Zella, gadis bar-bar yang baru berumur 19 tahun, sekaligus pemilik sabuk hitam karate. dia terkenal di kalangan anak seusianya karena memiliki sifat ceria dan blak-blakan serta tak kenal takut.
Hingga suatu hari saat dia hendak berangkat ke tempat latihannya, dia tersandung batu dan membuat tubuhnya nyungsep ke dalam selokan dan meninggal di tempat.
Zella kira dia akan masuk ke dalam alam baka, namun takdir masih berbaik hati membiarkan dia hidup meski di tubuh orang lain.
Zella bertransmigrasi ke dalam novel yang sudah lama dia baca, dan menjadi tokoh antagonis yang selalu menyiksa anaknya.
Akankah Zella mampu mengubah sebutan 'Penjahat' pada dirinya? dan meluluhkan hati anaknya yang sudah di penuhi dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30
...Cape? Ya, gue cape nelen sabar....
...>Zella <...
...☠️☠️☠️...
Di sebuah apartemen mewah yang menjadi tempat tinggal Silla, terlihat wanita itu baru saja selesai mandi. Dia masih mengenakan handuk yang melilit di bagian tubuhnya, Silla melihat koper yang sudah di bereskan oleh pelayan panggilan di apartemen tersebut.
"Sudah lama gue nggak pulang, kira-kira bagaimana reaksi adik kesayanganku saat dia tahu kalo gue pulang bareng suaminya yah?" gumam Silla.
Ya, hari ini tepat dua minggu Zion berada di Kanada. Dan hari ini juga Silla berniat ikut pulang bersama Zion, dia ingin memberi kejutan pada adik kecilnya nanti. Silla terlihat begitu gembira, dia bernyanyi sembari meliuk-liukkan tubuhnya di depan cermin.
Silla mengambil hairdryer lalu menyambungkannya pada stop kontak, dia mulai menyalakan hairdryer tersebut guna mengeringkan rambutnya yang basah. Di tengah kesibukannya mengeringkan rambut, Silla melihat siluet seseorang baru saja memasuki apartemen itu.
Dia membiarkan orang tersebut mendekat ke arahnya, hingga sesaat kemudian sebuah tangan kekar melingkar di pinggang wanita itu. Silla terlihat sudah biasa menerima perlakuan tersebut dari orang itu, dia sama sekali tidak terlihat risih atau pun marah. perlahan Silla merasakan hembusan nafas hangat di bagian leher jenjangnya.
"Aku merindukan mu, Sil," lirih orang tersebut sambil menciumi leher Silla.
Silla meletakan hairdryer ke atas meja, dia membalikan tubuhnya hingga mereka berdua saling berhadapan. Silla mengangkat kedua tanganya, lalu melingkarkan di leher orang tersebut.
"Apa dia tahu lo kesini?" tanya Silla, suaranya terdengar manja.
Orang itu menggeleng pelan, "Dia sedang sibuk membereskan sisa pekerjaannya,"
Mendengar hal itu, senyum Silla mengembang. Dia mendekatkan wajahnya ke arah orang tersebut, perlahan bibir mereka saling bertautan. Orang tersebut menarik pinggang Silla agar lebih dekat dengannya, hembusan nafas mereka terlihat sangat tak beraturan.
"Aku ingin tidur denganmu, sudah lama aku mengalah demi dia, Silla," gumam orang tersebut.
Silla mengelus lembut wajah orang itu, perlahan sentuhan itu turun ke leher jenjang orang tersebut, hingga membuat orang itu mendesah tanpa sadar. Hawa panas mulai menyerang tubuh mereka berdua, tampak tangan orang tersebut mulai menyusup ke dalam handuk yang di kenakan Silla.
"Ayo, gue juga udah lama nggak bermain denganmu, Kennan," sahut Silla dengan nada menggoda.
Kennan tersenyum cerah, spontan Kennan mengangkat tubuh Silla dan membawanya ke atas ranjang. Kennan dengan tidak sabaran menarik paksa handuk yang melekat di tubuh Silla, selang beberapa saat kemudian mereka berdua terhanyut dalam kenikmatan sesaat.
Dua jam kemudian, Kennan dan Silla baru saja selesai melakukan olah raga mereka. Kini mereka berdua tengah berbaring telentang di atas ranjang besar milik Silla, kedua tangan Kennan dia letakan di bawah kepala. Keringat masih terlihat menetes di kening dan tubuh mereka berdua.
"Sil, aku rasa kamu perlu berhati-hati pada adikmu," ujar Kennan memecah keheningan di antara mereka.
Silla menoleh, dia menaikan satu alisnya, "Kenapa gue harus berhati-hati? Dia masih tetap sama seperti dulu, kan?"
Kennan menggeleng, "Dia.... berubah, sekarang dia lebih cerdik dan pintar mengintimidasi orang lain,"
Mendengar penuturan Kennan, Silla justru tertawa. Dia tidak mempercayai ucapan tersebut, baginya Zella tetap sama dia bodoh dan juga tidak berguna.
"Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa melihatnya sendiri nanti, aku hanya bisa memintamu agar lebih berhati-hati karena Zella yang sekarang bisa menerkam mu kapan saja dari segala sisi," ujar Kennan pasrah.
Dia sendiri awalnya tidak percaya, tapi setelah Zella mengancam dan memberikan bukti hubungannya dengan Silla, dia menjadi percaya bahwa anak kecil yang dulu selalu mengekor pada Zion telah tumbuh menjadi perempuan yang tidak kenal takut.
...***...
Di sisi lain, Zion yang tengah sibuk di kantor merasa heran ketika dia tidak menemukan Kennan di sana. Padahal tadi pagi dia sudah masuk ke kantor, namun saat ini mejanya terlihat sudah bersih mengkilap.
"Kemana dia pergi? Tumben sekali dia keluar tanpa memberi kabar," ujar Zion kebingungan.
Dia mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Kennan, akan tetapi nomornya tidak aktif. Zion kembali mencoba hingga lima kali percobaan Kennan sama sekali tidak mengangkat panggilan darinya.
Zion berdecak sebal, "Ck sialan, di saat seperti ini dia bahkan tidak bisa di hubungi,"
Zion hendak mematikan ponselnya, namun begitu dia melihat profil kontak Zella yang berubah, dia menjadi heran. Sudah lama Zella selalu menggunakan fotonya di semua sosial media yang perempuan itu miliki termasuk kontak ponsel miliknya.
Tapi saat ini yang terpajang di kontak itu adalah foto dirinya dan Arzen, hal paling tidak masuk akal yang pernah Zion lihat. Mengulik pada keseharian Zella sebelumnya, dia sangat enggan bersentuhan dengan Arzen, tapi kini di lihat dari sisi mana pun foto mereka berdua benar-benar terlihat akrab.
"Apa yang sudah terjadi selama aku tidak ada di rumah? Apa mungkin Zella benar-benar telah berubah?"
Dia melihat jam di tangannya, waktu keberangkatan pesawat tinggal satu jam lagi. Zion memilih kembali ke apartemen dan membereskan kopernya. Dia ingin segera pulang dan melihat sendiri keadaan istri dan anaknya.
...***...
Satu jam berlalu, kini Zion sedang menggeret koper memasuki bandara. Dia masih berusaha menghubungi Kennan sejak tadi, namun hingga kini Kennan belum juga menjawab panggilan darinya.
"Mungkin kah dia tidur? Padahal aku sudah mengatakan kalau hari ini akan pulang," gerutu Zion sepanjang perjalanan memasuki bandara.
Saat dia sudah di depan pintu masuk, dia mendengar suara teriakan yang tidak asing dari arah belakang. Sontak Zion menoleh, dia mengernyit heran ketika melihat Silla dan juga Kennan sedang berlari ke arahnya.
"Sayang," panggil Silla manja, dia meraih lengan Zion dan memeluknya dengan erat.
"Kalian kok bisa datang bersama?" ujar Zion tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
Kennan berdehem pelan, dia berusaha sebaik mungkin agar tetap terlihat tenang. Meski hubungannya dengan Silla sudah terbilang cukup lama, tapi Kennan masih merasa was-was dan takut ketahuan oleh Zion. Walau pada akhirnya justru Zella yang kini memegang kelemahannya, orang yang dulu paling tidak perduli mengenai hubungan di antara mereka semua.
"Tadi aku menjemput Silla di apartemennya, dia sempat menghubungiku tadi katanya dia ingin pulang bersama denganmu," sahut Kennan.
"Benar itu, Sil? Tapi bagaimana kamu bisa tahu kalau aku mau pulang hari ini?" lanjut Zion, dia mulai merasa ada yang aneh dengan Silla serta Kennan.
"A-ah soal itu, kan kamu yang mengatakannya padaku minggu lalu. Masa kamu lupa?"
Zion mencoba mengingat-ingat ucapan Silla, namun dia tidak merasa memberitahu Silla bahwa dia akan pulang hari ini.
"Mungkin aku memang lupa, oh iya kamu naik pesawat apa?"
"Aku naik pesawat yang sama denganmu, Kennan sudah membelikan tiket yang sama sepertimu, El!" sahut Silla kembali membuat Zion terkejut.
Melihat Zion mulai curiga, Silla mengajak mereka semua bergegas menuju pesawat karena panggilan untuk para penumpang pun sudah terdengar. Meski Silla mengalihkan pembicaraan, Zion masih saja merasa ada yang janggal di antara mereka. Namun Zion memilih membiarkan semua itu berlalu, karena dia sendiri sudah tidak sabar ingin melihat Zella dan juga Arzen.
Bayangan jika Zella akan menyambutnya seperti dulu sempat membuat sudut bibirnya terangkat tanpa dia sadari, rasa senang menyusup masuk memenuhi perasaannya. Zion bahkan melupakan kejadian sebelum dia berangkat, dimana Zella begitu acuh dan cuek terhadapnya.
'Aku harap kamu masih menjadi Zella yang aku kenal,' batin Zion berharap penuh.