Kelahiran bayi hasil pengkhianatan tunangan dan adiknya, membuat Nara merasakan puncak kehancuran. Rasa frustrasi dan kecewa yang dalam membuat Nara tanpa sengaja menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
“Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.” -Daniel Devandra Salim
“Menikah dengan pria asing? Apakah aku bisa bahagia?”
“Seluruh kekayaanku, akan kugunakan untuk membahagiakanmu.”
Dalam pernikahan yang dikira menjadi jalan bahagia, Nara justru menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang Devan yang tidak pernah dia sangka. Di saat yang sama, ipar alias mantan tunangannya mencoba meyakinkan Nara bahwa dia hanya mencintai wanita itu dan menyesal telah mengkhianatinya.
Akankah Nara berhasil mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Devan?
Ataukah dia mengalami kegagalan dan kembali pada mantannya?
*
*
Follow IG @ittaharuka untuk informasi update novel ini ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itta Haruka07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Bara meletakkan cangkir kopinya dengan sedikit lebih pelan dari biasanya, suara dentingan cangkir di atas meja terdengar nyaring di keheningan ruangan. Ekspresi wajahnya masih tegang, garis-garis tegas di sekitar mulutnya masih terlihat jelas. Meski amarahnya sedikit mereda, tatapannya masih tajam, berfokus pada berkas laporan di meja, tetapi pikirannya melayang.
Getaran telepon genggam membuyarkan konsentrasinya. Nama "Nara" terpampang di layar. Ia ragu sejenak, jari-jarinya yang semula mengepal kini sedikit mengendur. Dengan napas panjang, Devan mengangkat telepon.
“Halo?” suaranya masih terdengar berat dan sedikit dingin.
“Dev? Aku sudah sampai rumah,” suara Nara terdengar lembut di seberang, menciptakan kontras yang tajam dengan suasana dingin di ruangan itu. “Mau aku masakkan apa malam ini?”
Bara mengusap wajahnya, seolah-olah mencoba membersihkan sisa-sisa amarah yang masih melekat di dirinya. Ia terdiam sejenak, suara Nara yang lembut perlahan mencairkan lapisan es yang membungkus hatinya.
“Hmm… apa saja, Sayang,” jawabnya, suaranya mulai terdengar lebih lunak. “Yang penting kamu masak, aku pasti suka.” Ia berusaha terdengar biasa, tetapi ada kelembutan yang tak terduga dalam suaranya.
“Baiklah,” Nara terkekeh pelan. “Aku akan membuat sop ayam, kamu suka?”
Suara tawa Nara, ringan dan ceria, menembus lapisan amarah dan ambisi yang selama ini membungkusnya. Kenangan tentang Nara, kehangatan rumah tangga mereka yang baru, dan kehidupan normalnya sebelum semua kekacauan ini, bermunculan satu per satu.
Perlahan, tetapi pasti, kekuatan Bara mulai melemah. Tatapan matanya yang tajam mulai kehilangan fokus, garis-garis tegang di wajahnya mulai melebur. Ketegangan di tubuhnya mengendur, diganti oleh kelegaan yang mendalam.
“Terima kasih, Sayang,” bisiknya, suaranya hampir tak terdengar. “Aku lelah.”
“Kalau lelah, pulanglah,” kata Nara lembut. “Aku akan segera selesai memasak.”
Dengan suara Nara masih samar-samar terdengar di telinganya, Bara menutup matanya. Perlahan, Bara—dan seluruh amarahnya—menghilang ke dalam tidur yang lelap. Devan kembali.
**
Mobil Dio berhenti di depan apartemen Devan. Devan, yang duduk di kursi penumpang, tampak sangat lemas. Wajahnya pucat, dan tubuhnya lunglai bersandar di sandaran kursi. Kekhawatiran terlihat jelas di wajah Dio saat ia membantu Devan keluar dari mobil.
“Pak Devan, Anda baik-baik saja?” tanya Dio, menyangga tubuh Devan yang hampir ambruk.
Devan hanya mengangguk lemah, matanya hampir tertutup. Ia terlihat sangat lelah, bahkan langkah kakinya pun terasa berat.
Di dalam apartemen, Nara menyambut mereka dengan wajah khawatir. Melihat kondisi Devan, ia langsung menghampiri dan memegang lengan suaminya.
“Devan! Ada apa ini? Kamu kenapa?” tanyanya dengan suara cemas, sentuhannya lembut namun penuh kekhawatiran.
“Aku … aku hanya lemas, Nara,” jawab Devan dengan suara serak. “Banyak pekerjaan hari ini.”
Dio menjelaskan, “Iya, Bu Nara. Sepertinya Pak Devan kelelahan dan belum makan siang.”
Nara mengangguk, matanya masih tertuju pada Devan yang terlihat sangat lemah. “Tolong bantu aku membawanya ke sofa, ya?”
Dengan hati-hati, Dio dan Nara membantu Devan duduk di sofa. Nara segera mengambilkan segelas air hangat dan beberapa potong roti. Dengan penuh kasih sayang, ia menyuapi suaminya, memastikan Devan makan sedikit demi sedikit.
