NovelToon NovelToon
ISTRI GEMUK CEO DINGIN

ISTRI GEMUK CEO DINGIN

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Hamil di luar nikah / Penyesalan Suami / Ibu Mertua Kejam
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: aufaerni

Mateo Velasco, CEO muda yang tampan dan dingin, terbiasa hidup dengan kendali penuh atas segalanya termasuk reputasinya. Namun hidupnya jungkir balik saat suatu pagi ia terbangun di kamar kantornya dan mendapati seorang gadis asing tertidur telanjang di sampingnya.
Gadis itu bukan wanita glamor seperti yang biasa mengelilinginya. Ia hanyalah Livia, seorang officer girls sederhana yang bekerja di perusahaannya. Bertubuh gemuk, berpenampilan biasa, dan sama sekali bukan tipe Mateo.
Satu foto tersebar, satu skandal mencuat. Keluarganya murka. Reputasi perusahaan terancam hancur. Dan satu-satunya cara untuk memadamkan bara adalah pernikahan.
Kini, Mateo harus hidup sebagai suami dari gadis yang bahkan tidak ia kenal. Tapi di balik status sosial yang berbeda, rahasia yang belum terungkap, dan rasa malu yang mengikat keduanya sebuah cerita tak terduga mulai tumbuh di antara dua orang yang dipaksa bersama oleh takdir yang kejam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TIDAK SEMUA PERCAYA DENGAN UCAPANNYA

Livia melangkah cepat tapi hati-hati menuju pintu ruang bawah tanah. Jantungnya berdetak tak karuan saat ia memasukkan kunci ke dalam lubang gembok. Tangan gemetar, ia memutar pelan dan suara klik terdengar begitu nyaring di telinganya, seolah menandakan harapan kecil yang perlahan tumbuh.

Dengan cekatan, Livia membuka pintu itu dan masuk ke dalam. Udara lembap dan bau apek langsung menyergap inderanya. Langkahnya menyusuri tangga kayu tua yang berderit, setiap langkah seperti membawa beban berat tak kasat mata.

"Dion?" panggilnya pelan.

Tak lama kemudian, terdengar gerakan pelan dari sudut ruangan gelap itu. Tubuh Dion terbaring lemah di lantai dingin, rambutnya kusut, wajahnya kurus dan pucat. Saat mendengar suara Livia, matanya terbuka perlahan.

"Livia... kau datang," ucapnya dengan suara serak, hampir tak terdengar.

Livia segera menghampirinya, berlutut dengan susah payah karena perutnya yang semakin besar. Ia mengeluarkan air mineral dan sepotong roti dari dalam tasnya, membuka tutup botol dan menyodorkannya ke bibir Dion.

"Pelan-pelan, minum dulu..." bisiknya lembut.

Dion meneguk air itu seperti seseorang yang menemukan oasis di tengah padang pasir. Air matanya mengalir tanpa bisa ia bendung.

"Terima kasih... kau satu-satunya yang percaya aku tak bersalah."

Livia mengangguk, air matanya juga jatuh. "Aku tahu kau tidak melakukannya, Dion. Sama seperti aku tahu semua ini adalah jebakan."

Mereka terdiam sejenak, hanya suara napas Dion yang berat dan isakan Livia yang terdengar.

"Aku harus segera kembali sebelum mereka pulang," ucap Livia akhirnya. "Tapi aku janji akan bantu lebih dari ini. Aku akan cari bukti dan tunjukkan pada Mateo siapa dalang semua ini."

Dion menatapnya penuh harap. "Hati-hati, Livia. Mereka kejam... mereka tidak akan segan menyakitimu juga."

Livia mengangguk lagi, bangkit perlahan meski tubuhnya mulai lelah. "Aku sudah cukup terluka, Dion. Tapi bukan berarti aku tidak bisa melawan."

Dor!

Suara letusan pistol menggema di ruang bawah tanah yang gelap dan lembap. Livia yang baru hendak melangkah pergi tertegun, tubuhnya kaku saat matanya menangkap Dion mengerang kesakitan, peluru bersarang di kakinya.

