Devandra pernah menjadi bagian dari kisah masa lalu Audrey. Pernah menjadi bahagia dan sedih hidupnya. Pernah menjadi luka yang sampai saat ini masih membekas.
Audrey sedang berusaha mengobati lukanya, menghilangkan sakitnya. Tapi disaat itu pula Devan hadir kembali.
Apakah Audrey akan menghilang kembali atau menghadapi lukanya agar ia tak lagi mengingat Devandra dihidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
Pov Naira
Saat itu aku sedang kumpul dengan teman-teman sekelas waktu SMA dulu. Sudah hampir setahun tidak bertemu pasti kalau liburan begini kami kumpul-kumpul. Sekedar melepas rindu.
"Wah... Ratu kelas udah hadir duluan!" ucap Agnes.
"Oh iya dong, aku yang reservasi. Biar kebagian tempat yang bagus," ucapku sedikit membanggakan diri. Selain itu, aku juga mentraktir mereka untuk acara seperti ini. Karena teman-teman sekelasku dulu sangat setia kawan, wajar saja aku mengingat mereka dengan mentraktir mereka makan sesekali.
Mereka memesan makanan apapun yang mereka mau. Lalu kami mengobrol panjang. Sayangnya sampai sudah lewat satu jam Hani belum juga sampai. Aku berkali-kali meneleponnya tidak ada yang mengangkat.
"Apa dia masih ada jadwal pemotretan ya?" gumamku pelan.
"Kenapa?" Cindy menyenggol lenganku. Jelas aja aku melotot. Kaget.
"Ini si Hani nggak sampe-sampe. Di telepon nggak diangkat," ucapku sambil mengirim pesan untuknya.
"Lagi di jalan mungkin," ucap Cindy.
"Mungkin ya..." ucapku. Kami kembali mengobrol tentang banyak hal. Dari kegiatan masing-masing sampai cerita masa SMA dulu.
"Eh jadi gimana kabar Devan?" tanya Tiara.
"Baik, dia kerja di perusahaan," ucapku dengan bangga. Siapa yang tidak bangga melihatnya sukses. Sekarang aku juga berusaha mendekatinya lagi. Sayang aja cowok secakep Devan masih jomblo sementara pekerjaannya sudah lumayan mapan. Dari dulu aku selalu jatuh cinta dengan semua hal yang ada di dirinya atau apapun yang dia lakukan. Dia laki-laki super sabar. Wajar dong kalau aku masih berusaha untuk mendapatkan dia lagi. Toh kami putus juga gara-gara anak kelas sebelah yang sok kecakepan.
"Heh! Malah senyum-senyum," Deddi mendorong tubuhku sampai hampir jatuh. Dasar cewek jadi-jadian ini!
"Aku tu inget... Eh sebentar! Hani telepon!" ucapku. Aku sedikit menjauh karena suara mereka yang berisik.
"Halo Hani? Kok belum sampai?" tanyaku kesal.
"Selamat siang, ini teman saudari Hani?" tanya suara laki-laki diujung sana.
"Selamat siang, ini siapa?" tanyaku.
"Saya dari kepolisian. Saudari Hani tadi kecelakaan dan saat ini sudah kami bawa ke rumah sakit. Kondisinya parah, apa Anda bisa menghubungi keluarganya untuk mengambil tindakan?"
"Baik pak, nanti saya sampaikan ke keluarganya. Terimakasih informasinya," ucapku lalu mematikan sambungan telepon.
Hmmmh... Kecelakaan rupanya. Aku segera menghubungi keluarganya dan kembali kumpul dengan teman-teman lain. Nanti saja aku ke rumah sakit, toh dia akan melakukan tindakan. Aku juga tidak bisa melakukan apapun untuknya. Lebih baik aku senang-senang dulu dengan teman lainnya. Kapan lagi kami bisa berkumpul.
"Siapa?" bisik Cindy.
"Kepolisian, Hani kecelakaan," bisikku tak mau yang lain mendengar. Karena mereka pasti akan bubar.
"Siapa kecelakaan?" tanya Agnes yang mencuri dengar. Sialan!
"Siapa? Siapa?" yang lain jadi sibuk bertanya.
"Hani kecelakaan, sekarang di rumah sakit," jawabku.
"Ya ampun, kamu pasti mau jenguk kan? Gak apa kok, kita paham," ucap Agnes.
"Iya gak apa ciiiin... Bubar aja, kasian juga Hani," ucap Deddi dengan gaya melambainya.
"Hmmmh... Iya deh, tapi nggak mau nambah ini?" tawarku, berharap mereka mengurungkan niat bubaran.
"Nggak Nai, kita bubar aja. Besok-besok kita jenguk Hani rame-rame," ucap Agnes buru-buru. Aku sedikit kesal mendengarnya. Padahal aku mau kita kumpul-kumpul dulu. Aku belum sempat memamerkan hubunganku dengan Devan. Aku percaya Devan masih mencintaiku. Terbukti sampai saat ini dia belum juga memiliki pacar. Aku rasa dia menyesal memutuskanku.
"Kami pamit ya, hati-hati di jalan. Salam untuk Hani," Agnes dan Deddi berpamitan. Bahkan si Cindy juga ikutan pergi. Alasannya karena dipanggil atasan. Ya sudah, daripada sendiri aku memilih melihat Hani dulu.
Sesampainya di rumah sakit aku langsung menuju dimana Hani sedang menunggu jadwal operasi. Berarti memang lukanya cukup parah. Aku membuka pintu dan langsung menuju ranjang Hani. Aku kaget melihat ia terbaring.
"Hani! aku baru bisa datang, gimana keadaan kamu?" tanyaku. aku berbalik dan melihat beberapa orang di sana. Tapi fokusku ada pada Ryo, aku mengenalnya.
"Ryo... Apa kabar? Gimana Hani?" tanyaku.
"Baik... mungkin sore ini dia akan di operasi.," jawab Ryo. Sesaat aku kaget melihat ada Audrey di sana. Aku lebih memilih duduk di samping ranjang Hani.
"Kata dokter tidak apa-apa, jangan terlalu cemas," ucap Ryo menenangkan. Hani hanya mengangguk pelan.
"Permisi... Aku mencari Audrey!" tiba-tiba Devan masuk. Ternyata ada Devan disini! Sungguh aku sudah merindukannya.
"Devan?" aku langsung berdiri dan menghampiri Devan yang baru masuk.
"Nai..? Kok bisa di sini?" tanya Devan.
"Tadi ada yang mengabari kecelakaan Hani, terus aku kesini. Gimana kata dokter?" tanyaku.
"Tidak apa-apa, Hani akan dioperasi sore ini. Semua administrasi sudah selesai. Hanya tinggal menunggu," ucap Devan.
"Syukurlah kalau begitu.. " aku menghela napas lega dan menggandeng lengan Devan. Aku bisa melihat Audrey dari sudut pandangan, ia membuang pandangannya untuk tak melihat adegan apapun di depan matanya. Aku tersenyum samar melihat itu.
"Kamu sudah makan?" tanyaku sengaja ingin membuat Audrey sadar posisinya kembali.
"Sudah tadi. Aku mau kembali ke kantor. Drey ayo!" ajaknya. Berarti Audrey datang kesini bersama Devan??
"Apa dia ikut dengan kamu?" tanyaku menunjuk Audrey.
"Iya, dia menggantikan Hani jadi model. Itu juga dadakan. Aku harus antar dia balik," ucap Devan. Cukup mengagetkanku. Memag dia terlihat banyak mengubah penampilannya.
"Nggak harus kamu dan lagian dari sini ke rumah kamu sudah banyak angkutan. Kenapa? Masih mengharap Devan?" tanyaku langsung pada Audrey.
