Di tahun terakhir mereka sebagai siswa kelas 3 SMA, Karin dan Arga dikenal sebagai musuh bebuyutan. Mereka sering bertengkar, tidak pernah sepakat dalam apapun. Namun, semua berubah di sebuah pesta ulang tahun teman mereka.
Dalam suasana pesta yang hingar-bingar, keduanya terjebak dalam momen yang tidak terduga. Alkohol yang mengalir bebas membuat mereka kehilangan kendali, hingga tanpa sengaja bertemu di toilet dan melakukan sebuah kesalahan besar—sebuah malam yang tidak pernah mereka bayangkan akan terjadi.
Setelah malam itu, mereka mencoba melupakan dan menganggapnya sebagai kejadian sekali yang tidak berarti. Namun, hidup tidak semudah itu. Beberapa minggu kemudian, Karin mendapati dirinya hamil. Dalam sekejap, dunia mereka runtuh.
Tak hanya harus menghadapi kenyataan besar ini, mereka juga harus memikirkan bagaimana menghadapinya di tengah sekolah, teman-teman, keluarga, dan masa depan yang seakan hancur.
Apakah mereka akan saling menyalahkan? Atau bisakah kesalahan ini menjadi awal dari sesuatu yang tidak terduga? Novel ini mengisahkan tentang penyesalan, tanggung jawab, dan bagaimana satu malam dapat mengubah seluruh hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardianna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di hantui Rasa Bersalah
Kringgg!
Kringgg!
Bel pulang pun berbunyi, menandakan waktu untuk semua siswa kembali ke rumah. Saat Karin bersiap-siap untuk pulang bersama teman-temannya, tiba-tiba Arga mendekatinya.
Arga: "Karin, pulang bareng yuk."
Karin yang biasanya akan langsung menolak, kali ini hanya mengangguk pelan, tanpa banyak kata. Teman-teman Karin yang melihat hal itu langsung merasa heran.
Bella: "Tumben banget tuh, Karin pulang bareng Arga. Biasanya kan dia selalu menghindar."
Intan: "Iya, ada apa nih?"
Mereka hanya bisa saling bertukar pandang, merasa aneh dengan situasi itu. Karin mengikuti Arga keluar dari sekolah, dan mereka menaiki mobil berdua dengan suasana yang agak canggung. Di perjalanan, Arga tiba-tiba berhenti di depan mini market.
Arga: "Tunggu sebentar ya, gue mau beli sesuatu."
Karin yang masih bingung hanya mengangguk, menunggu di mobil. Tidak lama kemudian, Arga keluar dari mini market dengan membawa obat. Saat mereka melanjutkan perjalanan, Arga mulai membuka pembicaraan lagi, kali ini dengan nada pelan.
Arga: "Karin... PMS belum?"
Karin, yang awalnya hanya berjalan dengan pikiran melayang, terkejut mendengar pertanyaan itu.
Karin: "Belum..."
Arga mengangguk pelan, lalu menunjukkan satu bungkus, obat untuk memperlancar haid, yang baru saja dia beli dari mini market.
Arga: "Gue beli ini, mungkin bisa bantu buat ngelancarin haid lo."
Karin hanya menatap bungkus obat itu, terdiam sejenak. Perasaannya campur aduk, antara bingung, marah. Namun, dia tidak berkata apa-apa, hanya mengambil obat itu dan memasukkannya ke dalam tas.
Setelah berjalan beberapa menit lagi, mereka tiba di depan seorang penjual jamu yang sedang meracik minuman di gerobaknya. Arga tiba-tiba berhenti dan menghampiri si penjual.
Karin: "Lho, ngapain lagi berhenti?"
Arga: "Bentar, gue mau beli jamu."
Karin yang bingung hanya mengernyitkan dahi, memperhatikan Arga yang berbicara dengan penjual jamu. Tak lama kemudian, Arga kembali dengan 1 gelas jamu kunyit di tangannya.
Karin: "Ini buat apa lagi?"
Arga tersenyum tipis, lalu menjawab sambil menyodorkan gelas itu ke Karin.
Arga: "gue habis search di internet, katanya kunyit bisa memperlancar haid. Jadi, gue beli jamu kunyit buat kamu. Biar kita sama-sama tenang."
Karin terdiam, melihat jamu itu, lalu melihat Arga yang tampak serius. Meskipun perasaannya masih campur aduk, ada sedikit kehangatan dalam hati Karin melihat usaha Arga. Dia mengambil gelas jamu itu perlahan.
Karin: "Makasih, Ga..."
Arga hanya mengangguk, tanpa berkata apa-apa lagi. Karin ,kemudian meminum jamu kunyit itu bersama dalam keheningan, diiringi suara lalu lintas di sekitar mereka. Meskipun situasi di antara mereka masih rumit, setidaknya ada sedikit upaya untuk menghadapi masalah yang mereka hadapi bersama.
Di dalam mobil, suasana terasa hening dan canggung. Arga menoleh sebentar ke arah Karin yang duduk diam di sampingnya. Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya memecah kesunyian.
Arga: "Sekarang apa yang lo rasain?" suaranya pelan tapi serius. "Tolong, Karin... Jangan terlalu stres. Itu bisa mempengaruhi siklus PMS lo."
