Pernikahan antara Adimas Muhammad Ibrahim dan Shaffiya Jasmine terjalin bukan karena cinta, melainkan karena sebuah perjodohan yang terpaksa. Adimas, yang membenci Jasmine karena masa lalu mereka yang buruk, merasa terperangkap dalam ikatan ini demi keluarganya. Jasmine, di sisi lain, berusaha keras menahan perasaan terluka demi baktinya kepada sang nenek, meski ia tahu pernikahan ini tidak lebih dari sekadar formalitas.
Namun Adimas lupa bahwa kebencian yang besar bisa juga beralih menjadi rasa cinta yang mendalam. Apakah cinta memang bisa tumbuh dari kebencian yang begitu dalam? Ataukah luka masa lalu akan selalu menghalangi jalan mereka untuk saling membahagiakan?
"Menikahimu adalah kewajiban untukku, namun mencintaimu adalah sebuah kemustahilan." -Adimas Muhammad Ibrahim-
“Silahkan membenciku sebanyak yang kamu mau. Namun kamu harus tahu sebanyak apapun kamu membenciku, sebanyak itulah nanti kamu akan mencintaiku.” – Shaffiya Jasm
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 9
Langit malam membentang luas dengan bintang-bintang yang sesekali mengintip di balik awan. Angin malam bertiup lembut, membawa aroma kopi dan kayu bakar yang samar dari dapur terbuka kafe. Di sekeliling, lampu-lampu gantung kecil bergoyang lembut, memantulkan cahaya kekuningan yang hangat ke permukaan meja kayu. Musik jazz instrumental mengalun pelan, menambah suasana intim dan santai.
Di antara ramainya pengunjung tersebut, dua orang lelaki dengan yang usianya sebaya sedang menikmati angin malam. Keduanya sama-sama melihat ke pemandangan kota. Dipadukan dengan langit yang berkilauan karena bintang-bintang yang bertebaran dan lampu kota yang yang tampak bersinar terang.
Lokasi ini sangat bagus untuk mereka yang ingin rehat sejenak dari keruwetan pikiran dan segala aktivitas. Memang bukan suasana yang tenang, namun pemandangan yang indah adalah tawaran yang bisa di ambil untuk menghilangkan sesak di dada.
Adimas duduk bersandar di kursi rotan, lengan panjang kemejanya digulung setengah. Matanya memandang jauh ke arah cakrawala, sesekali menyesap espresso hitam yang mulai mendingin. Di hadapannya, Rama, sahabatnya yang terkenal dengan pesonanya yang tidak bisa ditolak oleh para gadis duduk dengan jaket kasual dan senyum menggoda yang tak pernah absen.
“Jadi…,” Rama memutar cangkirnya di atas meja, “Bagaimana rasanya menikah dan ketika lo bangun wajah seorang Jasmine muncul di hadapan lo?" godanya sambil mengangkat alis.
Adimas melirik sinis, sudut bibirnya terangkat dingin. “Lo tau apa yang terjadi beberapa tahun lalu, Ram. Lo juga tahu gimana bencinya gue sama dia."
Rama menyipitkan matanya seolah ingin memastikan apakah yang diucapkan Adimas benar adanya atau hanya sekedar gurauan.
"Lo serius? Lo masih benci sama Jasmine?" tanya Rama lagi.
Adimas mengangguk malas. Wajahnya masih sedatar biasanya. Ia menyesap espressonya lagi. Begitu santai tanpa beban. Seolah-olah apa yang ia lakukan bukanlah hal yang aneh.
Rama menghela napasnya. Ia lalu duduk tegak memperhatikan Adimas lebih seksama.
"Jasmine itu cantik, Dim. Di sekolah kita dulu dia bahkan jadi idola banyak kaum Adam. Dia juga pintar. Lo tau kan dia selalu bersaing dengan Rindu untuk memperebutkan juara umum. Istri lo sempurna, Dim."
Adimas menatap Rama tidak suka. "Tapi gue benci dia," sahutnya cepat tanpa keraguan.
Rama tertawa pelan. “Gila lo. Hati-hati nanti lo kemakan omongan sendiri. Benci sama cinta itu beda tipis."
Adimas mengangkat bahu. “Gue enggak akan cinta sama dia.”
“Terus lo mau gimana sekarang?” Rama menyandarkan tubuhnya ke kursi, suaranya lebih serius sekarang. “Lo terus-terusan bilang benci dia. Tapi lo malah nikahin dia. Lo sebenarnya mau apa, sih?"
“Menikah bukan berarti harus saling cinta, Ram. Gue bukan lo yang suka mengobral cinta dengan sembarang orang. Apalagi dengan perempuan seperti Jasmine," jawabnya dengan serius. Tatapannya kembali kosong menatap gemerlap kota.
Rama menghela napas. “Dim... Dim... sampai kapan lo mau kayak gini? Lo harus move on. Kejadian itu udah lama. Lo enggak bisa terus hidup di masa lalu.”