"Nggak, kamu salah paham. Aku..." dia mencoba membela diri
"Pergi!" ucapku mengusir Audrey. Tapi Audrey bergeming. Dan ingin mengatakan sesuatu.
"Nai, maaf aku..."
"Pergi!" ucapku sedikit keras dan mendorong Audrey sampai hampir terjatuh. Audrey berpegangan pada sofa. Aku semakin kesal melihatnya maka kujambak rambutnya.
"Naira! Sakit!" ucap Audrey memegangi rambutnya.
"Nai, udah..." ucap Ryo.
"Nai! Lepasin tangan kamu!" bahkan Devan sedikit berteriak kepadaku!
"Ini rumah sakit, sebaiknya jangan buat keributan!" ucap Ryo. Aku tersadar ada Devan disini dan akhirnya aku melepaskan tangan dari rambut Audrey sambil sedikit mendorongnya. Audrey nyaris jatuh menimpa Ryo, untunglah Ryo membantunya menahan.
"Kamu apa-apaan sih Nai?" Devan memarahiku.
"Kamu yang apa-apaan! Masih berharap dengan dia? Iya?" ucapku menatap Devan kesal.
"Kamu tuh ya selalu membuat kesimpulan sendiri dari dulu. Kamu selalu benar dan semua orang dimata kamu selalu salah!" ucap Devan dengan sedikit jengkel. Seharusnya aku yang marah karena hubunganku dirusak Audrey.
"Kan memang benar, lihat kan gimana hubungan kita akhirnya, semua gara-gara dia!" aku menunjuk Audrey.
"Itu bukan kesalahan dia! Aku juga salah Nai. Dan semua itu sudah jadi kisah lalu. Kenapa harus diungkit?" Devan masih membela Audrey. Membuatku semakin muak dengannya.
"Kamu masih berharap dengan dia? Iya? Kamu bela dia terus. Pernah nggak sih kamu liat aku. Aku korban di sini!" ucapku.
"Jangan selalu mengaku korban kalau sakit itu kamu yang ciptakan!" Devan berbicara keras padaku. Padahal selama kmi pacaran dia tak pernah memarahiku seperti ini. Ini semua pasti gara-gara Audrey yang sok lemah itu.
"Memang ya, sejak kamu kenal dia aku selalu salah dimata kamu. Sebelum kenal dia, kamu nggak gitu," ucapku lantang agar Devan sadar bagaimana dia dulu.
"Udahlah, itu masa lalu Nai. Aku berubah juga bukan salah dia. Stop menyalahkan orang lain," ucap Devan sedikit melembut.
"Kalau kalian mau bertengkar di luar aja," ucap Ryo.
"Drey! Ayo pulang!" Devan menarik tangan Audrey.
"Tapi..." Audrey akan protes tapi Devan dengan cepat menariknya keluar.
"Devan! Devan!" panggilku. Tapi Devan tak menggubris. Devan dengan langkah cepat berjalan keluar sehingga Audrey kesusahan mengikutinya. Aku semakin marah melihatnya! Aku sudah tak dianggap lagi gara-gara Audrey! Cewek sialan itu!
Aku mengejar Devan keluar dan melihat mereka berdebat di parkiran. Semakin membuatku kesal, sudah tahu Audrey tidak mau, Devan malah memaksanya. Aku harus menyingkirkan dia.
"Cukup! Mulai sekarang kita jangan pernah bertemu lagi. Terimakasih untuk hari ini, biarkan aku pulang. Sendiri!" ucap Audrey sedikit berteriak ke arah Devan.
"Bagus! Kamu cukup tahu diri!" ucapku yang sengaja menyusul mereka ke parkiran. Audrey hanya diam menatapku, aku tersenyum melihatnya. Dia segera menyetop taksi dan pergi dari sana.
"Puas kamu?" ucap Devan.
"Salahku lagi??" ucapku mencoba mengejar Devan, tapi ia segera masuk mobil dan pergi begitu saja.
"Aaaarggghhhhhh!" aku membanting tasku kesal.