Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.
Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.
Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.
Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.
Dan Aira bahkan tidak tahu…
Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1 — Pernikahan yang Tidak Diinginkan
Aroma kayu cendana dan debu di ruang tengah itu terasa menyesakkan, seolah setiap partikel udara membawa beban utang yang tak terucapkan. Bagi Aira Nadiya, aroma itu kini berbau penghinaan.
Ia baru saja pulang, setelah delapan jam berdiri di balik meja kasir sebuah toko buku, membawa sebungkus nasi dan kelelahan yang menahun. Namun, sambutan yang ia terima bukanlah kehangatan, melainkan tatapan kosong Ayahnya dan kehadiran sosok asing—seorang pengacara kurus dengan map kulit hitam di pangkuannya.
“Aira,” suara Ayahnya, Harun, terdengar serak, tidak berdaya. “Ada sesuatu yang harus kamu dengar.”
Aira menjatuhkan tasnya, pandangannya langsung tertuju pada deretan surat peringatan penagihan utang yang kini memenuhi meja. Jantungnya mencelos. Ia tahu, Ayahnya, seorang kontraktor kecil yang selalu salah perhitungan, telah mencapai batasnya. Tapi ia tidak pernah membayangkan batas itu akan setajam ini.
“Utang Ayah jatuh tempo tiga hari lagi,” lanjut Harun, tanpa berani menatap mata putrinya. “Jumlahnya… terlalu besar. Tidak ada jalan keluar, kecuali…”
Aira menunggu, napasnya tertahan. Ia siap menjual apa pun, bekerja lembur dua kali lipat, asalkan bukan Arvan yang disentuh. Arvan, putra kecilnya yang cerdas dan manis, adalah satu-satunya cahaya di tengah badai ini.
“Keluarga Arganata menawarkan kesepakatan,” sela pengacara itu, nadanya datar dan efisien. Ia membuka map kulitnya. “Sebuah pernikahan, Nona Aira. Dengan Tuan Dion Arganata.”
Dunia Aira berputar. Otaknya menolak memprosesnya. Ia merasa seolah tenggelam dalam air dingin, tak mampu berteriak.
“Pernikahan?” Aira mengulang, suaranya hampir tak terdengar. “Apa hubungannya pernikahan dengan utang, Yah?”
Harun menundukkan kepala. “Ini… ini keinginan keluarga mereka, Ra. Dion Arganata adalah satu-satunya putra pewaris ArgaCorp. Tapi dia menolak menikah dengan pilihan yang sudah disiapkan. Dia butuh pengantin, siapapun, untuk memenuhi syarat warisan yang ditetapkan mendiang kakeknya. Sementara kita… kita kebetulan berutang pada salah satu anak perusahaan mereka.”
Semua terasa menjijikkan. Aira merasa seperti barang dagangan, dibarter demi melunasi kegagalan Ayahnya. Pengantin, siapapun, asalkan mau meneken kontrak dan memenuhi formalitas. Ia harus merelakan tubuhnya, hidupnya, demi melindungi nama Ayah dan memastikan rumah kecil ini tidak disita.
Dan di tengah semua kekacauan itu, ada Arvan.
“Apa jaminannya, kalau aku ikut kemauan mereka, Arvan akan aman?” tanya Aira, suaranya bergetar tapi matanya menantang Ayahnya.
Harun mengangkat wajah, terkejut melihat ketegasan putrinya. “Jaminan penuh. Utang lunas. Dan kamu akan… berada di posisi yang aman. Status sosial yang tinggi.”
Aman. Status sosial yang tinggi. Aira mencibir dalam hati. Apa gunanya kekayaan jika jiwanya harus dikorbankan? Namun, tatapan memohon dari Harun, ditambah gambaran wajah Arvan yang tertawa, membuat Aira menarik napas panjang. Ia harus menyelamatkan Arvan dari jurang kehancuran.
“Baik,” kata Aira, suaranya nyaris seperti gumaman. “Aku akan bertemu dengannya.”
