NovelToon NovelToon
Nyata Bukan Fiksi

Nyata Bukan Fiksi

Status: tamat
Genre:Konflik etika / Teen School/College / Persahabatan / Trauma masa lalu / Chicklit / Tamat
Popularitas:10.9k
Nilai: 5
Nama Author: Zero 0

Aku hidup seperti mengikuti sebuah alur dunia fiksi sebagai figuran tak terlihat. Semuanya membuatku muak. Seandainya kita hidup dalam sebuah simulasi komputer yang dapat mengalami hal yang namanya glitch in the matrix, namun semua itu hanya ilusi semata. Banyaknya keinginan yang kuinginkan hanya bisa kutulis dalam sebuah fiksi.

Hingga aku mulai menjalani hidupku tanpa ketergantungan dari sebuah fiksi. Melepas semua belenggu yang kutakuti dan mulai terbang seperti burung samurai. Disini, aku mulai menulis kisahku mengubah dialogku dari peran figuran menjadi peran utama.

Bukan tentang transmigrasi maupun reinkarnasi seperti kebanyakan novel, aku berubah karena kata-kata seseorang. Aku tidak ingin menjadi orang idiot yang menganggap kata motivasinya sebagai kata yang tidak mungkin terjadi. Dengan kata katanya yang kadang setajam silet, aku mampu mengubah diriku menjadi seekor burung samurai yang bangga.

Dan yang terpenting ini nyata bukan fiksi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zero 0, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

“Mengerti dan tidak mengerti cara menggiring bola dan

“Mengerti dan tidak mengerti cara menggiring bola dan memasukkannya ke dalam ring. Kata pak Bambam caranya sama seperti ketika kita sedang jatuh cinta lalu kita berjalan menggiring hati masing-masing sampai pada tujuannya yaitu pernikahan. Jelas sekali perbedaannya!”

Duk.

Duk.

Duk.

Bola yang ku lempar lagi-lagi tidak masuk ke dalam ring basket.

“Rea Andana! Bapak sudah kasih contoh sama kamu sepuluh kali kenapa kamu belum juga bisa masukin bolanya!” Teriak pak Bambam dari pinggir lapangan.

Aku mendesah lelah dengan nasibku yang dari tadi diteriaki oleh pak Bambam. Mau bagaimana lagi, melemparkan bola basket tidak semudah melemparkan tahu bulat ke dalam mulut. Di hitung sudah berpulu-puluh kali aku mencoba memasukkan bola yang saat ini masih ku pegang ke dalam ring dan hasilnya nol besar begitupun teriakan pak Bambam yang terdengar setiap kali aku tidak dapat memasukkannya.

Duk.

Duk.

Duk.

Aku kembali memantulkan bola ke lantai dan mencoba memasukkannya lagi, lagi-lagi bola itu malah memantul dan menggelinding tidak karuan. Dongkol aku menatap pak Bambam yang kini sudah melemparkan bola matanya kearahku.

“Pak, saya nyerah ah! Saya nggak punya bakat dalam bidang ini! Saya juga capek, mau istirahat!” teriakku disela mengatur napas yang memburu.

“Lagi pak, saya juga tidak mau tahu gimana caranya masukin bola ke dalam ring! Mending saya masukin tahu bulat ke dalam mulut!” lanjutku.

Sontak teriakanku membuat seluruh lapangan tertawa tak tertahan, mereka tidak memberiku muka sama sekali bahkan Cila sudah berjongkok karena menahan tawanya membuat perutnya sakit. Sial. Aku berbicara serius malah di buat candaan, aku tidak peduli bagaimana bola itu dapat masuk ke dalam ring tapi aku peduli jika ada tahu bulat yang masuk ke dalam mulutku.

“REA ANDANA! BAPAK NGGAK MAU TAHU YA KAMU HARUS LULUS UNTUK UJIAN BULAN DEPAN! SEMUANYA!! DENGARKAN BAPAK! BULAN DEPAN KALIAN AKAN MENGAMBIL TES LAY UP! KALIAN HARUS LULUS! KALAU TIDAK AKAN ADA HUKUMAN!”

