Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Bertemu Gladys.
Emosiku meletup tanpa kusadari mendengar ucapan Arbian. Arbian menatapku heran atas reaksiku yang menurutnya mungkin berlebihan.
Ingin rasanya aku meninju wajah yang seolah tanpa rasa salah itu. Dia hanya khawatir tentang keluarganya. Sama sekali tidak peduli dengan perasaan Rania.
"Sekarang Rania dimana?" tatapku tajam mengarah padanya.
"Entahlah, aku belum tau keberadaanya. Ponselnya tidak aktif." keluh Arbian. Aku tersenyum licik melihatnya yang tampak bingung.
"Itu lebih bagus. Setidaknya Rania terbebas dari lelaki pengecut seperti kamu." aku lantas berdiri hendak pamit.
"Bas, aku mohon kalau Rania menghubungimu tolong beritahu aku." Arbi juga ikut berdiri. Mengantarku hingga ke pintu.
"Bagaimana dia bisa menghubungiku, jika tidak tau nomorku."
"Siapa tau kalian bertemu. Aku minta tolong, Bas," aku tidak menyahuti ucapan Arbi. Kutinggalkan dia begitu saja.
Aku harus kembali ke rumah. Kasihan Rania kutinggalkan seorang diri di rumah. Untuk sementara ini, biarlah Rania tinggal di rumahku. Sampai pikirannya tenang kembali dan dia bisa memutuskan langkah selanjutnya yang terbaik untuk masa depannya.
***
Aku sedang memilih beberapa pakaian di sebuah toko. Karena aku tidak ada membawa sehelai pakaian saat kabur dari rumah kecuali yang melekat di tubuhku. Aku sengaja memakai topi dan kaca mata hitam untuk menyamarkan tampilanku.
Aku tidak ingin mudah dikenali, semisal berpapasan dengan teman-teman Arbi. Pakaian yang kukenakan saat ini saja adalah milik Bastian yang kekecilan padanya, tapi masih kedodoran kupakai.
Penampilanku saat ini seperti seorang gadis tomboy saja. Tapi aku cukup menikmatinya. Disaat aku hendak membeli pakaian dalam, aku melihat Gladys juga disana. Sejenak aku ragu untuk masuk ke toko itu. Terlebih saat Gladys memandang ke arahku. Kupikir Gladys mengenaliku, ternyata tidak. Dia hanya merasa aneh saja saat melihatku.
Gladys berbisik pada kedua temannya. Lalu ketiganya serempak tertawa. Mungkin karena melihat penampilanku yang seperti ondel-ondel. Aku hanya tersenyum kecut saat mereka menertawakan aku. Jangankan mereka, aku saja tadi tertawa setengah mati dengan Bi Sumi.
"Perempuan aneh." bisik perempuan gendut teman Gladys. Meskipun suaranya pelan, namun cukup jelas terdengar olehku. Aku tetap bersikap tenang dan berusaha santai meskipun aku menjadi bahan tertawaan mereka.
Setelah menemukan barang yang aku cari, aku membawanya ke kasir. Usai melakukan pembayaran aku berjalan hendak keluar. Saat itulah seorang dari mereka bertiga menyilangkan kakinya, sehingga aku tersandung.
Tawa ketiganya berderai tanpa rasa bersalah.
"Aduh kasian ya. Makanya Mbak liat jalannya pake mata dong, hahaha." lagi-lagi si perempuan gendut menertawakan. Aku berdiri dan menghampiri mereka.
"Kaki siapa tadi yang menghadangku!" ucapku penuh penekanan. Kutatap satu persatu dari mereka. Ketiganya tersenyum licik dan memandang remeh padaku.
"Mbak tidak apa-apa?" seorang pelayan toko menghampiriku.
"Salah satu dari mereka sengaja membuatku tersandung." aduku.
"Eh, jangan sembarangan nuduh ya. Kamunya aja yang gak bisa liat jalan. Malah nyalahin orang." tukas Gladys.
"Kamu pikir aku bodoh ya. Disini tidak ada yang menghalangi langkahku. Sudah jelas tadi kalian sengaja membuatku jatuh." aku tidak mau kalah.
"Sudah Mbak, kita lihat saja rekaman CCTV." penjaga toko menengahi pertengkaran itu. Karena mereka ngotot tidak mengaku
Aku mengiyakan saja saran itu. Biar masalah beres.
Wajah si perempuan gendut langsung memutih. Feelingku juga mengatakan dialah pelakunya.
"Ngapain juga lihat CCTV, yang salah adalah kamu sendiri. Makanya kalau jalan itu pake mata bukan dengkul si gadis semampai menimpali. Masih saja mereka berkelit.
