Di malam pertunangannya, Sahira memergoki pria yang baru saja menyematkan cincin pada jari manisnya, sedang bercumbu dengan saudara angkatnya.
Melihat fakta menyakitkan itu, tak lantas membuat Sahira meneteskan airmata apalagi menyerang dua insan yang sedang bermesraan di area basement gedung perhotelan.
Sebaliknya, senyum culas tersungging dibibir nya. Ini adalah permulaan menuju pembalasan sesungguhnya yang telah ia rancang belasan tahun lamanya.
Sebenarnya apa yang terjadi? Benarkah sosok Sahira hanyalah wanita lugu, penakut, mudah ditipu, ditindas oleh keluarga angkatnya? Atau, sifatnya itu cuma kedok semata ...?
"Aku Bersumpah! Akan menuntut balas sampai mereka bersujud memohon ampun! Lebih memilih mati daripada hidup seperti di neraka!" ~ Sahira ~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASA : 14
“Bang, bila hal tersebut hanya masa lalu, lebih baik tak usah diungkapkan. Karena sudah tidak ada lagi sangkut pautnya dengan masa kini ataupun mendatang.” Sahira tersenyum lembut, menatap hangat.
Thariq menggenggam tangan Sahira yang berada di atas meja, mereka duduk berseberangan. “Terima kasih, dirimu pengertian sekali. Ya benar, tato itu tentang_”
“Maaf permisi, pesanannya datang.” Seorang pramusaji mulai meletakkan piring berisi nasi goreng dan lainnya di atas meja. Kemudian dia pamit undur diri setelah mendengar kata terima kasih dari Sahira dan juga Thariq.
“Sepertinya enak,” mata Sahira berbinar.
Melihat senyum merekah itu, Thariq melupakan hal penting tadi, apalagi sepertinya Sahira tidak begitu tertarik, dan dia mencoba menghargainya. Tak semua orang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi pada hal-hal bukan ranahnya.
“Cobalah, sebagai seorang chef handal. Aku yakin, kalau hidangan ini cocok di lidahmu. Rasanya benar-benar lezat,” gaya bicara Thariq sudah seperti seorang food vlogger.
“Tiada yang lebih nikmat menyantap hidangan sambil menatap pemandangan indah didepan sana. Tanpa jarak, penghalang, diiringi semilir angin sejuk, ditemani seseorang yang takkan lama lagi menjadi suamiku.” Sahira memandang lembut bola mata Thariq. “Abang tahu? Baru kali ini aku merasa tidak lagi sendirian, kesepian. Sepertinya pertanyaan yang sudah ribuan kali terucap dari bibir ini, kini mendapatkan jawabannya.”
Thariq meletakkan sendok nya, ia sangat fokus pada wajah Sahira yang mulai memerah, pelupuk mata membasah. “Apa itu?”
“Abang lah jawaban dari pertanyaan ku. Kehadiranmu seperti oase bagi kehidupan ku yang gersang, suram, terbuang, tak diinginkan, bahkan identitas pun tak punya_ aku ….” suara Sahira tercekat, ia tak sanggup melanjutkan kalimat.
Thariq bergerak cepat, memundurkan kursi lalu membungkukkan badan, jari jempol dan telunjuk tangan kanannya menjepit dagu wanitanya, telapak tangannya yang lain menahan beban tubuh pada sela-sela piring di atas meja.
Cup
Ia kecup lama nan dalam kening Sahira, lalu turun pada bibir yang dipoles lip balm berwarna pink.
Cup
Ciuman itu tak disertai nafsu, tapi lebih dalam dari itu, lembut, perlahan. Thariq terlihat begitu menikmati, sementara Sahira mengimbangi.
“Sahira ….” Thariq menyatukan kening mereka, napasnya menyapu wajah Hira. “Saya janji! Akan berusaha semaksimal mungkin untuk selalu berada di sisimu.”
“Janji?” tanya Sahira, menatap meminta untuk diyakinkan.
“Ya.”
Selepasnya, Thariq tidak lagi duduk di kursinya semula. Dia memutari meja, mengangkat bobot badan Sahira yang ringan, lalu memangku wanita itu.
Sahira memainkan jemari Thariq yang melingkari perutnya, ia terlihat nyaman duduk dalam pangkuan sambil menatap pemandangan Danau Toba.
“Sambil saya suapi, ya?” tanpa menunggu persetujuan, sebelah tangannya yang bebas menyendok nasi goreng seafood.
Sangat lembut Thariq memperlakukan Sahira, seperti seorang kekasih yang mencintai wanita pujaan hatinya. Sesekali mengecup pundak tertutup cardigan berwarna putih.
***
Tiba waktunya bagi Thariq untuk kembali ke kota, rautnya terlihat enggan. Namun, demi kelancaran pernikahannya dengan Sahira, dia harus menyelesaikan urusannya dengan Arimbi.