"Dion!" jerit Livia histeris, langkahnya refleks ingin mendekat, tapi sebelum sempat berbuat apa-apa, seseorang menarik tubuhnya dengan kasar.

Dari kegelapan, muncul sosok pria bertubuh besar, bertato di lengan yaitu Sebastian.

"Lepaskan aku, Sebastian!" Livia memberontak, air matanya jatuh tanpa henti. "Dion terluka! Aku harus menolongnya!"

"Anda sudah melanggar batas yang tak boleh dilewati, Nona," ucap Sebastian dingin, menyeret Livia tanpa belas kasih.

Ia menyeret wanita hamil itu kembali ke lantai atas, lalu mendorongnya masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu dari luar.

Braak!

"Sebastian!" Livia memukul pintu sekuat tenaga. "Tolong buka pintunya! Dion terluka! Sebastian! Kumohon..."

Namun tak ada balasan. Yang menyambut hanya keheningan dan suara detak jarum jam. Livia merosot ke lantai, tubuhnya gemetar, dipeluk rasa putus asa yang mengoyak.

Di dalam kamar, Livia tertidur di atas ranjang. Wajahnya sembab dan tampak lelah setelah seharian menangis dan berteriak tanpa hasil. Suasana kamar sunyi, hanya terdengar suara detik jam yang terus berdetak.

Pukul dua belas malam, pintu kamar itu perlahan terbuka. Mateo masuk dengan langkah tenang namun penuh amarah yang tertahan. Matanya langsung tertuju pada sosok istrinya yang terlelap di ranjang.

Ia tahu. Livia telah menyusup masuk ke ruang bawah tanah. Sebastian sudah melaporkan segalanya.

Mateo mendekat. Ia berdiri di sisi ranjang, menatap wanita itu dengan tatapan tajam yang sulit diterjemahkan antara amarah, kekecewaan, atau mungkin kebingungan dalam hatinya sendiri.

Tanpa berkata apa pun, tangannya terulur membuka kancing piyama Livia satu per satu hingga perut hamilnya terlihat.

Ia menatap perut itu dalam diam. Lalu mengelusnya pelan, seolah menyapa makhluk kecil di dalamnya.

Livia menggeliat perlahan, terbangun karena sentuhan itu. Matanya membuka setengah, berusaha fokus melihat siapa yang ada di hadapannya.

"Tuan…?" bisiknya lirih, suara seraknya penuh kebingungan dan ketakutan.

Mateo tak menjawab. Ia masih menatap perut Livia, sebelum akhirnya berkata dingin, "Kau pikir aku tak tahu apa yang kau lakukan hari ini?"

"Maafkan saya, Tuan… saya hanya…" Livia mencoba menjelaskan dengan suara terbata, sorot matanya menyiratkan ketakutan dan keputusasaan.

Mateo masih mengelus perut istrinya perlahan. Tatapannya menusuk.

"Kau ingin membela diri?" tanyanya datar, tanpa menoleh.

Hening sejenak. Lalu, suara Mateo terdengar lebih dingin dan mengancam.

"Ini terakhir kalinya aku melihatmu bertingkah seperti pahlawan kesiangan bodoh. Jika kau membangkang lagi, aku tak segan mengakhiri semuanya termasuk anak ini." ucapnya mencengkram perut Livia.

Livia membeku. Wajahnya pucat, jantungnya berdegup tak karuan mendengar ancaman itu.

Mateo kemudian menatap wajah Livia dengan sorot mata yang sulit ditebak. Ia mendekat perlahan, lalu menunduk dan mencium bibir istrinya bukan dengan kelembutan, melainkan rasa memiliki yang dominan dan sarat tekanan.

Livia tak bisa menghindar. Ia hanya bisa menahan napas, menerima ciuman itu dalam diam, dengan hati yang remuk oleh ancaman dan luka yang tak terlihat.

Keesokan paginya, Mateo menghampiri ruang bawah tanah. Di sana, Dion tengah duduk bersandar pada dinding, kaki kirinya sudah dibalut perban seadanya. Wajahnya pucat, tetapi masih menunjukkan ketegaran.

