"Mas kamu sudah pulang?" tanya itu sudah menjadi hal wajib ketika lelaki itu pulang dari mengajar.
Senyum wanita itu tak tersambut. Lelaki yang disambutnya dengan senyum manis justru pergi melewatinya begitu saja.
"Mas, tadi..."
Ucapan wanita itu terhenti mendapati tatapan mata tajam suaminya.
"Demi Allah aku lelah dengan semua ini. Bisakah barang sejenak kamu dan Ilyas pulang kerumah Abah."
Dinar tertegun mendengar ucapan suaminya.
Bukankah selama ini pernikahan mereka baik-baik saja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Yunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di usir.
Irham sungguh tak menyangka, orang yang menjemputnya di kantor polisi adalah mertuanya sendiri.
Pria yang melamarnya untuk putrinya empat tahun yang lalu terlihat lebih dingin dari biasanya. Tentu Irham berpikir Kiai Ahmad Sulaiman kecewa padanya akibat ia yang tak mau mengatakan dimana Ratih di kontrakan rumah.
Mata pria pemilik senyum hangat itu menyorot padanya, sama sekali tidak ada keramahan dari tatapannya, malah terkesan tajam dan penuh kemarahan.
Irham di bawa kerumah megah beliau, di samping pria itu ada Hassan yang memandangnya dengan cara serupa dengan Kiai Ahmad Sulaiman.
"Benarkah Dinar pulang karena kamu yang minta?" Dingin suara Kiai Ahmad Sulaiman memecah keheningan. "Aku tidak pernah meragukan kata yang keluar dari bibir putriku, karena sejak kecil kami tidak mengajarkannya untuk berbohong, tapi rasanya tidak pantas jika aku tak bertanya padamu."
Kata, Nak, Gus. Tak lagi terdengar, dari bibir pria dihadapannya. Membuat Irham gugup.
"Kamu tidak bahagia menikahi putriku? Benarkah kamu menyesal?" todongan pistol rasanya jauh lebih baik ketimbang runtun pertanyaan yang keluar dari laki-laki yang telah berjasa sepanjang hidupnya.
Irham menelan ludah susah payah.
Irham sempat berpikir sebelumnya. Selama empat tahun, menjadi pendamping Dinar adalah hal yang berat. Irham merasa sesak dan tercekik dengan mata orang-orang yang tak berani mengomentari kehidupan rumah tangga mereka. Namun laki-laki itu merasa tersisihkan saat bukan Dinar yang berada di sisinya kala berada di tengah orang-orang yang sama. Dinar bukan perempuan yang Irham inginkan sebagai istri di rumah, seseorang yang tak berani ia impikan sebab nasabnya. Namun saat putri Kiai Ahmad Sulaiman tak lagi tinggal di rumah bersamanya, tak pelak Irham merasa kehilangan.
"Apa aku menyodokkan pistol saat melamar mu dulu? Kamu punya kebebasan untuk menolak."
Itu benar. Irham memilih untuk menjawab iya, karena sungkan dan merasa tidak enak terlebih putri yang bernama Dinar juga kerap di puji sebab kecantikan gadis itu. Bukankah Irham setuju karena keuntungannya sendiri?
Irham tiba-tiba merasa sangat malu.
Benar kata orang selama ini, Ada ribuan laki-laki di luar sana yang menginginkan posisinya sekarang.
Satu jawaban yang di berikan Irham mengubah raut wajah dua laki-laki di hadapannya.
Permohonan maafnya bahkan tidak lagi berguna.
Kiai Ahmad Sulaiman memintanya pergi setelah bertemu dengan Ilyas, serta mengemasi barangnya yang ada di rumah ini.
Itu artinya dia dibuang, bukan?
Kepergian Kiai Ahmad Sulaiman menyisakan rasa nyeri di hatinya terdalam, belum pernah sekalipun beliau tak menyukai kehadirannya. Tapi untuk kali ini, beliau terang-terangan memintanya pergi jauh dari keluarganya. Itu berarti nasib pernikahannya di ujung tanduk.
Irham menunduk tidak berani menatap pada laki-laki yang katanya saudara se susuan istrinya. Kasak kusuk tentang Hassan sudah ia dengar.
Hassan laki-laki pandai, lulusan ilmu hukum dari Arab Saudi, tentu tak main-main, dia bisa saja memegang urusan hukum berkaitan dengan keluarganya secara pribadi. Pemegang sabuk hitam karate dan menurut rumornya pernah bergabung dalam latihan dasar militer untuk perlindungan diri. Hassan memiliki surat izin mengemudi segala jenis kendaraan, termasuk helikopter. Hobi pria itu adalah memanah dan berkuda.
"Laki-laki terhormat tidak menunggu di usir dua kali." Sangat dingin penuturannya membuat bulu kuduk Irham merinding.
****
Irham menciumi seluruh wajah Ilyas yang tertidur pulas di pembaringan.
Irham tahu dengan benar siapa yang dia inginkan saat ini. Bukan perempuan yang dia sembunyikan dari suaminya, perempuan yang pernah Irham impikan sebagai istri dan teman hidup. Namun Dinar yang jauh berada di puncak. Perempuan yang mulai sulit di jangkau di saat ia ingin berubah.
Semenjak kepergian Dinar hari itu, Dinar di mata Irham adalah seorang istri dibandingkan perempuan kaya raya dari keluarga berpengaruh. Irham ingin memperlakukan istrinya dengan baik dan membahagiakan Dinar tetapi kini justru merasa tak punya kesempatan untuk itu.