Aku memutar kedua bola mataku malas, aku sudah bilang jika aku tidak mempunyai bakat dalam bidang ini dan pak Bambam malah memasukkanku ke dalam jurang neraka buatannya.

“Pak! Untuk saya hukuman aja nggak pa-pa deh! Saya ikhlas lahir batin!” seruku.

Pak Bambam menghampiriku segera setelah aku mengatakan itu, wajah galak menjadi pemandangan saat dia marah padaku. Dengan greget, dia mengambil telingaku sedikit keras membuatku memekik kencang.

“PENGANIAYAAN PAK! AWAS SAYA LAPOR POLISI NANTI!”

Setelah mendengarku, sontak pak Bambam melepaskan tangan yang dengan beraninya menjewerku. Dia menghembuskan napas kesal, kedua tangannya berada di pinggang menantang.

“Saya kasih tahu ya Rea. Orang mau masukin bola itu harus digiring kayak pengantin, dalam hati takut tapi penuh kepastian. Bapak bilang kayak pengantin karena mereka juga sama menggiring hati mereka sama seperti menggiring bola yang sepenuh hati hingga sampai tujuannya, orang yang jatuh cinta pasti ingin menggiring mereka ke dalam ikatan suci yaitu pernikahan sedangkan kamu juga harus jatuh cinta sama bola biar kamu bisa menggiring dan memasukkannya ke dalam ring.” Pak Bambam menjelaskan panjang lebar padaku.

“Saya nggak mau jatuh cinta sama bola pak! Saya maunya sama orang! Masa saya harus nikah sama bola!” seruku menjawab pak Bambam.

“BUKAN BEGITU JUGA, REA!”

Sontak teriakannya membuatku berjengkit kaget. Pak Bambam berteriak tepat di depan wajahku dengan sedikit air liur yang keluar, jika itu orang lain maka orang itu akan langsung aku gampar hingga tepar.

Pak Bambam memijat kening dengan tangan kanannya seakan berpikir keras, “gini deh. Kamu belajar aja sama Adit ketua tim basket itu kalau nggak sama dia kamu bisa belajar sama Raka, bapak ingat kamu dekat sama dia. Mungkin lebih mudah kamu belajar sama dia. Ingat bulan depan tes, kalau kamu gagal bapak nggak masukin nilai kamu di rapor saat kenaikan kelas biar kamu kapok nggak naik kelas.”

Pak Bambam pergi meninggalkanku yang melongo tidak percaya apa yang baru saja dia ucapkan. TIDAK NAIK KELAS! Itu tidak bisa terjadi, jadi kalau aku mau naik kelas aku harus meminta bantuan kak Adit ketua tim basket atau Raka yang pintar bermain basket! Akhh...! Dunia mengerikan!

King valak

Babu. Cepat jemput gue dikelas.

Sialan! Baru saja dibicarakan sekarang dia sudah menghantuiku. Sabar babu! Aku mengelus dadaku mencoba menenangkan diri. Aku menghampiri Cila untuk memintanya menemaniku dan jawabannya malah...

“Nggak deh. Gue capek banget nih, gue langsung ke kantin aja. Semangat ya Rea!”

BRENG-SEK!

Menjadi babu membuatku sedikit sentimental. Sialan! Cobaan apalagi ini! Aku ingin menangis tapi air mataku kering.

Disini lagi. Kelas Raka yang berada di lantai dua, setelah olah raga biasanya aku tidak akan membawa pakaian ganti atau bisa disebut seragam sekolah yang seharusnya dipakai hari ini, terlalu merepotkan untuk berganti pakaian walaupun berkeringat tapi aku tidak merasakan ketidaknyamanan.