Mateo berdiri di hadapannya, rokok menyala di tangan, menghembuskan asap perlahan.

"Kau seharusnya berterima kasih padaku, Dion," ucapnya dingin. "Aku membiarkan Livia memberimu makan... meski gadis bodoh itu melakukannya tanpa seizin atau sepengetahuanku."

Dion menatapnya lemah, namun sorot matanya tetap jernih. Tak ada kebencian, hanya luka yang sulit dipahami terutama saat nama Livia disebut.

Mateo menyipitkan mata, memperhatikan ekspresi itu sejenak sebelum mengalihkan pandang.

"Kenapa Anda tidak membunuh saya saja, Bos? Saya lelah hidup seperti ini," ucap Dion lirih, suaranya nyaris tak terdengar, namun sarat keputusasaan.

Mateo menghela napas pelan, lalu menarik kursi kayu usang dan duduk di hadapan Dion. Ia menatap pria itu tanpa belas kasihan, rokok masih terselip di jemarinya.

"Belum waktunya," jawabnya datar. "Aku belum ingin melihatmu tersiksa di neraka. Untuk saat ini, biar kau rasakan dulu rasa hidup yang lebih menyakitkan dari kematian."

"Jangan sakiti Livia, Bos... Dia tidak bersalah," ucap Dion lirih, matanya memohon dengan penuh ketakutan.

Mateo diam sesaat. Lalu dengan langkah pelan, ia mendekat dan mencengkeram kerah baju Dion dengan kuat, menatap langsung ke matanya.

"Aku bukan orang baik, Dion. Jadi, aku tidak pernah berjanji untuk bersikap adil... apalagi murah hati."

Setelah mengucapkan itu, Mateo melepaskan cengkeramannya, menjatuhkan puntung rokok ke lantai dan menginjaknya. Tanpa kata tambahan, ia berbalik dan meninggalkan ruang bawah tanah, membiarkan Dion kembali dalam gelap dan kesakitannya.

Sebelum berangkat ke kantor, langkah Mateo terhenti di depan kamar Livia. Entah mengapa, akhir-akhir ini ia kerap kali berdiri di sana, hanya untuk menatap pintu yang tertutup. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya ingin melihat wanita itu meski ia sendiri tak tahu, apakah itu kebencian... atau rasa yang lain, yang enggan ia akui.

Ia membuka pintu perlahan. Di dalam, Livia masih tertidur memeluk perutnya yang kian membesar. Wajahnya tenang, tak sadar bahwa seseorang sedang memandanginya dari ambang pintu. Tanpa berkata apapun, Mateo kembali menutup pintu itu diam-diam meninggalkan perasaan yang mulai mengusik hatinya sendiri.

Tiba di kantor, Mateo turun dari mobil dengan wajah dingin seperti biasa. Namun langkahnya melambat saat melihat Dani berdiri di depan pintu ruangannya, tampak gelisah dan resah seperti seseorang yang membawa kabar tak menyenangkan.

Tanpa berkata sepatah kata pun, Mateo melewatinya dan langsung masuk ke ruang kerja.

Beberapa detik kemudian, terdengar ketukan di pintu.

Tok... tok...

"Masuk," ucap Mateo tanpa menoleh, sembari melempar jasnya ke sandaran kursi.

Pintu terbuka perlahan. Dani masuk, memegang tablet dan beberapa berkas di tangannya.

"Ada yang ingin saya laporkan, Pak," ujarnya hati-hati.

Mateo mengangkat kepalanya, menatap tajam.

"Apa lagi sekarang?" tanyanya datar, penuh tekanan.

"Investor terbesar kita menarik saham, Bos," ucap Dani pelan, nyaris seperti bisikan. "Mereka bilang... mereka ragu Anda bisa memperbaiki semua kekacauan ini dalam waktu singkat."

Mateo terdiam. Tatapannya tajam menembus ruang, namun ekspresinya datar seolah kalimat itu tak berarti apa-apa.

Namun, jarinya yang menekan meja perlahan mengepal. Urat di rahangnya tampak menegang.

"Siapa yang memulai?" tanyanya pelan namun dingin, seperti ancaman yang diselimuti ketenangan.

