Setiap kali Yuto melihat bebek, ia akan teringat pada Fara, bocah gendut yang dulunya pernah memakai pakaian renang bergambar bebek, memperlihatkan perut buncitnya yang menggemaskan.
Setelah hampir 5 tahun merantau di Kyoto, Yuto kembali ke kampung halaman dan takdir mempertemukannya lagi dengan Bebek Gendut itu. Tanpa ragu, Yuto melamar Fara, kurang dari sebulan setelah mereka bertemu kembali.
Ia pikir Fara akan menolak, tapi Fara justru menerimanya.
Sejak saat itu hidup Fara berubah. Meski anak bungsu, Fara selalu memeluk lukanya sendiri. Tapi Yuto? Ia datang dan memeluk Fara, tanpa perlu diminta.
••• Follow IG aku, @hi_hyull
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hyull, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 | Deketin Bapak Mertua
“Kok bisa sama si Yuto tadi?” Eka langsung bertanya kepada Fara, begitu Yuto sudah tak terlihat lagi di sana.
Fara meletakkan helmnya di ruang tamu lebih dulu, kemudian kembali ke halaman depan hendak memasukkan motornya ke ruang tamu.
“Bang Yuto numpang. Biasanya pergi sama Om Yuki, tapi tadi katanya Om Yuki naik kereta.
“Memangnya dia nggak punya kereta?”
Fara mengangkat bahu, dan mulai menarik gas hingga motornya melaju melintasi teras—di mana mamanya masih duduk di sana, sementara papanya sudah bangkit dan mulai melangkah pelan, tampak tertatih-tatih karena telapak kakinya kebas, melangkah menuju masjid di ujung Blok A.
“Jadi nanti malam kayak mana, Ma? Boleh kan Fara ke rumah Bu Ruka?” tanya Fara setelah memarkirkan motornya.
“Ya mau kayak mana lagi. Besok-besok kasih tahu terus maunya, kasih tahu kalau malam jaga kedai. Udah tahu papamu itu kalau malam maunya tidur cepat. Kayak gitu aja masa nggak ngerti. Kalau bukan Fara yang diharap, siapa lagi? Kan udah tahu, nggak mungkin tutup kedai karena hutang kita banyak.”
Setelah mengatakan semua itu, Eka melangkah melewati Fara yang sudah terdiam di ruang tamu lalu masuk ke dalam kamar mandi, pasti hendak mengambil wudhu untuk salah magrib.
Sebenarnya, tadi ia merasa bersemangat karena diperbolehkan ikut bakar-bakar. Tapi, setelah mendengar perkataan ibunya barusan, jadi berat hatinya.
Hutang kita banyak.
Ia yang sangat diharapkan.
Dianggap tak mengerti keadaan.
Fara menghembuskan napas. Untuk kesekian kalinya, ia merasa nasibnya sangat tidak adil. Hutang yang dikarenakan kakaknya, dampaknya ikut ia rasakan dan menjadi harapan untuk membantu melunaskan. Padahal setiap bulannya ia juga sudah membantu dari gajinya, sudah rela menjaga kedai sambil terkantuk-kantuk setiap malamnya, tapi masih dianggap tak mengerti keadaan.
Dan seperti biasa. Setiap kali merasa miris dengan keadaannya, Fara selalu menepis rasa lelah dan sakit hati agar tak kecewa. Ia cukup menganggap bahkan itu memang sudah kewajibannya sebagai anak yang masih menumpang hidup dengan orang tua.
Tak ingin terlalu larut dalam perasaan itu, Fara lekas menutup pintu ruang tamu, mencuci tangan di wastafel dapur, meletakkan kotak bekal yang sudah ia cuci di rak piring, barulah setelah itu ia masuk ke dalam kamarnya.
Suara dering ponsel terdengar singkat begitu ia menutup pintu kamarnya. Ketika ia raih ponselnya, ia mendapati adanya sebuah pesan, dan itu dari Yuto.
“Abang jemput abis magrib, ya. Biar Fara pulangnya nggak malam kali.”
Memanas lagi pipinya. Kesedihan yang tadinya sempat ia rasakan, kini seketika tergantikan dengan segala perhatian yang ia terima dari Yuto.
“Aku pakai baju apa, ya?”
Masih dengan ransel di punggung, Fara membuka pintu lemari pakaiannya. Berhembus lagi napasnya, menyadari hanya ada kemeja untuk ke kantor, dan kaus rumahan yang kebanyakan berwarna kuning, bergambar bebek pula.
“Ah, pakai apa yang ada aja. Mandi, mandi!”
…
“Itu, yang krem aja,” kata Sora, yang entah kapan sudah masuk ke dalam kamar abangnya—yang tampak duduk bersila di lantai di depan kopernya yang sudah tiga hari belum juga Yuto susun di lemari.
Yuto, yang saat itu belum mengenakan baju, menoleh pada adiknya. “Krem? Kenapa?” tanyanya.
“Biar couple sama adek Fara…”
Yuto amati raut wajah adiknya. Adiknya ini memang indihome, bisa melihat sesuatu dari batinnya, tetapi adiknya ini juga nakal, suka iseng.
“Jangan bohong, ya…”
“Enggak, loh. Udah, cepat dikit. Itu papa nungguin.”
“Iya, iya.”
