SEQUEL KEDUA ANAK MAFIA TERLALU MENYUKAIKU!
Lucas Lorenzo yang mendapati kenalan baiknya Philip Newton berada di penjara Santa Barbara, ketika mengunjunginya siapa sangka Lucas dimintai tolong oleh Philip untuk menyelamatkan para keponakannya yang diasuh oleh sanak keluarga yang hanya mengincar harta mendiang orang tua mereka.
Lucas yang memiliki hutang budi kepada Philip pun akhirnya memutuskan untuk membantu dengan menyamar menjadi tunangan Camellia Dawson, keponakan Philip, agar dapat memasuki kediaman mereka.
Namun siapa sangka ketika Lucas mendapati kalau keponakan Philip justru adalah seorang gadis buta.
Terlebih lagi ada banyak teror di kediaman tersebut yang membuat Lucas tidak bisa meninggalkan Camellia. Ditambah adanya sebuah rahasia besar terungkap tentang Camellia.
Mampukah Lucas menyelamatkan Camellia dari orang yang mengincarnya dan juga kebenaran tentang gadis itu? Lalu bagaimana jika Camellia tahu bahwa Lucas adalah seorang mafia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30. JALAN-JALAN
Langit Zurich pagi itu membentang seperti kanvas musim panas yang baru dicat, biru pucat dengan sapuan awan tipis berwarna susu. Udara mengalir jernih, membawa wangi bunga alpine dan embun sisa malam. Di balkon sebuah vila kecil yang menghadap danau Zurichsee, Camellia berdiri diam, membiarkan matanya yang baru sembuh menyentuh dunia yang selama ini hanya bisa ia rasakan dengan ujung jari dan dengar dalam desir angin.
"Lucas ..." suaranya lirih, seakan takut kata-katanya akan mengusik keajaiban yang masih baru di matanya. "Itu ... itu biru, bukan?"
Lucas berdiri di sampingnya, senyumnya mengembang dengan damai. Ia menatap Camellia seperti seseorang yang tengah menyaksikan matahari terbit untuk pertama kalinya, bukan karena ia belum pernah melihatnya, tapi karena kini ia melihatnya dari mata yang ia cintai. Lugu seperti anak kecil, dan itu menggemaskan untuk Lucas.
"Ya, itu biru. Danau Zurich. Langit. Dan ...." Ia menunjuk ke bunga-bunga kecil di pot geranium merah yang menghiasi jendela. "itu warna merah."
Camellia menoleh perlahan, matanya berkilat seperti kristal yang baru disentuh cahaya. Ia mendekap dirinya sendiri, seolah ingin menahan semua emosi yang membuncah dalam dada. "Aku tidak tahu merah bisa seindah ini. Dapat melihat benar-benar semenyenangkan ini ternyata."
Lucas tertawa kecil. "Kau akan melihat banyak hal hari ini, Love. Jadi pakailah sepatumu, Miss. Dawson. Petualangan kita baru saja dimulai."
Zurich menyambut mereka dengan irama langkah yang tenang, kota yang bersih dan rapi seperti halaman buku cerita yang tak pernah tercemari debu. Bangunan-bangunan kuno bergaya Baroque dan Gothic berdiri megah di sepanjang jalan berbatu, jendelanya penuh bunga warna-warni dan tirai renda yang melambai lembut.
Camellia berjalan pelan, menyentuh setiap tiang lampu besi tua yang menjulang, setiap dinding bangunan yang berlumut, seolah ingin memastikan dunia ini benar-benar nyata.
"Apa itu gereja?" tanyanya menunjuk ke menara batu dengan jam besar.
"Grossmünster," jawab Lucas. "Salah satu ikon Zurich. Dari abad ke-12. Konon, kota ini dibangun dari doa dan waktu."
Camellia mengangguk, menatap jendela kaca patri gereja yang memantulkan cahaya pagi. "Waktu ..." bisiknya. "Berapa banyak waktu yang telah kulewati tanpa tahu warna langit? Tanpa tahu bentuk wajahmu, Lucas?"
Lucas menatapnya. "Tapi sekarang kau tahu. Dan dunia ini ... dunia ini bahkan lebih indah karena kau melihatnya dengan kebahagiaan."
