tentang seorang anak yang lahir dari seorang ibu, yang ditinggalkan oleh sang suaminya sejak dari dalam kandungan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jordi Vandanu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Ingin Pulang.
Diva mencari Leni ke dapur.
"bu, kita pergi umroh juga yuk. " ajak Diva tiba tiba. Leni menatap Diva.
"ibu juga kepikiran begitu Div, masa kita kalah sama si Nia tukang sate itu. " kata Leni.
"tapi uang darimana ya Div, di jual emas emas ibu itu belum cukup untuk kita berdua pergi, atau ibu pergi saja duluan. "
"eh jangan! Ibu sudah tua, nanti siapa yang mengawasi ibu disana. " sela Diva cepat.
"mmm kemana kita cari tambahannya lagi ya bu? " tanya Diva bingung.
"Deva ada tabungan gak Div? Pinjam dululah buat nambahinnya. " ucap Leni. Deva yang mendengar namanya di sebut menoleh cepat.
"kenapa nek, ma? " tanya Deva.
"kamu ada tabungan kan Dev? Pinjam kami dulu, buat nambahin ongkos umroh. "
"hah?? Siapa yang mau pergi umroh? " tanya Deva balik.
"nenek sama mama mau pergi umroh Dev, perhiasan nenek kurang. " jawab Leni.
Deva menggeleng.
"nggak mau ah nek, Deva mau beli mobil a*la nanti, udah dipesan warna merah juga, kebetulan dp nya sudah cukup. " tolak Deva tegas.
"yah... Apa gak ada sisanya Dev? "
"nggak ma, itu juga sudah di tambahin papa 5 juta. " jawab Deva.
"papamu ngasih? Apa selingkuhannya gak marah? "
"sudah jadi istrinya ma, aku anaknya papa, aku lebih berhak atas uang papa, mau ngomel setinggi langit pun aku gak peduli.. Ini papaku ngasih juga. " jawab Deva. Diva mengacungkan jempolnya.
Leni dan Diva masih kebingungan memikirkan rencana umroh mereka.
Candra muncul dari pintu depan.
"kenapa pada bingung begitu mukanya? " tanya Candra.
"aku mau sekali pergi umroh pak, tapi uangku kurang, bapak ada simpanan gak? " tanya Leni langsung. Candra memandang heran.
"simpanan apaan bu? Semua uang hasil kebun kan sama ibu, bapak hanya di kasih untuk ngopi saja, itu pun mintanya susah banget. " omel Candra. Leni mendengus kesal. Iya juga sih.
"mmm pak, gimana kalau tanah ladang yang disamping tanah pak rt itu kita jual saja. toh tak di olah juga, tanah tandus nan kosong itu. " kata Leni. Candra tercenung.
"siapa pula yang mau membeli bu, mana ada orang kampung kita ini uang. " kata Candra.
"sama Dian itu pak, atau sama anaknya pak Yudi itu, jual saja 200 juta. " saran Leni.
"tapi dia sudah lama tak kesini bu. "
"kan ada pengawasnya itu, pak Dide.. Orang kepercayaan si Dika. " kata Leni lagi. Candra mengangguk saja.
Dika mengernyit dahi ketika Dide menelpon.
"bagus gak mas lokasinya? Ada sertifikatnya? " tanya Dika. Dia gak mau ambil resiko kalau berurusan sama keluarga Dian, karena akan menjadi masalah di kemudian hari.
"berada persis disamping tanah pak rt itu pak Dika, tapi tak terlalu luas, mereka buka harga 200 juta. " jawab Dide.
"tawar lah mas Dide, haha.. Mereka tentu iri melihat tanah pak rt terjual. "
"jadi diambil nih pak? " tanya Dide.
"bungkus mas, aku mau menegakkan harga diri adek aku di kampung itu. " balas Dika lirih.
"baiklah pak, saya tutup dulu. "
Dika menghela nafas.. Entah kenapa Dika, Yudi merasa apa yang mereka lakukan untuk Dian, belumlah cukup rasanya
Dide sedang duduk di ayunan halaman depan rumah Dian ketika Candra datang menghampiri.
"gimana pak Dide apakah Dian mau membelinya? " tanya Candra tanpa basa basi..