"Pak Leonard," jawab Dani, menelan ludah. "Dia sudah menjual setengah sahamnya tadi malam... dan kabarnya akan menarik sisanya minggu depan jika tidak ada kemajuan."

Mateo berdiri, berjalan pelan menuju jendela besar yang menghadap kota.

Ia tak bisa berkata apa-apa lagi. Diam, menatap kosong ke luar jendela dengan mata yang mulai berkabut oleh kenyataan pahit.

Mateo tahu tak semua orang percaya padanya.

Tak semua orang yakin bahwa ia masih bisa menyelamatkan kerajaan bisnis yang dulu begitu ia banggakan. Dan sekarang, satu demi satu pondasi itu mulai runtuh. Ia akan melihat perusahaannya hancur... perlahan, atau mungkin lebih kejam dengan cepat dan tak terduga.

Tangannya mengepal di sisi tubuh, tubuh tegaknya tetap tak bergeming.

"Aku membangunnya dari bawah," gumamnya lirih, nyaris tak terdengar. "Dengan darah... dan pengkhianatan."

Kini semua itu seperti tak berarti. Keluarga, kepercayaan, harga diri semuanya dicampakkan, dan dia... hanya sendiri.

Mateo tiba di rumah larut malam. Wajahnya letih, langkahnya berat. Seisi rumah terasa sunyi, hanya terdengar suara jam berdetak dan desahan angin malam dari sela-sela jendela.

Ia membuka pintu kamar livia lampunya masih menyala lembut. Di dalam, Livia tengah duduk bersandar di sisi ranjang, memeluk bantal, dan menatapnya tanpa berkata-kata. Mata mereka bertemu sesaat. Tidak ada senyum, tidak pula amarah hanya sepi yang mengisi ruang itu.

Tanpa sepatah kata, Mateo berjalan ke lemari, mengambil handuk miliknya. Ia masuk ke kamar mandi, membiarkan air mengalir seperti ingin menghanyutkan segala tekanan di pikirannya.

Beberapa menit kemudian, ia keluar, kini telah mengenakan pakaian rumah kaus tipis dan celana santai yang memang sebagian sudah ia tinggalkan di lemari kamar Livia.

Ia tidak berkata apa-apa. Hanya mengambil tempat di sisi ranjang, punggungnya bersandar pada sandaran kepala, sementara matanya menatap langit-langit kamar yang hening.

Livia tetap diam. Dalam perutnya, kehidupan kecil terus bergerak, tak tahu bahwa dunia di luar begitu penuh luka dan ketidakpastian.

1
kayla
lanjut kak..
Milla
next
Aulia Syafa
kpn thor , ada cahaya untuk livia
Uthie
Kapan itik buruk rupa berubah jadi angsa nya 😄
kayla
sampai kapan penderitaan ini thor..
atau apakah tak akan ada kebahagiaan untuk livia sampai akhir..
sampai ikut lelah/Frown/
Uthie
lanjut...masih sangat seruuu 👍
Lailiyah
luar biass
Lailiyah
ceritanya bagus bgtt...gereget dan sedihny dapet bgtttt thour....ditunggu up nya yee /Hey//Grin/
Uthie
ditunggu kelanjutannya lagiiii 👍🤗
Uthie
Kisah yg menarik untuk disimak 👍👍👍👍👍
Uthie
Tuhhh kann.. Nathan yg berkhianat 🤨
Uthie
Mateo terlalu kejam!!
Uthie
Mateo dibodohi dengan menumbalkan orang-orang tak bersalah dari kalangan bawah seperti Dion dan Livia... kasian nya! 😢
Uthie
berarti Nathan itu yaa yg mengkhianati dan menjebak Mateo?!??? 🤔
Uthie
kasiannya 😢
Uthie
kabur juga percuma dengan kekuasaan yg dimiliki keluarga Matteo 😢
Uthie
kasian nya 😢
Uthie
menarik 👍
Uthie
Coba mampir Thor 👍
Nur Adam
CEO si bloon ..ckck mslh ky gtu aja ga bisa selesaiin..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!