Pertemuan pertama Aira dan Dion Arganata terjadi dua hari kemudian, di ruang rapat pribadi di lantai tertinggi ArgaCorp Tower—sebuah menara kristal yang menembus langit Kota Arganata.
Aira duduk di sofa kulit hitam, merasa sangat kecil dan salah tempat dalam balutan gaun sederhana yang ia beli saat diskon. Sementara itu, Dion Arganata—pria yang disebut-sebut sebagai CEO paling dingin dan berpengaruh di generasi ini—masuk ke ruangan itu seolah ia adalah perwujudan kegelapan yang elegan.
Pria itu tinggi, dengan postur yang kaku dan rahang yang terukir tajam. Setelan jas mahalnya membungkus tubuh atletisnya dengan sempurna, membuat aura dominasinya tumpah ruah. Namun, yang paling mematikan adalah matanya. Mata gelap itu, sejenis kopi hitam tanpa gula, menatap Aira sejenak, tatapan yang meneliti sekaligus menghakimi.
Aira menahan napas. Rasa takut itu segera digantikan oleh sensasi aneh yang tak dikenali.
Malam itu.
Potongan ingatan yang selalu ia coba hapus dari kepalanya tiba-tiba melintas, cepat, seperti kilat yang membakar. Aroma whisky dan kayu manis. Musik yang terlalu pelan. Dan tatapan yang menusuk, sama gelapnya dengan mata pria di depannya ini.
Tenggorokan Aira tercekat.
Tidak mungkin.
Ia menggelengkan kepala perlahan, berusaha meyakinkan diri bahwa kemiripan itu hanyalah ilusi yang disebabkan oleh stres dan ketakutan.
Dion mengambil tempat di seberangnya, tak sedikit pun senyum terukir di wajahnya. Ia bahkan tidak repot-repot menyapa. Jeda sunyi itu terasa seperti hukuman.
“Kau Aira Nadiya?” tanya Dion, suaranya dalam, rendah, dan dingin.
Suara itu.
Kali ini, Aira tidak bisa berdalih. Suara yang dalam, serak, berwibawa—persis suara yang ia ingat dari malam empat tahun lalu, malam ketika ia, yang sedang mabuk dan putus asa, melebur dalam pelukan seorang asing.
Aira menelan ludah, seluruh keberaniannya menguap. “Ya. Saya.”
Dion tidak peduli dengan kegugupan Aira. Dia hanya melihat Aira sebagai solusi bisnis. “Aku tidak akan bertele-tele. Aku butuh istri kontrak. Kau butuh uang untuk melunasi utang Ayahmu pada ArgaCorp. Ini adalah kesepakatan yang saling menguntungkan.”
Ia mendorong selembar kertas tebal di atas meja. Kontrak Pernikahan.
“Baca isinya,” perintahnya. “Tapi jangan berharap bisa mengubah satu pun klausul. Ini sudah final.”
Aira membaca cepat. Poin-poinnya kejam dan efisien:
Pernikahan akan berlangsung minimal dua tahun.
Status sosial harus dijaga.
Tempat tinggal adalah penthouse milik Dion.
Tidak ada hak waris untuk Aira jika Dion meninggal.
Dan yang paling menusuk: Pernikahan ini murni untuk formalitas hukum. Tidak ada tuntutan emosional, dan segala rahasia yang disembunyikan sebelum pernikahan akan mengakibatkan pembatalan kontrak tanpa kompensasi.
Aira tahu, poin terakhir itu adalah ranjau. Jika Dion tahu tentang Arvan, ia akan kehilangan segalanya.
“Aku punya satu pertanyaan,” kata Aira, nyaris berbisik.
“Cepat,” sahut Dion, tidak sabar.
Aira mengumpulkan seluruh keberaniannya. “Apa yang… harus saya berikan pada Anda sebagai seorang istri?”