Dinar memang awalnya adalah perempuan asing yang tiba-tiba menjadi istrinya, ada sekat yang membatasi mereka di awal masa pernikahan hingga kemudian malam pertama yang mencairkan perasaan tak saling kenal.
Dinar yang pertama untuknya, pun sebaliknya, ia lelaki pertama untuk Dinar. Bahkan mungkin Dinar belum pernah sekalipun membiarkan tangannya di genggam laki-laki lain selain keluarganya. Berbeda dengan dirinya dulu yang masih suka menjalin hubungan yang di sebut pacaran.
Di tatapnya lamat-lamat pintu penghubung kamar anak mereka. Di sana wanita itu bersemayam. Dinar mungkin bisa melihatnya dari kamera pengawas, tapi tidak dengannya.
Bahkan ia tak diberi kesempatan untuk meminta maaf pada wanitanya.
********
Irham berjalan gontai melewati rumah. Dia akan pergi dan mungkin tidak akan pernah di izinkan lagi menginjak lantai tepat ia berdiri.
Kiai Ahmad Sulaiman sudah menegaskan agar ia meminta nomor Hassan jika ingin menemui Ilyas. Itu tandanya benar-benar tidak ada kesempatan untuk bertemu Dinar.
Kiai Ahmad Sulaiman tak menyukai publikasi, Beliau juga selalu berusaha keras agar wajah anak dan istrinya tak terekspos media manapun. Meski pernah, selalu di blur. Sesuai permintaannya.
Baik Dinar maupun istrinya tak memakai cadar, tapi untuk urusan ilmu dan akhlak insyaallah Kiai Ahmad Sulaiman menjamin mereka wanita-wanita teladan.
******
Pada akhirnya, Irham kembali ke kampung halamannya yang berada di Ngawi.
Sejak empat tahun menikah dengan Dinar, ini kali ke empat dia datang.
Saat mengucapkan salam. Ibundanya histeris menyambutnya.
Wanita yang sudah membesarkan dirinya dengan kesederhanaan itu celingukan mencari seseorang.
"Mana mantu dan cucu ibu, Le."
Benar, ini kali ke empat ia datang, sebelumnya ada Dinar disisinya, kunjungan berikutnya sudah ada Ilyas di gendongannya, dan kini justru sendirian. Wajar jika Jumiati mencari Dinar dan Ilyas.
Rasa letih yang di rasakannya tak sebanding dengan rasa sedih di hati, dimana pun ia berada, orang-orang yang di temuinya selalu bertanya keberadaan Dinar.
Tujuan ia datang untuk menenangkan diri, tapi belum apa-apa sudah menambah rasa sedih di hatinya, sebab, wanita yang tengah mencari keberadaan Dinar pasti akan terus bertanya sampai dapat jawaban.
*******
Dinar membuka kamar tidur putranya.
Sejak kepergian Irham hari itu. Seisi rumah kompak tak pernah menyebut laki-laki yang menjadi ayah Ilyas.
Dinar juga belum berani bertanya pada abahnya tentang Irham.
Sebab satu mingguan ini Abah dan Hassan terlihat sangat sibuk.
"Dek," Dinar menoleh mendengar suara laki-laki yang dikenalnya.
Hassan mendekati Dinar yang sedang memandangi wajah Ilyas yang tampak pulas di pembaringan.
Dinar bersyukur, tentrum Ilyas mulai berkurang, bahkan lelaki kecilnya sudah bisa mengendalikan amarahnya dengan cara yang diajarkan Pakde-nya.
Entah cara apa itu. Dinar belum pernah melihatnya secara langsung, tapi sungguh ajaib sejak kedatangan Hassan, pria itu mulai memenangkan hati keponakannya. Perhatian Hassan jauh banyak di bandung Irham ayahnya sendiri.
"Baru pulang, Bang?" tanya Dinar, meraih tangan pria itu untuk di bawa ke keningnya.
"Iya, kamu kenapa belum tidur?" Hassan memperbaiki letak guling di sisi Ilyas.
"Belum ngantuk."
"Belum ngantuk, atau nggak bisa tidur?" tanya Hassan curiga.
Dinar berdecak jengkel. "Mulai, mesti ngunu..." kesal wanita itu.
Hassan tertawa kecil.
"Kalau rindu, hubungi sana! Suruh datang kesini, biar tak sikat."
Dinar tahu, Hassan tak main-main dengan ucapannya. Laki-laki yang hidup satu atap bertahun-tahun dengannya ini sangat posesif padanya. Bukan hanya sekarang, tapi sejak masih mereka kecil, Hassan sudah layaknya Kaka kandung yang rela mengorbankan apapun demi adiknya.
Mereka berpisah sejak kedua orang tua Hassan meninggal dunia, lelaki itu memilih sekolah melalui beasiswa, mulai SMA hingga ke perguruan tinggi.
Meski begitu, rasa hormat Hassan pada orang tua Dinar tetap sama.
Dinar sendiri berhutang banyak pada Ibu Hassan. Sebab wanita itulah yang menyusuinya semenjak bayi. Karena Dinar bayi alergi susu sapi, jamannya belum ada susu soya, hingga Dinar harus diberi air sajin oleh Umi Zalianty dan Kiai Ahmad Sulaiman.
Tapi, kekebalan tubuh Dinar terganggu, Dinar kecil keluar, masuk, rumah sakit. Hingga suatu hari ada seorang wanita yang menawarkan air ASI-nya untuk Dinar. Wanita yang juga memiliki bayi mungil berusia satu bulan. Dan bayi mungil itu adalah Hassan.