“Lo tahu sendiri, Ram,” suara Adimas merendah dan dingin. “Lo tahu gimana terpuruknya Rindu karena gadis itu. Dia sudah menghancurkan mimpi Rindu dan membuat Rindu menelan pahit hingga sekarang. Bagaimana bisa lo bilang gue harus move on?"
Rama terdiam. Ia lalu mencondongkan tubuhnya lebih dekat dengan Adimas. "Jangan terlalu benci, Dim. Lo bahkan nggak lihat kejadiannya gimana. Polisi aja bilang kalau Jasmine nggak salah. Nanti lo nyesel."
Mendengar perkataan Rama bukannya membuat Adimas simpati pada Jasmine namun semakin membuat hatinya benci pada perempuan yang kini berstatus sebagai istrinya itu.
Ia sendiri merasa tidak sudi menyebutkan Jasmine sebagai istrinya. Hatinya sangat menolak kehadiran perempuan itu.
Adimas kemudian melipat tangannya di dada sembari tersenyum sinis. Matanya menatap tajam ke arah Rama. "Gue nggak tahu kalau lo ternyata sesuka itu sama Jasmine. Lo belain dia sampai segininya."
Terdengar helaan napas Rama. Adimas kemudian berdiri. Tak lupa ia mengambil ponselnya kemudian ia masukkan ke saku celananya. Sebelum ia pergi, ia menatap Rama dan dengan wajah mengejek ia kemudian berbicara.
"Saran gue jangan terlalu menyukai apalagi membela Jasmine. Lo nggak tahu dia selicik apa. Jadi hati-hati aja," ujar Adimas lalu segera pergi dari tempat itu.
Ia melangkah dengan cepat. Hatinya masih sulit menerima bahwa Rama justru membela Jasmine. Perempuan itu memang cantik, Adimas akui itu. Namun kecantikan itu tidak akan penting saat perempuan itu justru berperilaku buruk.
Lagipula Adimas tidak melihat perempuan dari fisiknya. Bagi Adimas kecantikan itu bisa pudar, namun kebaikan hati akan tetap abadi.
Dia memang pemuda yang baik, namun tentunya dia pernah berharap akan mendapatkan istri sebaik Rindu. Tentunya ia akan menjadikan perempuan yang baik seperti Rindu untuk menjadi ibu dari anak-anaknya. Bukan perempuan yang hatinya penuh iri dengki seperti Jasmine.
Mobilnya melaju membelah jalanan. Rahang Adimas mengeras dan ia menggenggam stir dengan kuat. Pembelaan Rama pada Jasmine membuat Adimas merasa menjadi orang yang sangat jahat. Padahal perempuan itulah yang jahat.
Malam menunjukkan pukul 10 malam saat ia sampai di rumah. Belum terlalu malam sebenarnya, namun suasana kediaman Ibrahim tersebut sudah sepi. Saat Adimas memasuki rumah itu, aura intimidasinya sangat kuat seperti biasa. Adimas berada di ruang utama. Di sana matanya tidak sengaja menatap sebuah figura besar yang tak lain adalah foto keluarga mereka.
Mata Adimas menatap foto yang diambil beberapa minggu sebelum Adrian pergi untuk belajar ke luar negeri. Walaupun bukan hal yang sulit untuk Adrian untuk pulang di sela-sela liburan, nyatanya adik tirinya itu lebih memilih beristirahat di apartemennya daripada di sini jika ia pulang. Itu pun jarang. Adimas rasa lelaki itu sudah terkena pesona perempuan pirang di sana, sehingga Adrian pun betah dan enggan pulang.
Di foto itu semuanya tampak tersenyum. Namun Adimas tahu senyum mereka semua adalah senyum palsu. Nyatanya tidak ada yang benar-benar menganggap dirinya keluarga di sini. Kehadirannya tentu saja hanyalah sebuah aib.
Hal itulah yang membuatnya seakan tidak punya pilihan dan berakhir menjadi suami Jasmine, perempuan yang mati-matian ia benci.
Setelah itu Adimas mulai melangkah menuju tangga. Ia ingin segera ke kamarnya. Namun baru saja akan menginjak anak tangga pertama, sebuah suara berat menghentikan langkahnya.
"Baru pulang kamu?"
Pertanyaan itu membuat Adimas menoleh ke sumber suara. Di sana lelaki yang wajahnya ia warisi berdiri tegak dengan sorot mata yang tidak kalah tajam.
"Iya." Hanya jawaban singkat itulah yang Adimas ucapkan.
"Jangan sampai eyangmu tahu. Atau dia akan kecewa. Perlakukan Jasmine dengan baik. Bagaimana pun juga, ia adalah batu loncatan yang akan membuat karirmu di perusahaan lebih baik. Ingat Adimas, di dunia ini tidak ada yang gratis. Eyangmu sudah berbaik hati mempermudah syaratnya. Jika tidak, bisa saja posisi utama itu akan diserahkan ke Adrian dan kamu hanyalah figuran."