“Abang hati-hati ya, jangan ngebut! Bila mengantuk, berhenti dulu di rest area atau tempat aman lainnya. Jangan di kawasan sepi, takutnya nanti orang yang ingin berbuat jahat. Begitu sampai kota, tolong hubungi aku!” Bibirnya terus melontarkan kata-kata mujarab, yang bagi Thariq seperti nyanyian penenang hati.
Hati siapa yang tak menghangat kala mendapatkan perhatian sedemikian rupa, terdengar tulus penuh akan doa serta harapan.
“Kau juga harus bisa jaga diri baik-baik. Bila ada apa-apa, langsung beri tahu saya! Dua puluh empat jam, ponsel saya selalu aktif agar kau leluasa menghubungi, tak peduli pada pukul berapa, bila ingin mengirim pesan ataupun melakukan panggilan, lakukan saja! Saya suka kau ganggu, Hira.” Ia peluk erat tubuh mungil terbilang kurus yang tingginya hanya sebatas bahunya.
Dalam dekapan hangat itu, Sahira mengangguk pasti. “Abang tak perlu cemas! Sebentar lagi, Bunda menyusul ke sini.”
Selepasnya, Thariq pergi meninggalkan calon istri keduanya. Memacu kuda besi menuruni perbukitan keluar dari kawasan Taman Resort.
Saat tak lagi terlihat mobil Thariq, Sahira melangkah cepat memasuki kamarnya. Mengedarkan pandangan pada pepohonan. Letak kamarnya dikelilingi tanaman hijau, sehingga menyegarkan mata.
Tatapan Sahira terlihat rumit, ekspresinya sulit ditebak. Dia mendekati samping ranjang yang mana ada koper kecil miliknya. Membukanya, mencari sesuatu penting yang mana pada saat tidak berisiko selalu ia bawa.
Sahira memeluk seutas kalung putih berliontin hati. Lalu merebahkan tubuhnya pada kasur empuk. “Tahukah engkau, kalau aku sudah tak sabar ingin bertemu dengan mu.”
Air mata wanita itu mengalir deras, sampai suaranya terdengar sesenggukan. Kali ini tangisan benar-benar menyayat hati. “Aku rindu!”
Tak lama kemudian sosoknya tertidur sembari memeluk harta karunnya.
.
.
Sore hari di kediaman Wiguna.
“Saya kesini ingin memberitahukan serta menagih janji.” Thariq menatap ayah mertuanya, lalu Ibu mertua dan terakhir Arimbi yang duduk diapit kedua orang tuanya.
Ya, pria itu mendatangi kediaman Wiguna, dimana istrinya tinggal beberapa hari ini dan tak mau pulang ke rumah mereka.
Gesture Sigit Wiguna terlihat tidak nyaman, dia menegakkan punggung. Terlebih melihat map dalam pangkuan sang menantu.
Arimbi dan juga ibunya tak jauh berbeda. Sebenarnya mereka sudah dapat menebak kedatangan Thariq, tapi masih sukar percaya akan keberanian yang tak kenal rasa takut itu.
Thariq mengeluarkan kertas di dalam map. “Ini surat pernyataan yang dikeluarkan oleh KUA. Harap kau tanda tangani, Arimbi!”
Melihat raut enggan istrinya, Thariq langsung mengeluarkan ultimatumnya. “Sebelumnya saya sudah memberikanmu pilihan. Bersedia jadi yang kedua atau biduk rumah tangga kita yang baru mau genap dua tahun, berakhir di pengadilan agama.”
“Thariq!” Widya membentak menantunya, netranya menatap nyalang, kakinya menyilang, gayanya sangat arogan.
“Kau tak bisa memperlakukan putriku layaknya sampah! Dia putri berharga keluarga Wiguna dan Mandala. Tak ku sangka demi wanita yang jelas-jelas murahan_”
“Cukup ibu Widya yang terhormat! Tak perlu saya menceritakan detailnya, sebab hal tersebut privasi bagi kami! Saya pun bukan insan yang suka basa-basi, begitu membenci orang yang mencoba ingkar janji!” Thariq menekankan pada setiap kata, menatap ibu mertuanya tanpa sungkan.
Kata janji yang Thariq lontarkan, memukul telak Sigit Wiguna. Sampai dirinya tak sanggup berkata-kata apalagi membantah, dan pada akhirnya menggunakan cara terakhir, tentu saja dengan menekan serta mencoba mengancam menantunya.
"Arimbi akan memberikan izin dengan syarat, perkenalkan kami pada wanita itu! Bila kau keberatan, maka kami pun enggan menyetujui. Bagaimana Thariq ...?"
.
.
Bersambung.
Kamu bermain di mana ty???
kaya bunglon 🤓
kaya ada clue
Thoriq sebenarnya sudah tau niat awal Sahira 😃🤔