Mereka menaiki kereta api panorama menuju Luzern. Sepanjang perjalanan, Camellia tak henti menempelkan wajahnya ke jendela kaca besar. Pegunungan Alpen menjulang seperti raksasa tua berselimut salju abadi, dan lembah hijau terbentang dengan domba-domba putih seperti noda kapas di permadani zamrud. Lucas yang melihat Camellia tidak pernah memudarkan senyumnya sepanjang hari.
"Oh!" seru Camellia saat kereta melintasi jembatan panjang di atas Danau Turquoise. "Warnanya seperti kaca, Lucas! Bening dan aku bisa melihat dasarnya!
Lucas memandangnya, bukan pada danau, bukan pada pegunungan. Hanya pada Camellia, yang kini seperti bunga yang mekar untuk pertama kalinya dalam hidup. Senyumnya, matanya, tangannya yang gemetar sedikit saat menunjuk segala hal, semua adalah simfoni dari kebahagiaan yang tulus dan murni.
"Dulu aku pikir dunia itu gelap dan dalam," ujar Camellia tanpa menoleh. "Ternyata dunia itu ... luas. Terbuka. Dan indahnya membuat dadaku sesak."
Lucas menggenggam tangan Camellia. "Tak ada yang lebih indah daripada cara kau memandang dunia, Love."
Di Luzern, mereka berjalan menyusuri Kapellbrücke, sebuah jembatan kayu tua yang melintang di atas Sungai Reuss. Camellia menghentikan langkahnya berkali-kali, terpukau oleh lukisan-lukisan segitiga kecil di langit-langit jembatan yang menceritakan kisah-kisah zaman dahulu.
"Lukisan ini seperti kisah," katanya. "Menakjubkan sekali. Bagaimana mereka bisa membuat lukisan seindah ini," sambungnya penuh kekaguman.
"Karena mereka membuatnya dengan cinta dan keindahan yang dilihat oleh mata. Mereka membuat lukisan-lukisan ini agar orang-orang di masa depan seperti kita dapat melihat seperti apa keindahan zaman dulu," sahut Lucas, menatapnya seolah Camellia adalah bagaian dari makna dari semua kisah itu.
Di bawah sinar keemasan sore, mereka duduk di kafe pinggir danau. Camellia menikmati secangkir coklat panas dan sepotong kue Kirsch, matanya yang baru memandang ke segala arah, perahu kecil, angsa putih, langit yang berubah jingga.
Lucas mengeluarkan kamera kecil. "Boleh aku mengambil fotomu?"
Camellia menoleh dengan wajah polos. "Apa aku terlihat ... seperti Camellia yang kau kenal?"
Lucas menatapnya dalam-dalam. "Kau terlihat seperti versi terindah dari Camellia yang dulu, yang kini bukan hanya bisa merasakan dunia tapi juga melihatnya."
Dia mengangkat kamera dan menjepret.
Klik.
Sebuah momen abadi; Camellia Dawson, duduk di tepi danau Luzern, matanya bersinar seperti kaca yang baru terkena cahaya pagi, dengan senyum yang penuh syukur, penuh keajaiban, dan penuh cinta.
Menjelang malam, mereka naik kereta kembali ke Zurich. Kota itu kini bercahaya seperti istana dalam mimpi. Lampu-lampu kuning berpendar dari kafe-kafe kecil, jendela toko penuh pantulan dan ornamen artistik. Musik gesek dari jalanan mengalun pelan, mengiringi langkah mereka menyusuri Bahnhofstrasse yang bersih dan sepi.
Camellia mendongak. "Bintang ..."
Lucas mengangguk. "Ya. Itu bukan sekadar cahaya. Itu langit yang membisikkan cerita. Langit yang sama sejak dunia ini terbentuk. Langit yang sama walau dulu aku di San Francisco dan kau di Los Angeles."
Camellia tertawa pelan. "Kau jadi puitis tiba-tiba, Lucas."
"Mungkin Rosetta akan menertawakanku jika dia melihatku sekarang," ucap Lucas yang mencium pipi Camellia.
"Adikmu yang kau bilang biang onar?" tanya Camellia.
"Benar. Kau tahu, aku mengirimkan fotomu padanya siang tadi, dan dia meneleponku terus agar bisa bicara denganmu. Tapi tidak, aku tidak ingin diganggu oleh celotehan tanpa jeda Rose saat ini," kata Lucas dengan tawa terdengar dari dirinya.
"Kenapa? Bukankah seharusnya kau angkat saja teleponnya?" tanya Camellia.