Devan makan dengan pelan, sesekali ia melirik Nara dengan tatapan penuh syukur. Kehangatan dan perhatian Nara memberinya kekuatan untuk melanjutkan hari.
Setelah Devan merasa lebih baik, Dio pamit pulang. Dia menolak tawaran Nara untuk makan bersama, karena dia tahu ini waktu yang berharga untuk Nara dan Devan menjalain hubungan semakin dekat. “Terima kasih untuk tawarannya, Bu Nara,” katanya. “Saya permisi dulu. Semoga Pak Devan cepat sembuh.”
Nara tersenyum, “Terima kasih juga, Dio. Hati-hati di jalan.”
Dio pun pamit, meninggalkan Nara dan Devan yang kini tampak lebih tenang dan nyaman di tengah kehangatan rumah mereka.
‘Sekarang aku percaya, jodoh memang harus dijebak,’ batin Dio seraya menutup pintu apartemen.
Setelah pintu tertutup, keheningan menyelimuti ruangan. Nara kembali duduk di samping Devan, sebuah mangkuk berisi sop ayam hangat terhidang di atas meja di depan sofa. Aroma sop ayam yang harum memenuhi ruangan, menambah rasa nyaman dan hangat.
“Sop ayamnya sudah matang, Dev,” kata Nara lembut, sambil menyendokkan sedikit sop ayam ke dalam sendok. “Makanlah, supaya kamu cepat sehat.”
Devan membuka mulutnya, membiarkan Nara menyuapinya dengan penuh perhatian. Ia menikmati setiap suapan, rasa sop ayam buatan Nara nyatanya mampu membuatnya merasa lebih baik.
“Terima kasih, Nara,” kata Devan setelah menghabiskan beberapa sendok sop. “Enak sekali.”
“Sebenarnya, apa yang terjadi, Devan?” tanya Nara, suaranya terdengar lirih, tatapannya penuh kekhawatiran. “Kenapa kamu sampai nggak makan siang?”
Devan mengerutkan dahi, seolah-olah berusaha mengingat-ingat. “Aku … aku nggak ingat, Nara,” jawabnya jujur. “Rasanya aku seperti … pingsan.”
“Pingsan?” Nara mengerutkan kening, kecemasannya semakin bertambah.
Devan mengangguk. “Ya, aku nggak ingat apa-apa. Tapi sop ayam ini … enak sekali. Aku nggak nyangka kamu tahu makanan apa yang ada di pikiranku.” Ia tersenyum kecil, mencoba untuk meringankan suasana.
Nara menatap Devan dengan tatapan yang semakin curiga. Suaranya lirih, hampir seperti bisikan. “Tapi … tadi kan aku sudah meneleponmu. Aku bilang kalau aku akan memasak sop ayam.”
Devan berdeham pelan, mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. Ia kembali membuka mulut, menginginkan suapan berikutnya.
Nara, dengan kecurigaan yang masih terpancar di matanya, tetap menyuapi Devan. Gerakannya lembut, tetapi tatapannya tetap tajam.
Setelah beberapa saat, Nara berhenti menyuapi Devan. Ia meletakkan sendoknya dan menatap suaminya dengan serius. “Devan,” katanya, suaranya terdengar sedikit khawatir, “Apa kita perlu ke rumah sakit untuk periksa?”
Devan menggeleng cepat, menolak tawaran Nara dengan tegas. Ia menggenggam tangan Nara dengan erat, mencoba untuk meyakinkan istrinya. “Aku baik-baik saja, Nara,” katanya, suaranya terdengar lembut, tetapi mantap. “Aku hanya kelelahan. Tenang saja, nanti aku akan menelepon dokter keluarga untuk konsultasi.” Ia mencium punggung tangan Nara dengan lembut, mencoba untuk menenangkan kecemasannya.
Setelah menghabiskan sop ayam buatan Nara, Devan merasa lebih baik, meskipun masih sedikit lemas. Ia izin ke balkon, mengatakan ingin menghirup udara segar. Nara mengangguk, tetapi matanya tetap memperhatikan Devan.
Di balkon, Devan menghubungi seseorang melalui ponselnya. Suaranya terdengar pelan, tetapi Nara yang berada di dekat pintu balkon masih dapat mendengar percakapannya dengan jelas.
“....iya, aku merasa tiba-tiba tidak ingat apa yang terjadi, terus langsung lemas begitu saja …” kata Devan, suaranya terdengar sedikit lesu. “.... tidak, aku tidak mau ke rumah sakit. Aku tidak mau orang tahu kelemahanku …” Ia terdengar sedikit frustrasi. “...ya, aku akan coba minum obat dulu … terima kasih, Dok.”
Devan mengakhiri panggilannya, menutup ponselnya dengan wajah yang tampak muram. Ia menghela napas panjang, rasa cemas dan khawatir masih tertinggal. Saran dokter untuk periksa ke rumah sakit jelas membuatnya gelisah. Ia tidak ingin kelemahannya diketahui orang lain, terutama Nara.
Nara diam-diam kembali ke sofa, pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran. Rahasia apa yang disembunyikan Devan? Dan apa sebenarnya yang menyebabkan Devan tiba-tiba lemas dan kehilangan ingatan?
***
Jangan lupa like dan komennya, selamat hari minggu 💋💋