Yuto segera meraih kaus oblong berwarna krem, lalu memakainya sambil melangkah keluar rumah menyusul papanya yang sudah menunggu di depan pagar, sangat terburu-buru hendak ke masjid.
“Ada papanya Fara di sana, Bang!” teriak Sora dari ambang pintu rumah.
Yuto mengangguk-angguk dan terus melangkah.
David, yang sudah disusul oleh putranya itu, tersenyum sambil menggeleng-geleng, gemas kali dengan semangat anaknya dalam mendekati sang pujaan hati.
“Yuto beruntung, karena papa si Fara nggak seram. Dulu papa waktu menghadapi Kek Haru, duh, ngeri kali.”
Yuto tertawa. “Ngeri kenapa, Pa?”
“Kek Haru itu protektif kali. Mungkin karena mama anak perempuan satu-satunya, polos kali juga, masih muda juga, sedangkan umur papa jauh lebih tua.”
“Tapi sekarang Kek Haru nggak seram lagi, kan?”
David tersenyum. “Sekarang justru jadi baik kali. Jadi… intinya itu, untuk dapatin hati orang tua wanita yang kita inginkan, cukup tunjukkan sama mereka kalau kita betul-betul serius dan tulus. Jangan cuma sayang sama anaknya, orang tuanya juga. Buat mereka percaya kalau kita nggak main-main. Kalau orang tuanya sudah luluh, biasanya anaknya pun jadi mudah jatuh hati. Jagain, anak papa ganteng gini, masa iya Fara nggak jatuh hati.”
David merangkul bahu Yuto lalu menepuk ramah punggungnya. “Kalau memang sudah yakin, deketin orang tuanya, deketin anaknya, deketin terus sampai dapat. Papa sih, dukung kali. Fara baik soalnya.”
Semakin bersemangat si Yuto.
Semangatnya semakin membara saat menemukan Pak Iyon, papanya Fara yang sudah berdiri di saf baris kedua. Yuto lekas melangkah cepat, lalu berdiri di saf yang sama, selisih lima orang saja.
Salat magribnya pun dihiasi dengan senyum manis di wajahnya.
…
“Na… na-na, na-na, na. It’s the love shot.”
Lagu EXO menemani berdandan. Bukan dandanan seperti wanita pada umurnya. Dandanan yang Fara lakukan sekadar mempertegas sedikit alis dan memoles liptint. Begitu saja ia sudah puas melihat wajahnya. Ia malah tidak pede jika polesannya terlalu tebal.
Suara pintu rumah terdengar olehnya, diiringi suara papanya yang mengucapkan salam. “Assalamu’alaikum… ayo, masuk Yuto.”
Membelalak mata Fara saat papanya menyebut nama itu.
“Ada Bang Yuto? Udah datang? Kok cepat kali?”
Ia menjadi panik dan malu di waktu bersamaan. Ia mondar-mandir nggak jelas di dalam kamar, padahal bisa langsung keluar kamar karena sudah berpakaian lengkap. Tapi, dia terlalu malu.
Pintu kamarnya diketuk, sukses membuatnya terperanjat. “Fara, itu Bang Yuto jemput.” Suara papanya terdengar sedikit lebih bernada, tidak datar seperti biasanya, mungkin karena ada Yuto di sana.
“Iya, Pa.”
Fara bercermin lagi, berdehem beberapa kali tapi tak juga merasa tenang. Kacau kali debaran jantungnya. Ia juga tidak mengerti mengapa begitu.
“Jangan norak kali kau, Fara. Biasa aja napa,” ujarnya kepada dirinya sendiri. Ia tatap pantulan tubuhnya di cermin, kemudian mengangguk yakin. “Oke, santai aja. Itu cuma Bang Yuto. Dulu pun kau udah sering jumpa dia.”
Baru saja melafalkan mantra itu, tetapi begitu ia membuka pintu kamarnya, langkahnya tertahan di ambang pintu.
Hembusan napasnya pun sampai tersendat saking gugupnya. Tapi, karena tak ingin Yuto menunggu lama, ia paksakan kakinya melangkah meski hatinya belum siap.
Di ruang tamu, ia melihat Yuto berdiri di depan foto keluarga. Yuto tersenyum, pandangannya fokus pada satu sosok di foto itu. Tentu saja Fara, yang tampak sangat menggemaskan. Rambut kepang dua, poni selamat datang, pipi bulat sempurna, begitu juga perutnya. Lengan dan paha montok sempurna, dan bibir mengkilat karena minyak bakwan. Bahkan di tangannya tampak ada sepotong bakwan.
Itu foto yang diambil saat Fara masih berumur 7 tahun, masa di mana Yuto sudah jatuh hati pada kelucuan Fara saat itu.
“Bang,” tegur Fara seperti berbisik, malu kali karena Yuto melihat ke foto sambil senyum-senyum seperti itu.
Yuto menoleh, masih dengan senyumnya. Pandangan Yuto terpaku sejenak ke kaus lengan panjang yang dipakai Fara. Benar seperti Sora, Fara memakai warna krem. Semakin mengembang senyum Yuto.
“Udah bisa pergi sekarang?” tanya Yuto.
Fara mengangguk, semakin memanas pipinya melihat senyum di wajah tampan itu.
.
.
.
.
.
Continued...
sama kita fara, banyak yg ngira lagi hamil gara2 gendut, 🤣🤣🤣🤣