"Percayalah, nanti kau akan tahu saat bertemu dengannya. Jangan kaget kalau dia tidak berhenti bicara dan bertanya padamu," jawab Lucas yang tersenyum lebar memikirkan hal itu.
Lucas menghentikan langkahnya. Lalu perlahan, menyentuh pipi Camellia dan mengecup dahinya dengan lembut. Di tengah malam Swiss yang tenang dan berkilau, di bawah langit yang membuka ribuan rahasia, dua hati berdiri berdampingan, satu yang baru belajar melihat, dan satu yang sejak awal selalu melihat sang gadis dengan utuh.
Dan dunia pun, untuk pertama kalinya, terasa benar-benar sempurna.
Keesokan paginya, langit Swiss masih secerah janji musim panas walau dalam balutan salju. Langkah-langkah kecil membawa mereka menuju kota Bern, ibu kota yang seperti potongan sejarah yang hidup. Camellia duduk di bangku kereta, menggenggam tangan Lucas erat-erat. Ia masih belum benar-benar percaya bahwa semua ini nyata, bahwa warna-warna itu bukan sekadar mimpi.
"Bern," ucap Lucas sambil menunjuk ke luar jendela saat kereta melambat. "Kota yang dibangun oleh sungai Aare, berliku seperti sajak tua. Kau akan menyukainya."
Saat kaki mereka menginjak jalanan berbatu di pusat kota tua Bern, Camellia terpana. Bangunan berwarna krem dan keemasan berjajar anggun dengan jendela berbingkai hijau dan pot-pot bunga menggantung di setiap tepiannya. Menara jam raksasa bernama Zytglogge, berdiri megah di tengah alun-alun, dan saat jarumnya berdentang, Camellia menoleh cepat, seolah suara itu adalah panggilan dari masa lalu yang tak pernah ia kenal.
"Seperti negeri dongeng ..." bisiknya. "Dan aku ... seperti sedang berjalan di halaman buku cerita yang dulu hanya bisa kudengar saat dibacakan oleh Jane."
Lucas menggenggam tangannya lebih erat. "Dan sekarang kau bisa membacanya sendiri. Dengan matamu, dengan langkahmu, dengan hatimu."
Mereka menyusuri arkade panjang yang teduh, berbelanja kecil di toko-toko antik, lalu duduk makan siang di tepi sungai Aare yang hijau membiru, dikelilingi taman dan burung camar yang terbang rendah.
Setelah Bern, mereka melanjutkan perjalanan ke Interlaken, kota kecil yang terletak di antara dua danau dan dikelilingi oleh pegunungan Jungfrau yang agung. Sepanjang perjalanan, Camellia nyaris tak bisa duduk tenang. Begitu antusias dengan binar mata yang menyenangkan untuk dilihat.
Saat mereka tiba, Camellia berdiri mematung. Angin gunung meniup lembut rambutnya, dan ia menatap jauh ke arah pegunungan bersalju yang menggantung seperti lukisan raksasa di cakrawala.
"Aku tidak tahu ... langit bisa begitu dekat dan bumi bisa begitu tinggi," katanya nyaris tak bersuara.
Lucas memeluk Camellia dari belakang. "Itulah Interlaken. Di sini, langit dan bumi bertemu, seperti dua hati yang selama ini saling mencari."
Mereka menginap di sebuah penginapan kayu tradisional dengan balkon kecil menghadap pegunungan. Malamnya, Camellia duduk di luar, mengenakan sweater tebal dan membungkus tubuhnya dengan selimut. Di tangannya secangkir teh hangat, dan di matanya terpancar rasa syukur yang dalam.
"Aku merasa seperti dilahirkan kembali," gumamnya. "Dan setiap tempat yang kita kunjungi seperti halaman baru dalam hidupku yang selama ini kosong."
Lucas duduk di sebelahnya. "Kau tak pernah kosong, Camellia. Dunia hanya menunggu untuk dipantulkan dari matamu. Dan sekarang ... dunia itu bersinar."
"Terima kasih sudah memperlihatkan dunia padaku, Lucas," ucap Camellia tulus.
"Ingat kau harus membayarnya dengan bayaran mahal, yaitu tetap berada di sisiku seumur hidupmu," ujar Lucas.
Camellia tertawa. Tawa yang menyenangkan untuk menutup hari hari ini, sebelum mereka besok kembali melihat keindahan lainnya.
Keesokan harinya, mereka menuju Zermatt, desa kecil di kaki gunung Matterhorn yang megah, gunung berbentuk piramida yang memantulkan cahaya matahari seperti kristal raksasa.