"Kalau memang benar mari membuktikan siapa yang salah. Jelas salah satu dari antara kalian pelakunya!" gertakku.
"Ayo siapa takut!" tantangnya.
"Sudah Felis, kita pergi saja buat apa juga meladeni perempuan gila ini." Gladys menarik lengan perempuan semampai itu yang dia panggil Felis.
"Kalian yang gila! Terutama kamu, pelakor!" semburku penuh amarah. Langkah kaki Gladys terhenti. Dia lantas berbalik menatap ke arahku
"Maksud kamu apa ngomong seperti itu." Gladys meradang. Wajahnya memerah menahan amarah plus malu. Beberapa pasang mata mulai melirik kami.
"Kamu merasa ya, seorang pelakor. Aku kan tidak sebut nama siapa." ungkapku dengan senyum mengejek. Semua orang yang melintas di tempat itu berhenti sejenak untuk menyaksikan insiden itu.
"Gila kamu! Jangan asal tuduh ya." Gladys mengayunkan lengannya hendak menamparku. Tapi aku menangkap lengan itu dan mendorong tubuhnya. Akibatnya Gladys terjatuh.
" Eh, dasar sinting kamu, ya." si gadis gendut membantu Gladys untuk berdiri.
"Lo punya masalah apa sih sama gue. Sembarangan saja main fitnah."
"Masih mengelak kalau kamu ini pelakor. Atau aku akan perlihatkan pada semua orang, vidio bukti kamu merayu suamiku." ancamku. Aku mengambil ponselku dari tas yang menggantung di tubuhku. Melihat keseriusanku Gladys jadi ketar ketir juga.
"Nih, kamu masih mengelak juga!" kuperlihatkan vidio yang diberikan Mery tempo hari. Puas kali aku melihat wajah itu memucat menahan malu.
"Ka-kamu Rania?" tebaknya. Ternyata Gladys menyadari kalau aku adalah Rania, " kenapa penampilan kamu seperti ini. Arbian sudah menceraikan kamu ya. Justru kamulah yang merebut pacarku!" serangnya membalasku sambil terbahak.
"Gara-gara kamu, Arbian batal menikahiku. Kamulah pelakor itu!"
"Aku adalah istri sah Arbian sedang kamu, kamu hanya perempuan yang dia pelihara. Gitu saja kamu bangga."
"Huuuuhhhh! Sorak para penonton pada Gladys. Bahkan ada yang nekad melemparinya dengan botol mineral kosong.
"Heleh, cuma pacar. Orang sudah menikah ya putus aja. Kek gak ada lelaki lain. Mau-maunya dipelihara." sindir seorang emak-emak dari barisan penonton.
Wajah Gladis makin memerah. Dia mengambil ponselnya. Entah menghubungi siapa. Aku menduga kalau dia menghubungi Arbian. Sebelum keadaan menjadi lebih riuh, aku memutuskan untuk pergi saja.
"Rania, kamu mau kemana!"
"Pergi. Malas aku melihat wajahmu."
"Sebentar lagi Arbian kemari. Mari kita buktikan siapa yang akan dipilihnya aku atau kamu, biar jelas siapa sebenarnya pelakor itu." tantangnya.
Deg! Aku kaget dengan ide Gladys. Percaya diri sekali dia kalau Arbi akan memeilihnya. Aku juga merasa begitu. Arbian pasti memilihnya.
"Wah, makin seru aja ini. Ayo kita tunggu sampai lelakinya muncul." bisik emak-emak yang lain.
Aku merasakan jemariku basah karena ketakutan. Saat mengingat perlakuan Arbi kemarin itu. Sudah jelas Arbi akan memilihnya dan para penonton akan berbalik menyerangku. Duh, gawat ini.
"Hem, kenapa diam Ra, kamu takut ya Arbian akan memilihku. Kamu itu hanya istri di atas kertas saja. Cuma istri pajangan tapi bangganya selangit."
"Yang jelas 'kan sudah dinikahi apapun istilahnya. Daripada gak jelas statusnya. Istri bukan pacar juga cuma saat perlunya saja. Kok bangga sih, gila juga ya." sahut emak-emak yang lainnya. Dan disambut sorak sorai yang lain.
Lalu seseorang mendadak menerobos kerumunan. Arbian, benar-benar muncul. Seketika aku gugup luar biasa tapi aku masih mencoba bersikap tenang. Arbian sepertinya kebingungan. Dia bicara beberapa saat dengan Gladys. Entah apa ya g mereka bicarakan.
Lalu Arbian berjalan ke arahku. Tatapannya begitu intens. Aku tetap berusaha tenang walau gemuruh jantungku bertalu riuh. Entah apa yang akan diperbuat Arbi nanti.***
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor