Novel ini merupakan karya pertama dari author. Harap dimaklumi jika ada beberapa chapter yang harus di "Revisi"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mas teguh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26
Melihat kesungguhan yang terpancar dalam mata berair Lyvia, pemuda itu terdiam. Luciel tidak langsung memberikan jawaban, ia terlihat memandang gadis itu menelisik.
Luciel tidak tahu apa yang dipikirkan Lyvia saat ini, ia juga tidak tahu hal apa yang membuat gadis Half-Elf itu sangat bertekad. Yang pasti, melihat kesungguhan dan tekad yang tercermin diwajahnya yang cantik, Luciel dapat meyakini gadis itu sangat bersungguh-sungguh.
"Kamu seharusnya tahu, kan? Belajar dan berlatih seni beladiri itu sangat sulit. Kemungkinan untuk menguasainya juga tidak mudah. Bahkan, seseorang yang memiliki bakat sekalipun merasa kesulitan ketika melakukannya." Kata Luciel perlahan. Pemuda itu masih memandang Lyvia cukup intens.
"Terlebih lagi, apakah kamu siap dengan semua resiko yang ada? Tubuh mu mungkin akan terluka karena prosesnya."
Mendengar ini, Lyvia mengangguk membenarkan. Ia juga tahu apa yang akan menantinya ketika belajar dan berlatih seni beladiri. Seni beladiri tidak mudah untuk dipelajari bahkan untuk orang yang memiliki bakat. Saat prosesnya saja, dibutuhkan usaha dan mentalitas yang cukup kuat. Jika tidak, maka akan sia-sia hanya berdasarkan kata-kata saja.
Tetapi, Lyvia tidak peduli. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk berlatih. Tekadnya sudah bulat dan keinginannya untuk melindungi orang-orang yang yang disayanginya sangat besar. Kendati demikian, ada satu hal yang tidak bisa Lyvia ceritakan kepada Luciel karena hal ini menyangkut masa depannya.
Bukan berarti ia tidak ingin memberi tahu pemuda itu, hanya saja Lyvia tidak ingin beban yang selama ini di tanggunnya malah membebankan orang lain. Gadis itu beranggapan bahwa masalah yang dimilikinya merupakan takdir yang ia harus hadapi. Oleh karena itu, bagaimanapun caranya ia harus menyelesaikannya sendiri tanpa membebani siapapun. Meskipun terasa berat, mau tidak mau Lyvia harus melakukannya.
"Aku mengerti Luciel!" Lyvia menatap Luciel dengan ekspresi penuh harap, tetapi pemuda itu tertegun sejenak dan berkata.
"Kamu tahu, Lyvia. Belajar seni beladiri bukan sesuatu yang mudah, namun bukan berarti itu hal yang mustahil untuk dilakukan. Jika kamu bersungguh-sungguh, pada akhirnya kamu pasti akan menguasainya. Hanya saja, untuk melatihmu..."
"Aku menolak"
Lyvia yang pada awalnya tampak bersemangat dan penuh harap tertegun mendengar jawaban Luciel. Ia merasa merasa kecewa karena pemuda itu menolak untuk melatihnya seni beladiri. Padahal, gadis itu tahu bahwa kemampuan seni beladiri yang dimiliki Luciel sangat luar biasa. Terbukti saat pemuda itu menang melawan Chad dan si kembar sendirian.
Melihat ekspresi kecewa gadis itu, Luciel dengan senyum lembut menggelengkan kepalanya.
"Aku memang menolak untuk melatihmu karena aku tidak memiliki pengalaman mengajari seseorang. Terlebih lagi, kemampuan yang ku miliki masih terbilang rata-rata. Tetapi, bukan berarti tidak ada jalan keluar. Ada seseorang yang bisa mengajari mu seni beladiri."
Lyvia yang awalnya merasa kecewa, api harapan tampak berkobar didalam hatinya. Dipenuhi semangat yang membara, gadis itu dengan tidak sabar bertanya.
"Siapa dia, Luciel? Bisakah orang itu melatihku."
Luciel mengangguk dan berkata "Itu ayahku!"
"Ayahmu? Paman Lucian?"
"ya!" Luciel membenarkan.
Mendengar hal ini, ekspresi Lyvia meredup. Awalnya, ia berharap bisa belajar dan berlatih bersama Luciel. Bukan karena alasan khusus, tetapi karena pemuda itu merupakan temannya yang mungkin bisa membantunya tanpa merepotkan orang lain. Bagaimanapun juga, Lyvia sedikit berbeda dari kebanyakan orang lain, dan saat ini hanya Luciel saja yang bisa membantunya .
"Apakah aku akan merepotkan mu dan paman Lucian?" Lyvia bertanya ragu-ragu. Ada sedikit perasaan tidak enak hati didalam ucapannya.
"Mungkin tidak! Walaupun demikian, aku akan mencoba membicarakan nya kepada ayah. Seharusnya ayah bersedia untuk yang satu ini."
"Terimakasih Luciel! Aku tidak tahu apa yang harus aku bayar...."
"Kamu tidak perlu membayar apapun padaku, Lyvia."Luciel menggelengkan kepalanya lembut. "Kamu adalah temanku. Jadi, tidak perlu sopan seperti itu."
