Perjalanan hidup sebuah nyawa yang awalnya tidak diinginkan, tapi akhirnya ada yang merawatnya. Sayang, nyawa ini bahkan tidak berterimakasih, malah semakin menjadi-jadi. NPD biang kerok nya, tapi kelabilan jiwa juga mempengaruhinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Osmanthus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Taktik Hidup
Bu Tere dan Nita sudah sampai di rumah. Doni dan Joni ternyata telah makan siang di rumah pak RT. Bahkan bu Tere dan Nita juga mendapatkan makan siang.
"Aduh pak, bu, saya jadi merasa sungkan sudah merepotkan bapak dan ibu. Sudah ditolong diantarkan ke rumah sakit, malah ini kami semua dikasih makan lagi." ujar bu Tere menyeka air matanya.
"Tidak apa-apa atuh bu, namanya kalian lagi kesulitan begini. Wajar kami tolong." jelas bu RT yang memang terkenal lembut dan suka menolong.
Pasangan suami istri ini memang suka menolong warganya. Mereka selalu peduli dengan masyarakat sekitar. Makanya warga selalu memilih pasangan ini kembali menjadi RT.
"Terimakasih banyak ya pak, bu. Kami tidak bisa membalas kebaikan bapak dan ibu, tapi biarlah Tuhan yang membalaskan nanti." ujar bu Tere lagi.
"Kami pamit kembali ke rumah dulu. Saya rasa sebentar lagi suami saya sampai ke rumah" jelas bu Tere sembari pamit mengundurkan diri dari rumah pak RT.
Ketiga anak-anak nya juga menyalim pak RT dan istrinya.
"Ini bu, dibawa pulang. Mana tau nanti pak Guntur lapar." bu RT menyerahkan kantong plastik berisi bungkusan makanan.
"Aduh bu, ngga apa-apa bu. Nanti bisa dimasak bu." tolak bu Tere.
"Udah terlanjur dibeli juga, kami hanya berdua mana mungkin makan lagi bu. Sudah, dibawa pulang aja" bu RT kembali memaksa bu Tere membawa pulang bungkusan makanan itu.
"Aduh...baiklah bu, terimakasih banyak ya bu." ujar bu Tere dengan sungkan sembari menyalami bu RT dan pak RT.
"Sama-sama bu, namanya kita tetangga, saling menjaga dan membantu itu biasa. Jangan sungkan ya kalau ada yang perlu dibantu lagi ke depannya." jawab pak RT
"Iya bu, sama-sama. Jangan sungkan loh, ke depan nya mana tau nanti kami yang butuh bantuan. Sudah biasa kita hidup bertetangga saling membantu." bu RT juga membenarkan jawaban pak RT.
"Baik pak, baik bu. Nanti kalau ada perlu bantuan, kami juga siap membantu pak, bu." jawab bu Tere sembari tersenyum.
Lalu mereka pun keluar dari rumah pak RT dan bu RT.
Saat ini bu Tere belum tahu bahwa pak RT telah membayar biaya rumah sakit. Karena sebelum mereka pulang, pak RT izin ke toilet. Di saat itulah dia pergi ke bagian administrasi dan membayar biaya rumah sakit pak Guntur.
Bu Tere dan Nita kembali pulang ke rumah. Joni dan Doni sudah sampai di rumah setelah mengambil kunci rumah dari bu RT, kebetulan rumah Bu RT di depan gang menuju rumah mereka. Jadi ketika mereka pulang sekolah, langsung saja dipanggil oleh bu RT dan diberikan nasi bungkus untuk mereka berdua.
Sepanjang jalan bu Tere dan Nita hanya diam membisu. Bu Tere sibuk memikirkan kondisi suaminya dan entah bagaimana kehidupan mereka ke depannya.
Sesampainya di rumah Joni menyambut ibunya.
"Bagaimana keadaan ayah bu?" tanya Joni dan Doni serempak yang memang sengaja duduk di teras menunggu ibu dan ayahnya.
"Katanya sih ayah tidak ada masalah apa-apa. Hanya saja ayah tidak boleh terlalu emosi." ujar bu Tere singkat.
"Lalu apa ayah dirawat inap bu?" tanya Joni lagi.
Si sulung yang cerdas, tahu bahwa perkataan ibunya punya maksud tertentu.
