"Setelah bertahun-tahun diabaikan dan diperlakukan tidak adil oleh keluarganya sendiri, senja Aurelie Wijaya anak kandung yang terlupakan memutuskan untuk bangkit dan mengambil alih kendali atas hidupnya. Dengan tekad dan semangat yang membara, dia mulai membangun dirinya sendiri dan membuktikan nilai dirinya.
Namun, perjalanan menuju kebangkitan tidaklah mudah. Dia harus menghadapi tantangan dan rintangan yang berat, termasuk perlawanan dari keluarganya sendiri. Apakah dia mampu mengatasi semua itu dan mencapai tujuannya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ariyanteekk09, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 30
Matahari siang menyinari taman belakang sekolah. Radit dan Galih menemukan Hendra, Nadira, dan Dinda sedang duduk santai di bawah pohon rindang, menikmati cemilan yang mereka bawa. Hari ini sekolah terasa lengang karena para guru sedang mengadakan rapat membahas ujian akhir untuk kelas 12. Suasana tenang dan damai menyelimuti mereka.
Radit menghampiri mereka, lalu duduk di samping Hendra. Ia mengamati ketiga sahabat Senja itu, kemudian bertanya, "Senja mana?" Suaranya terdengar sedikit penasaran.
Hendra mengangkat bahu. "Nggak tahu. Dia nggak ikut ke sini." Ia tampak santai, mengunyah keripik kentang dengan tenang.
Nadira menambahkan, "Mungkin dia lagi di perpustakaan. Atau mungkin lagi sama Dirga." Senyum mengembang di bibirnya, suara sedikit menggoda.
Galih mengerutkan kening. "Sama Dirga? Kenapa dia sama Dirga?" Ia tampak sedikit cemas. Ia tahu, perasaan Dirga pada Senja cukup serius. Ia khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Dinda hanya tersenyum misterius, tak mau berkomentar lebih lanjut. Ia mengambil segenggam keripik dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Ketiga sahabat Senja itu saling berpandangan, seakan menyimpan sebuah rahasia. Radit dan Galih saling bertukar pandang, keingintahuan mereka semakin besar. Mereka memutuskan untuk mencari Senja, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi antara Senja dan Dirga. Suasana tenang di taman belakang sekolah itu tiba-tiba berubah menjadi sedikit tegang, menimbulkan rasa penasaran dan sedikit kekhawatiran.
ternyata Dirga membawa senja makan siang di luar cuma berdua.. sebenarnya senja menolak karena masih jam sekolah tapi Hendra membantu Dirga untuk menyakinkan senja.
Hendra bilang kalau Dirga mau ngajaknya makan siang sekaligus mereka lihat tempat balapan yang akan di gelar 3 hari lagi..
Saat Radit dan Galih hendak beranjak meninggalkan taman, Hendra dengan cepat mencegah mereka. "Kalian berdua diam aja di sini. Percuma kalian cari Senja, pasti anak itu lagi di perpustakaan. Kalian tahu sendiri kan, kalau sudah lihat buku, Senja kayak apa," kata Hendra, suaranya terdengar sedikit jenaka namun tegas.
Radit mengangguk setuju, "Benar itu, Gal. Percuma kita menghampiri Senja. Gue dan lo pasti dicuekin." Ia sudah sangat mengenal kebiasaan adiknya itu. Senja memang sangat fokus jika sudah berurusan dengan buku.
Galih menghela napas. Ia sebenarnya penasaran dengan keberadaan Senja, terutama karena ia tahu Dirga juga sedang mencari Senja. Namun, ia juga memahami kebiasaan Senja yang begitu tekun membaca. "Yaudah deh," katanya pasrah. "Kita tunggu aja di sini."
Ketiga sahabat Senja itu kembali menikmati cemilan mereka, namun suasana hati mereka sedikit berbeda. Kehadiran Dirga dan perasaannya pada Senja masih menjadi topik utama dalam pikiran mereka.
Hendra sesekali melirik ke arah perpustakaan, mengamati dari kejauhan. Ia berharap, Senja tidak akan terlibat dalam masalah yang tidak diinginkan. Ia tahu, Senja adalah gadis yang baik hati, namun ia juga tahu, Senja bisa bersikap dingin dan cuek jika sedang fokus pada sesuatu. Mereka menunggu, menunggu Senja kembali, menunggu penjelasan dari Senja tentang pertemuannya dengan Dirga.
*********
Senja dan Dirga duduk bersebelahan di sebuah rumah makan sederhana dekat sekolah. Aroma masakan khas Lombok memenuhi udara. Dirga, dengan sedikit rasa gugup, telah meminta izin kepada satpam untuk keluar sekolah sebentar. Ia merasa perlu menciptakan suasana yang lebih privat untuk berbicara dengan Senja.