Dion menyandarkan punggungnya di sofa, matanya yang tajam menelusuri Aira dari ujung rambut hingga kaki, seolah ia sedang mengukur nilai sebuah aset. Tiba-tiba, ia menyeringai tipis—senyum yang tidak mengandung kebahagiaan, melainkan ancaman yang terselubung.
“Kepuasan.”
Hanya satu kata. Tapi kata itu membawa beban yang berat, menggantung di udara seperti asap rokok. Mata Dion kemudian mengunci mata Aira, dan kali ini, tatapannya tidak lagi dingin, melainkan panas, eksplosif, mengisyaratkan hasrat yang terpendam dan siap meledak.
Aira tahu, dia tidak hanya dibeli untuk berpura-pura. Dia juga dibeli untuk dilebur di ranjang pria ini. Pria yang mungkin… yang pasti, adalah Ayah kandung Arvan. Takdir memang kejam.
“Tanda tangani di sini,” Dion menunjuk dengan pena perak, memutus ketegangan yang menyesakkan itu.
Aira mengambil pena. Tangannya gemetar. Ia tidak menoleh ke belakang, tidak memohon, tidak bernegosiasi. Demi Arvan. Ia hanya melihat nama Dion Arganata, lalu menuliskan namanya sendiri, Aira Nadiya, di atas garis terakhir.
Saat pena itu ditarik, ikatan itu terjalin. Dingin, kaku, dan penuh rahasia yang mematikan.
Malam itu, di kamar kecilnya yang berbau lavender—aroma yang sama dengan selimut Arvan—Aira duduk di lantai kayu, bersandar pada dinding yang kini terasa rapuh. Ia menatap pantulan dirinya di cermin yang samar. Bukan lagi Aira yang ia kenal, melainkan boneka yang baru saja menandatangani surat jual-beli jiwanya.
Pernikahan itu akan dilakukan secara cepat. Lusa.
Aira tidak menangis dengan isak tangis yang keras. Air matanya mengalir tanpa suara, membasahi pipi dan meresap ke kain baju tidurnya. Itu adalah tangisan yang dalam, tanpa energi, tangisan dari seseorang yang tahu ia baru saja memilih jalan yang gelap.
Ia menarik laci, mengambil selembar foto usang. Arvan, dengan senyum dua gigi depannya yang ompong, menatapnya penuh cinta. Wajah Arvan, wajah itu… kini terlihat lebih mirip dengan pria yang akan ia nikahi. Garis rahang yang kuat, mata yang tajam, dan tatapan penuh rasa ingin tahu.
Aku tidak mencintaimu. Jangan berharap apa pun dariku.
Kalimat itu belum diucapkan Dion, tapi Aira sudah bisa mendengarnya. Mereka akan hidup bersama, berbagi ranjang, berbagi desahan, tapi tidak berbagi cinta. Dion adalah CEO perfeksionis yang membenci kebohongan. Dan Aira, calon istrinya, telah memulai pernikahan mereka dengan rahasia yang paling besar.
“Maafkan Mama, Sayang,” bisik Aira pada foto itu, suaranya pecah. “Mama harus pergi sebentar, bermain peran menjadi Nyonya Arganata, agar kamu bisa tetap aman. Mama akan menjagamu dari jauh, sampai Mama tahu cara membawa kamu kembali.”
Ia meremas foto itu ke dadanya, merasakan sakit yang luar biasa. Ia adalah pengantin wanita, namun ia merasa seperti narapidana yang baru saja menerima hukuman mati. Malam itu, Aira Nadiya tertidur dalam pelukan rasa bersalah, sementara di seberang kota yang terang benderang, Dion Arganata berdiri di balkon penthouse-nya, memegang gelas whisky dan memikirkan warisan.
Bukan istrinya. Hanya kontrak.
Dion tidak tahu, bahwa di balik kontrak dingin itu, ada benih empat tahun lalu yang kini tumbuh, menunggu untuk menghancurkan segalanya.
semoga cepet up lagi