"Dian mau membelinya pak, dengan harga 150 juta, tapi sertifikatnya harus diberikan dulu, balik nama dulu baru di lunasi. " jelas Dide.
"hah? Cuma 150 juta?? "
Dide mengangguk.
Candra menghela nafas.
"apa Dian tahu kalau yang mau membelinya adalah saudaranya? "
Dide menggeleng.
"saya tak mengatakannya pak, karena kata pak Dika, kalau Dian tahu dia tak akan mau membeli, karena maaf..mengingat hubungan buruk dengan keluarga anda dulunya. " jelas Dide gamblang. Candra menghela nafas.
"saya bicarakan dulu sama istri saya ya pak Dide, nanti saya hubungi lagi. " kata Candra.
"jangan lama lama ya pak, soalnya yang punya tanah di samping itu juga mau menjual pada pak Dika. " tunjuk Dide pada tanah yang berada persis di samping makam. Candra mengangguk.
"apa!!! Cuma 150 juta? Kok murah banget sih pak? Apa si Dian itu gak tahu kalau itu tanah punya kita? " tanya Leni kaget.
"justru kalau tahu, mungkin dia gak mau beli bu, karena hubungan kita kurang baik gitu. " jawab Candra.
"masa di hubungin sama itu pula pak? "
"ya begitu kata pak Dide, dan kita di suruh ambil keputusan cepat, kalau gak ya batal dan pak Dika mau beli tanah disamping makam itu... " jelas Candra.
Leni terdiam.
"kenapa jadi pak Dika sih? Bukannya Dian yang mau beli. "
"kan mereka adik kakak bu, jadi gimana? Jual gak nih? " desak Candra.
"ya jual lah pak, terus kami akan langsung daftar umroh, bapak mau ikut? "
Candra menggeleng, berasa belum pantas.
"ibu saja sama Diva, Deva mau ikut? "
"nggak pak, ibu sama Diva saja, nanti 100 juta buat kami ya pak. " kata Leni.
"banyak amat bu, jangan segitulah, 70 juta saja buat kalian, kalau mau ya terima.. Kalau gak mau kalian gak usah pergi umroh. " tegas Candra. Leni terpaksa menerima. Karena emang itu adalah tanah Candra bujangan.
Dian dikirimin foto rumah yang sudah hampir jadi itu. Airmatanya berlinang lagi. Rumah itu megah sekali, seperti rumah rumah mewah pada umumnya. Bagian depan terdiri dari 1 lantai dan 1 lantai di bagian belakang. Halaman begitu luas, dengan air mancur di samping kanan, dan didekat air mancur nampak 2 buah makam yang indah.. Makam ibu dan nek Ijah.
"mas Dika, terimakasih ya, sudah membuatkan rumah itu buat Dian. " dia mengirim pesan pada Dika. Dulu ketika masih sekolah, tekadnya sangat kuat, untuk menbuatkan rumah buat ibu dan nek Ijah, meski usia Dian waktu itu baru menginjak 12 tahun. Dan setelah tinggal berdua dengan nek Ijah. Dian dan Cica suka duduk di atas pohon jambu, bertiga dengan Zana. Tekad mereka berdua sangat kuat, untuk mempunyai rumah yang layak, kalau Zana ingin membuat rumah untuk dirinya sendiri, karena dia tak mau membuatkan rumah untuk ibu dan saudara tirinya itu.
Dan Alhamdulilah kini semua terwujud juga.
"sama sama dek, o iya.. Putra mau melamar kamu dalam waktu dekat ini, apakah kamu siap untuk menikah? " tanya Dika.
"kalau mau melamar, silahkan saja mas, kami punya kesepakatan biar nanti mas Putra yang menjelaskan di depan ayah dan mama serta mas Dika. " jawab Dian.
"baiklah dek.. Have fun ya, jaga diri kalian baik baik. "
"iya mas. "
Dian menatap jendela lebar apartemennya, menatap butiran butiran lembut yang turun dari langit. Cica dan Zana masih dalam perjalanan.
"aku ingin pulang. " gumam Dian.
sepusing2nya mereka mencari plngan pake orang suruhan😂