Setelah menghabiskan makan siang mereka, Dirga mengajak Senja untuk berjalan-jalan. Mereka berjalan menyusuri jalanan kota Mataram yang ramai, lalu tiba-tiba Dirga menunjuk ke arah sebuah lapangan luas di pinggir kota. "Itu dia," kata Dirga, suaranya bersemangat.
Senja mengikuti arah pandangan Dirga. Di lapangan itu, terlihat beberapa tenda dan banner yang bertuliskan "Kejuaraan Balap Motor Nasional." Lintasan balap yang tertata rapi terlihat jelas dari tempat mereka berdiri. Mobil-mobil balap yang gagah perkasa terparkir di pinggir lintasan. Suasana ramai dan semarak terasa dari kejauhan. Para mekanik terlihat sibuk melakukan persiapan akhir pada motor-motor balap.
"Wah, keren banget!" Senja berdecak kagum.
Dirga tersenyum bangga. "Iya, kan? Ini tempat balap resmi yang akan aku ikuti minggu depan." Ia menatap Senja, matanya berbinar-binar. "Aku pengen banget kamu datang nonton."
Senja menatap Dirga dengan tatapan serius. "Gue juga ikut balapan, Kak. Gue udah daftar," ujarnya, suara sedikit bergetar karena gugup namun juga bangga.
Dirga tersenyum, sudah menduga hal itu. "Gue udah duga lo pasti ikut. Nggak mungkin lo nggak ikut andil," katanya, suaranya terdengar penuh kekaguman.
Senja melanjutkan, "Tapi kali ini gue nggak lawan Kakak. Lawan kita perempuan dari berbagai negara. Begitu pun sama Kakak." Ia menjelaskan format kejuaraan tersebut.
Dirga mengangguk, "Semoga kita menang dan bisa bikin negara bangga." Ia menggenggam tangan Senja, memberikan semangat dan dukungan.
Keduanya terdiam sejenak, kemudian memulai percakapan serius tentang persiapan mereka. Mereka membicarakan strategi balapan, teknik berkendara, dan perawatan motor. Dirga berbagi pengalamannya sebagai pembalap berpengalaman, sementara Senja mendengarkan dengan saksama, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang cerdas.
Mereka saling bertukar informasi dan ide, membangun kerjasama yang solid. Suasana di antara mereka dipenuhi dengan semangat juang dan tekad yang kuat untuk meraih kemenangan. Mereka bukan hanya teman, tetapi juga rekan setim yang saling mendukung dan menghargai. Keduanya menyadari, ini bukan hanya tentang kemenangan pribadi, tetapi juga tentang mengharumkan nama bangsa di kancah internasional.
Tekad mereka semakin bulat, semangat mereka semakin membara. Mereka siap menghadapi tantangan, siap berjuang untuk meraih mimpi mereka.
Senja sengaja menyembunyikan kemampuannya yang sebenarnya dari Dirga. Ia ingin memberikan kejutan, ingin membuktikan kemampuannya sendiri tanpa harus bergantung pada reputasi atau bantuan Dirga. Ia ingin Dirga melihatnya sebagai seorang pembalap handal, bukan hanya sebagai rekanya Ia ingin Dirga kagum, bukan hanya karena cintanya, tetapi juga karena kemampuannya.
Selama percakapan mereka tentang persiapan balapan, Senja dengan cerdik mengarahkan pembicaraan pada strategi dan teknik umum, tanpa pernah secara terang-terangan membocorkan kemampuannya yang sebenarnya. Ia mendengarkan dengan saksama saran-saran Dirga, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang cerdas dan relevan, seolah-olah ia masih pembalap amatir. Ia bahkan sesekali pura-pura meminta saran dan bantuan Dirga, menciptakan kesan bahwa ia masih membutuhkan bimbingan.
Dirga, yang tak menyadari kemampuan sebenarnya Senja, terus memberikan dukungan dan semangat. Ia merasa bangga bisa berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan Senja, menganggap Senja sebagai seorang pembalap yang berbakat namun masih perlu banyak belajar. Ia tak pernah curiga sedikit pun bahwa Senja sebenarnya menyembunyikan kemampuannya yang luar biasa.
Senja berhasil memainkan perannya dengan sangat baik, menciptakan sebuah misteri yang akan terungkap pada saat yang tepat.
meskipun senja pernah mengalahkan nya dalam balapan tapi Dirga beranggapan senja hanya beruntung waktu itu.
!!!!
gak tau diri bgt sihhh loe cha