Mata Lyvia berembun, emosinya saat ini tidak stabil. Di kesendirian nya sebelum bertemu Luciel, ia sudah menvonis dirinya bahwa akan selalu kesepian, tanpa orang tua, teman dan saudara. Meskipun begitu ia merasa cukup jika hanya ibu panti yang peduli kepadanya, selebihnya ia tidak peduli apapun.
Tetapi sejak bertemu Luciel yang waktu itu menolongnya dan bahkan menjadi temannya, anggapan Lyvia ternyata salah. Kendati demikian pemuda itu bukan orang terdekatnya, namun Luciel bahkan tidak perhitungan terhadapnya. Pemuda itu bahkan mau berteman dengan Half-Elf sepertinya yang tidak memiliki latar belakang apapun.
Jika dilihat dengan benar, pemuda itu seharusnya bukan orang biasa. Tetapi pandangan matanya terhadap Lyvia, itu tidak sama dengan pandangan orang lain yang memiliki rasa jijik dan rasis. Hanya pandangan yang murni dan tulus.
Menundukkan kepalanya, Lyvia berusaha menekan emosi yang berfluktuasi di dalam dirinya. Sedikit air mata menetes disudut matanya, dengan terbata-bata ia berkata.
"Luciel, sekali lagi terimakasih. Aku.... Kamu baik sekali. Aku tidak tahu dengan cara apa aku membalasmu. Tetapi yang pasti aku akan berusaha untuk membalas kebaikan mu dimasa depan. jadi.."
Luciel memotong perkataan Lyvia dengan menutup mulutnya yang indah dengan jari telunjuknya. Bibirnya yang lembab serasa lembut di jari pemuda itu. Meskipun begitu, Luciel tidak memiliki maksud lain, mereka berdua sebenarnya anak yang polos yang belum tahu apa-apa.
Menggelengkan kepalanya, Luciel berkata.
"Baiklah.. Aku tidak ingin mendengar ucapan terimakasih mu lagi, oke. Kita teman, jadi tidak perlu terlalu sopan."
Memikirkan beberapa saat, pemuda itu bertanya.
"Id mu?"
"Id?"
"Id telepon canggih mu. Biar aku tambahkan kedalam kontak ku."
"Oh, itu... Ini"
Mereka saling bertukar Id telepon canggih. Kemudian, bangkit dari duduknya, Luciel terlihat melakukan peregangan. Setelah itu, ia dengan nada bosan berkata.
"Baiklah, jam istirahat sudah hampir berakhir. Ayo kembali kedalam kelas!"
Setelah mengucapkan ini, Luciel dan Lyvia berjalan masuk menuruni tangga dari atap gedung. Mereka diam tak bersuara, keheningan menyelimuti langkah mereka menuju kelas. Meskipun tidak berada dikelas yang sama tapi kelas mereka searah, Luciel kelas tahun ketiga A sedangkan Lyvia kelas tahun ketiga B.
Menyusuri sepanjang koridor sekolah mereka berjalan cukup santai. Lyvia, gadis itu terlihat memegang alat gambar yang ia bawa dengan cara mendekapnya. Sayangnya, hal ini tidak bertahan lama. Ekspresi Luciel yang sejak tadi menampilkan kebosanan berubah menjadi dingin.
Bukan tanpa alasan ekspresi pemuda itu berubah demikian, itu karena didepannya nampak tiga orang anak laki-laki yang memiliki seragam yang sama dengannya. Tiga orang anak-anak laki-laki tersebut merupakan seseorang yang bersama Chad Hurley beberapa hari yang lalu, ketiganya terlihat akrab dengan tuan muda itu.
Semakin dekat ke-arahnya, Luciel dengan ekspresi datar berjalan didepan Lyvia. Gadis itu pada awalnya bertanya-tanya, kemudian melihat ketiga anak laki-laki itu, Lyvia semakin dekat dengan punggung Luciel untuk bersembunyi.
Saling bersilangan, tidak ada percikan diantara mereka pada awalnya. Tetapi kemudian, keheningan itu dipecahkan oleh salah satu diantara ketiganya. Anak yang paling kurus dengan rambut berwarna coklat berkata.
"Oh.. Coba tebak siapa ini? Ya... Seorang Luciel! Siswa kelas tahun ketiga A yang sangat cerdas. Dan apa yang lebih menariknya, dia berjalan dengan gadis Half-Elf dari kelas tahun ketiga B. Wow, suasana apa ini? Apakah ini adalah kisah cinta antara Ras Manusia dan Ras Campuran?" Ucapnya dengan nada mengejek, sinis seringai bercampur didalamnya. Dua yang lain terkekeh seakan-akan menikmati pertunjukan badut yang lucu.
Luciel tidak menjawab. Ia terlihat menghentikan langkahnya. Suasana di koridor gedung sekolah menengah mendadak menjadi tegang. Tubuh Lyvia sedikit tegang, terlihat dari cengkeramannya pada alat gambar yang semakin erat.
Menghela nafas ringan, Luciel meraih tangan Lyvia dan ingin berlalu. Pemuda itu tidak ingin mencari masalah, tetapi juga tidak takut jika masalah datang kepadanya. Hanya saja, untuk menjaga rasionalitasnya, Luciel lebih baik mengalah.
Apa lagi, selama ini pemuda itu adalah sosok yang acuh tak acuh terhadap sekitarnya. Meladeni orang yang tidak memiliki kejelasan, Luciel merasa bosan untuk meladeninya. Tetapi itu bukan berarti Luciel adalah sosok yang pengecut.