"Ngga, katanya sih kalau kondisi ayah baik setelah habis diinfus, ayah bisa pulang." jawab bu Tere lagi sembari anaknya membimbing dia menaiki tangga rumah.
"Syukurlah, apakah ibu dan Nita sudah makan?" tanya Doni lagi.
"Sudah, tadi bu RT memaksa ibu dan Nita makan dulu, bahkan dibekali lagi bungkusan makanan untuk ayah" jawab bu Tere lagi sembari mengangkat kantong plastik yang dibawa nya.
"Kalau begitu ibu istirahat dulu, kejadian tadi pasti membuat ibu cemas." jawab Joni dan membimbing ibunya ke kamar.
"Iya, untuk sementara kalian jangan keluyuran dulu ya. Nanti ayah malah marah karena kalian tidak di rumah. Ingat, ayah jangan di buat marah ya." tekan bu Tere lagi kepada kedu anak lelakinya.
"Ya bu, kami paham." jawab Joni dan Doni serempak.
Setelah sang ibu beristirahat di kamar, maka Joni memanggil Nita duduk di teras luar.
Joni sudah mendengar sedikit bahwa Nita membuat keributan perihal dirinya yang diadopsi.
Joni mendapatkan berita ini dari kakak sepupunya anak bibi Suni. Sang kakak sepupu menyaksikan dari jendela rumahnya yang memang terlihat jelas halaman rumah Joni. Dia melihat bagaimana Nita marah-marah dan berteriak-teriak kepada bu Tere.
"Sini, abang mau bicara." Joni menunjuk kursi kosong yang ada di tengah antar dia dan Doni.
Nita hanya bisa patuh dan mengikuti saja.
Temperamen Joni berbeda dengan Doni, hampir mirip ayahnya, dia hanya akan berbicara seperlunya dan bisa sangat menyakitkan. Tapi Joni selalu sayang sama Nita.
Gayanya yang dingin itulah yang membuat Nita senang, apalagi sekarang setelah tahu Joni bukan saudara kandungnya, dia semakin leluasa donk.
"Kamu tahu bagiaman ibu membesarkan mu?" tanya Joni
"Tahu bang, ibu jualan risol." jawab Nita singkat.
"Lalu mengapa kamu seakan menyalahkan ibu? Padahal ibumu si Ema itu yang memberikan mu kepada ibu Tere." jelas Joni lagi.
Doni kaget, selama ini dia sadar adiknya memang tidak mirip dengan mereka dan dia tau adiknya mungkin anak orang lain, tapi baru kali ini dia dengar nama ibu kandung Nita.
"Maaf bang, aku tahu aku salah. Seharusnya aku tidak begitu kepada ibu. Hanya karena emosi makanya aku jadi kelepasan bicara sama ibu bang." jawab Nita cepat.
Dia memang berusaha mengambil hati Joni dulu, supaya dia tidak dibenci. Apes banget kalau sampai dia dikirim kembali ke rumah Pak Simon. Jadi meskipun harus memohon-mohon, dia akan tetap mengusahakan di rumah itu. Jangan sampai mereka "melemparkan" dia keluar.
Sekarang dia ada tujuan hidup, bodo amat anak adopsi, yang penting ada tujuan dulu.
"Kalau tahu salah, nanti setelah ayah pulang kamu harus minta maaf, dengar?" tanya Joni lagi datar.
"Iya bang, aku janji akan segera minta maaf kepada ayah." Nita sengaja memelaskan suaranya agar Joni kasihan.
"Kepada ibu bagaimana? Sudah minta maaf?" tanya Joni lagi, tidak terpengaruh dengan nada suara Nita yang memelas.
"Belum bang, karena tadi dari rumah sakit kami makan dulu di rumah bu RT, lalu langsung jalan ke rumah, belum ada kesempatan bang." jawab Nita dengan nada dibuat-buat seakan sedih.
"Nanti kamu juga minta maaf kepada ibu, sekarang biarkan ibu istirahat dulu." Joni tetap tidak mengacuhkan Nita yang menjawab seakan-akan sedih itu.
Joni paham siapa Nita, hanya saja orangtuanya terlalu buta melihat kenyataan. Ditambah lagi dia sebagai anak, tidak bisa menentang keputusan orangtuanya mengambil Nita.