Keringatku masih menggantung dikening aku tidak memiliki waktu untuk mengelapnya takut jika mimpiku benar-benar terjadi, si Raka yang tidak sabaran jika aku tidak cepat mungkin dia akan segera berubah menjadi valak. Mengerikan. Mending jika valak hantu yang tidak bakal bisa menyakiti orang mungkin hanya psikisnya saja yang terganggu jika melihatnya, sedangkan valak seperti Raka akan membuat fisik serta psikis yang artinya duo doble rugi.

“Lama banget. Ngapain aja,”

Suara datar Raka membuatku mendengus keras, lama banget dari mana, sialan. Lama untumu dugong. Aku berlari dari lapangan basket hingga ke kelasnya dan dia masih protes lama banget mending jika aku berjalan seperti siput lah ini aku sudah berlari seperti drakula saja masih ditanggapi lama lalu jika aku hanya berjalan dia mungkin akan bilang lo ulet apa manusia, jalan aja sejam kalau lo mau naik pesawat ke singapura lo udah ketinggal duluan. Pesawat udah sampai Singapura lo baru sampai bandara soekarno hatta.

“Gue udah lari dari lapangan dan lo masih bilang lama?”

“Oh.”

Ingin sekali aku mengumpat langsung didepannya tolong katakan padaku siapa yang betah menjadi babunya kalau begini bahkan jika digaji 50 juta per bulan aku juga tidak akan mau. Setiap kali Raka ngomong pedas aku bahkan ingin memlester mulutnya agar tetap rapat.

Raka berjalan ke lebih dulu baru aku mengikuti di belakangnya. Ngomong-ngomong aku belum melihat Alexa, aku kira karena Raka berada di kelas mungkin dia juga akan berada di sana tapi aku salah.

“Re, gue mau jujur.”

.

Raka berhenti dan berbalik menghadapku membuatku ikut berhenti dan menatapnya, tinggi badan yang tidak cocok membuat Raka membungkuk lebih jauh. Ini terlalu dekat, aku ingin mundur tapi tangannya tiba-tiba menjangkauku, raut panik terpampang di wajahku aku tidak bisa mempertahankan ekspresiku.

“Re, gue mau jujur. Denger gue dulu,” perintah Raka lirih.

Melihat wajah Raka yang membesar dalam pengelihatanku membuatku ingin segera melepaskan diri, apakah Raka akan melecehkanku? Oh tidak! Aku mencoba berpikir jernih, tidak mungkin Raka melecehkanku terlebih dilingkungan sekolah dan Raka sepertinya bukan seorang holligan dan ada kemungkinan Raka seorang gay seperti yang aku dengar dari beberapa orang yang lalu lalang.

“Sebenarnya lo pinter banget main basketnya,”

"Akhhh...!!"

Setelah mendengar itu tanpa aba-aba aku menendang tulang keringnya keras membuatnya berteriak dan membungkuk memegang kakinya, dia mengejek terang-terangan didepanku. “Lo mata-matain gue!” seruku.

Kembali seperti semula, Raka berdiri acuh tak acuh seolah tidak terjadi apa pun. “Gue nggak mau lihat tapi sayangnya tempat duduk gue di sebelah jendela yang menghadap langsung ke lapangan basket. Sebenarnya lo cukup mengganggu, gue jadi nggak fokus sama guru gara-gara lo yang nggak bisa main basket, pak Bambang teriak dari tadi dan telinga gue juga nggak budeg.” Setelah mengatakan itu Raka kembali berjalan.

Aku menepuk jidatku pelan, aku bahkan lupa bahwa suara pak Bambam seperti guntur yang meledak di langit malam. Aku mengejar langkah lebarnya dengan sedikit berlari, “karena lo tahu, jadi gue mau lo ngajarin basket.” Topik ini kuangkat.

Raka mengangkat satu alisnya dan berhenti dan berbalik menatapku, “lo babu gue dan majikan malah disuruh nglatih babunya.”

Aku menatap punggung Raka yang berada di depanku kesal, masalah ini diungkit lagi aku jadi ingat kalau saat ini statusku seorang babu.