Kata-kata peringatan itu keluar tanpa ampun dari mulut Ayahnya sendiri. Tuan Khalid Ibrahim yang sejak awal Adimas menginjakkan kakinya di sini tidak pernah memperlakukan Adimas seperti ia memperlakukan Adrian.
Perbedaan dari mana ia dan Adrian berasal membuat Adimas sadar, mau sekuat apapun ia. Mau bagaimana pun hebatnya ia, tetap saja, seorang Adimas akan selalu menjadi figuran.
"Setidaknya yang saya lakukan tidak seburuk yang anda lakukan. Tidak usah menceramahi saya panjang lebar seperti itu. Anda pun tidak lebih baik dari saya," ucap Adimas lalu segera melanjutkan langkahnya menyusuri anak tangga yang membawanya menuju area pribadinya.
Tangannya mengepal menggenggam erat tasnya. Wajahnya tegang seperti biasa. Saat Adimas sampai di depan kamarnya, ia langsung membuka pintu kamarnya. Adimas hampir lupa bahwa Jasmine ada di sini.
Ruangan besar itu masih terang. Namun Adimas tidak melihat adanya tanda-tanda seseorang di sini. Adimas lalu berjalan dan meletakkan tas kerjanya di atas meja. Hingga kemudian ia melihat sosok perempuan yang tertidur di sofa sambil memeluk sebuah buku. Dia masih mengenakan atas mukenanya. Wajahnya begitu damai ketika tertidur.
Melihat Jasmine yang sedang tidur, membuat Adimas teringat dengan tawaran bulan madu tadi pagi. Saat itu ia bahkan masih di perjalanan dan eyangnya tiba-tiba menelponnya lalu mengatakan Jasmine ingin berbulan madu ke Mekkah. Sesuatu yang Adimas tidak akan pernah kabulkan.
Adimas tersenyum miring, sengaja mengejek Jasmine. Permintaan gadis itu terlalu mengada-ada. Jangankan umroh berdua, tidur seranjang saja Adimas tidak sudi.
Setelah puas mengejek Jasmine dalam diam, Adimas segera masuk ke kamar mandi. Ia ingin mengguyur tubuhnya yang sudah lengket tersebut. Beberapa menit kemudian, Adimas selesai mandi. Tubuhnya sudah sangat segar. Ia lalu keluar mandi hanya dengan memakai handuk.
Lelaki itu berjalan dengan begitu santai menuju lemari. Namun saat ia sedang mengambil beberapa potong pakaian, suara lenguhan khas orang bangun tidur terdengar.
Adimas menoleh. Ia mendapati Jasmine yang masih memakai atas mukenanya itu berjalan sambil meracau tidak jelas. Satu lagi kekurangan perempuan itu, selain licik ia juga suka mengigau. Awalnya Adimas tidak peduli dan langsung memakai pakaiannya. Namun pergerakan lelaki itu berhenti tepat saat ia baru saja selesai memakai celana namun masih bertelanjang dada.
Jasmine tiba-tiba memeluknya dari samping. Bersentuhan dengan kulit Jasmine secara langsung membuat Adimas terdiam. Apalagi dengan cepat perempuan itu justru memeluknya dari depan. Menempelkan wajahnya ke dada Adimas yang belum terbungkus apapun.
"Dalam mimpi saja kamu seharum ini, Mas," ucap perempuan itu dengan mata terpejam.
Adimas berusaha menahan dirinya. Tubuhnya lebih membeku saat jemari Jasmine yang indah itu menyusuri dadanya. Lelaki itu hampir saja akan merutuki perempuan kurang ajar ini kalau saja perempuan itu tidak menempelkan bibirnya ke bibir Adimas.
Mata Adimas melotot kaget. Jasmine mengambil ciuman pertamanya. Walaupun hanya dengan menempelkan bibir, namun tetap saja, Jasmine mencuri first kissnya.
"Mas...." suara lirihan Jasmine begitu terdengar manja dan bodohnya tubuh Adimas justru merespon lain. "Aku mau peluk kamu dalam dunia nyata. Bukannya mimpi seperti... ini," lirihnya kemudian sempurna tertidur.
Tepatnya menumpukan tubuhnya pada Adimas. Hal itu membuat Adimas susah payah menyeimbangkan dirinya. Dengan wajah memerah antara kesal dan menahan sesuatu, Adimas menggendong tubuh Jasmine menuju sofa lalu membaringkannya dengan perlahan.
Gadis itu tertidur dengan begitu damai. Adimas menatap perempuan menyebalkan itu dengan kesal.
"Bodoh Adimas. Hanya disentuh seperti itu saja membuat tubuhmu memanas." Akhirnya Adimas kembali masuk ke kamar mandi.
Ini semua akibat respon tubuhnya yang kurang ajar karena dipeluk dan dicium sembarangan oleh perempuan licik itu.