Karin mendesah, matanya lurus menatap jalan di depan mereka. "Terus gue lupain gitu aja? Gue juga pengen ga ngga mikirin, tapi susah."
Arga terdiam, mencoba memahami perasaan Karin. Dia tahu semuanya tidak semudah itu untuk dilupakan, tapi dia tetap ingin melakukan sesuatu.
Arga: "Yaudah... Gue bakal antar jemput lo tiap hari. Ntar setelah pulang sekolah, gue ajak lo jalan-jalan biar lo seneng, nggak sedih lagi." suaranya terdengar tulus, menawarkan kenyamanan meskipun dia tahu tidak banyak yang bisa dia perbaiki.
Karin menoleh perlahan ke arah Arga, lalu mengangguk pelan tanpa kata.
Setelah itu mereka berhenti di taman, suasana terasa tenang. Arga dan Karin duduk di bangku sambil menikmati makanan ringan yang mereka beli. Sesekali canda dan tawa kecil menghiasi obrolan mereka, seolah mencoba melupakan sejenak beban pikiran yang menghantui.
Tiba-tiba, seorang anak kecil berlari dan menabrak Karin hingga terjatuh. Anak itu langsung menangis. Refleks, Karin membungkuk, mencoba membantu anak kecil itu berdiri.
Karin: "Maaf, Kak. Ini adiknya nabrak saya," katanya sambil menoleh ke arah seorang wanita muda yang mendekat.
Wanita itu tertawa kecil, "Ini anak saya, bukan adik saya." Wajahnya terlihat sedikit lelah, tapi ada senyum tersungging di bibirnya.
Karin terkejut, "Oh, maaf... saya kira kakak."
Wanita itu menggeleng sambil tertawa pelan, "Nggak apa-apa. Sering kok disangka kakak. Jujur, kadang saya iri lihat kalian pakai seragam sekolah. Andai dulu saya nggak bucin, mungkin sekarang saya masih pakai seragam dan senang-senang kaya kalian berdua."
Karin mendengarkan dengan seksama, tetapi tiba-tiba suasana berubah saat wanita itu melanjutkan.
"Pacaran sewajarnya aja ya, Kak. Jangan sampai kejadian kaya saya. Nyesel banget, mana bapaknya nggak mau tanggung jawab."
Arga yang sedang minum tersedak mendengar itu, membuat Karin otomatis menoleh ke arahnya. Dia tersenyum, mencoba menyembunyikan perasaannya, tapi matanya sudah berkaca-kaca.
Wanita itu pamit setelah berhasil menenangkan anaknya. Dia terlihat kewalahan ketika anaknya mulai berlari lagi. "Hati-hati ya kalian berdua," katanya sebelum berjalan pergi, meninggalkan Karin dan Arga dalam suasana yang berubah hening.
Karin menatap ke depan, pikiran dan perasaannya campur aduk. Dia diam, tidak tahu harus berkata apa.
Setelah wanita itu pergi, suasana yang semula penuh canda tawa berubah menjadi tegang dan hening. Kata-kata wanita tadi seolah menjadi cermin bagi Arga dan Karin, mengingatkan mereka kembali pada kesalahan yang mereka perbuat.
Arga menunduk, meremas tangannya dengan gelisah. Pikiran tentang tanggung jawab dan rasa takut menghantui dirinya. Sejak kejadian itu, dia tidak pernah bisa tenang. Apa yang telah mereka lakukan bukan hanya merusak kehidupan Karin, tapi juga berpotensi menghancurkan masa depan mereka berdua.
Karin pun merasakan hal yang sama. Ketika mendengar cerita wanita tadi, ia merasa seperti melihat bayangan masa depannya yang penuh penyesalan. Kesucian dan masa depannya seolah hancur dalam sekejap. Ketakutan yang selama ini dia coba kubur muncul kembali. Tatapan kosong Karin mengarah ke tanah, sementara hatinya dilanda kecemasan yang tak terhingga.
Karin: "Gue bener-bener nggak tahu gimana bisa ngejalanin hidup kayak gini, Ga. Kesalahan kita... itu bikin gue nggak bisa berhenti merasa takut. Setiap kali gue ingat... rasanya kayak ada sesuatu yang terus menghantui gue."
Arga menghela napas berat, menatap Karin dengan pandangan penuh penyesalan. Dia juga merasa bersalah, namun tidak tahu harus berkata apa.
Arga: "Rin. Gue juga takut... takut apa yang kita lakuin bakal ngancurin harapan lo, harapan gue, dan kepercayaan orang tua kita, tapi gue percaya kita bakal baik-baik aja."
Karin menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan. Matanya berkaca-kaca, tetapi ia menahan air mata yang ingin tumpah.
Karin: "Gue cuma pengen balik ke masa sebelum semua ini terjadi, Ga. Gue pengen jadi Karin yang dulu, yang masih punya harapan besar dan cita-cita buat jadi dokter. Sekarang, semuanya terasa hancur."
Arga menatap Karin dengan pandangan bersalah, tetapi tak ada kata yang bisa ia ucapkan untuk memperbaiki keadaan. Ketakutan mereka semakin nyata, menghantui setiap detik hidup mereka.
Bersambung…