Zermatt bebas mobil. Mereka berjalan kaki menyusuri jalanan kecil dari batu dengan rumah-rumah kayu tua yang berlumut dan bunga edelweiss tumbuh liar di tepi pagar. Udara di sana jernih seperti permata. Di kejauhan, lonceng sapi berdentang lembut di padang rumput hijau zamrud.
Camellia tak bisa berhenti mengagumi segala hal. Ia memotret semuanya dengan kamera kecil pemberian Lucas, lalu meminta Lucas berdiri di bawah pohon pinus agar bisa ia abadikan. Bahkan berlarian seperti bocah.
Lucas tertawa. "Hati-hati, Love. Kau benar-benar menyukai kamera sekarang, huh?"
"Aku ingin menyimpan semuanya. Aku takut ... suatu saat nanti aku lupa. Bahwa semua ini cuma mimpi," ucap Camellia.
Lucas menggeleng. Ia meraih kamera itu dan membaliknya pada Camellia. "Kalau begitu, izinkan aku mengambil fotomu. Agar dunia tahu, bahwa Camellia Dawson pernah berdiri di sini, di bawah langit Swiss, dengan mata yang baru, dan hati yang lebih kuat dari siapa pun yang pernah kutemui."
Camellia tersenyum malu-malu, pipinya memerah, namun ia mengangguk.
Klik.
Sebuah potret diambil, namun yang terekam bukan sekadar gambar seorang gadis — melainkan seluruh perjalanan hidup yang akhirnya menyentuh cahaya.
Di malam terakhir mereka di Swiss, Lucas membawa Camellia naik kereta gantung menuju puncak Gornergrat. Salju mulai turun perlahan, halus seperti abu bintang. Di sana, di tempat tertinggi yang pernah mereka capai, dunia terbuka luas; langit dipenuhi bintang, dan gunung-gunung berdiri bisu dalam kebesaran mereka.
Camellia menatap ke atas, air mata jatuh perlahan dari sudut matanya. "Aku melihat bintang jatuh," katanya.
Lucas menoleh. "Orang bilang kau bisa menbuat permohonan jika melihat bintang jatuh. Coba lakukan."
Camellia terdiam, menatap Lucas dengan senyum yang tak bisa dijelaskan oleh kata-kata. "Permohonanku sudah terkabul. Kau. Dan juga mata ini."
"Kita akan kembali lagi ke kota ini nanti. Ini bukan yang terkahir kalinya, tenang saja. Aku masih ingin menunjukkan banyak kota di dunia kepadamu. Tapi nanti dengan sebuah perbedaan besar," ucap Lucas.
"Perbedaan?" Camellia menatap Lucas bingung.
"Kita akan kembali ke sini bukan dengan kau yanh sebagai Camellia Dawson lagi, tapi sebagai Camellia Lorenzo nanti," ucap Lucas dengan nada selembut beledu begitu pula dengan ekspresi dan tatapan pria itu.
"Lucas ... itu artinya ..." Camellia kehabisan kata-kata. Jantungnya berdegub kencang sekarang.
"Aku ingin mengatakannya sekarang. Tapi akan aku simpan nanti. Aku ingin kau menjalani berbagai hal yang kau inginkan, salah satunya melanjutkan pendidikanmu. Merasakan bertemu dengan orang-orang baru, belajar di sebuah kelas, dan melakukan hal yang tidak pernah bisa kau lakukan sebelumnya." Lucas membelai pipi Camellia lembut, takut gadis itu hancur seperti gelas kaca yang amar berharga.
Dan dalam keheningan pegunungan, di bawah langit paling jernih di bumi, Lucas menarik Camellia ke dalam pelukannya. Di sana, mereka berdiri, dua jiwa yang saling menemukan, dua hati yang saling melihat dan untuk pertama kalinya, dunia menjadi utuh bagi keduanya.
Walau Lucas tahu, ada hal terpenting setelah ini yang harus Lucas beritahukan kepada Camellia. Hal yang mana akan membuat Camellia melihat hal lain tentang dunia, tentang kegelapan hati manusia.
karna saking kaget nya Cammy bisaa meliy lagi, dan orang² yg pernah mengkhianati Cammy menyesal
oiya btw kak, kan kemarin ada part yg Lucas bilang " dia lebih tua dari mu " itu Arthur atau Rose, terus umur Rose berapa sekarang, aku lupaa eee