana masih kental dengan kejawen.
Anehnya tiba-tiba saja lilin itu padam, hinga Ratih tidak bisa fokus dengan tapa pati geninya.
"Hah! kenapa lagi ini!" Ratih mengedarkan pandangan, hembusan angin itu seolah tidak biasa, seperti ada energi lain yang akan menghalangi tapanya.
pelan pelan aja berbasa-basi dulu, atau siksa dulu ank buah nya itu, klo mati cpt trlalu enk buat mereka, karena mereka sangat keji sm ankmu loh. 😥