“Terus gue harus bilang sama kak Adit buat ngelatih, gue kan nggak kenal sama dia.” Entah kenapa aku malah mengadu padanya, “kali ini aja deh. Please. Please!” lanjutku memaksa dengan kedua tangan yang disatukan memohon padanya.

Raka menghembuskan nafas dan menyentuh kepalaku, “anak kucing yang baik. Kalau gitu gue mau kita latihan tiap hari sabtu dan minggu di rumah gue,”

Aku menampar tangan Raka yang berada di atas kepalaku, sepertinya Raka sudah kebiasaan menyentuh kepalaku dan bodohnya aku selalu membiarkannya karena merasa nyaman tapi kali ini tidak lagi.

“Kucing yang baik menjadi kucing liar,” kata Raka setelah tangannya terlepas dari kepalaku dan meninggalkanku yang ingin meledak.

“KAK RAKA! AKHH!” Jeritku ditengah keheningan koridor.

Kucing liar. Dia sungguh-sungguh membandingkanku dengan kucing liar.

Kenapa tidak memberikannya padaku dari lama? Padahal kamu sudah menemukannya waktu di desa dan sekolahpun sudah berjalan lebih dari satu minggu. Tapi aku masih berterimakasih.

“REA!”

Panggilan itu membuatku menghentikan jalanku menuju gerbang sekolah untuk pulang. Aku menoleh mendapati Edo berjalan ke arahku dengan senyum lebar dibibirnya, tas yang biasanya di gendong belakang kini hanya di sampirkan di salah satu bahunya membuatnya lebih berbeda.

“Ada apa?” tanyaku.

Edo merogoh sesuatu di dalam kantong celana dan mengeluarkannya, “gue nemu kalung ini waktu di kebun. Punya lo bukan?”

Mataku membola. Refleks aku mengangguk semangat yang mengundang kekehan dari Edo, “kok bisa sama lo?” tanyaku sambil mengambil alih kalung yang berada di tangannya.

Aku mengamati kalung itu sejenak, benar kalungku tidak ada yang lecet sedikit pun dari kalungku. Aku selalu memakai kalung ini dari kelas satu smp jadi wajar jika aku sangat menyukainya.

“Gue nemu tepat setelah lo pergi dari kebun. Gue kira itu punya lo, jadi gue bawa dan ternyata beneran punya lo.”

“Oh, thanks.”

“No prob.

Aku terdiam mencerna sesuatu diotakku. Aku hanya sedikit berpikir, jika kalung itu ditemukan olehnya kenapa baru ia mengembalikannya sekarang? Juga sekolah sudah dimulai lebih dari satu minggu yang lalu. Mungkinkah sibuk? Tapi aku perhatikan dia tidak sibuk sama sekali dan malah bercanda ria dengan teman-temannya setelah masuk sekolah.

“Re. Malam minggu besok ada acara nggak?” tanyanya.

“Enggak, kenapa?” Aku bertanya tanpa berpikir.

“Lo mau nggak malam minggu nanti...”

“Bawa tas gue.”

Suara dengan perintah mutlak memutus pembicaraan Edo bersamaan dengan tas yang melayang ke pelukanku. Suaranya terlihat suram sama persis seperti waktu itu dan tanpa sadar membuatku merinding. Ada apa dengan Raka?

“Kak Raka, lo kenapa?” pertanyaanku diabaikan olehnya.

Aku berjalan mengikutinya dari belakang meninggalkan Edo yang memiliki wajah mengeras.

..."Auranya yang suram membuatku takut berbicara, jangankan berbicara bernapaspun rasanya sulit. Hatinya cepat berubah antara mendung dan panas."

...

...

...

Di mobil Raka. Di sepanjang jalan aku tidak bersuara, auranya yang suram membuatku takut akan dicekik saat itu juga. Rasa ini pernah kualami sekali dan sekarang aku mengalaminya lagi, sebenarnya ada apa dengannya?

Suasananya gampang berubah seperti mendung, hujan dan awan gelap setelah itu awan cerah, cuaca yang tidak pasti dan tidak dapat diprediksi.

Untungnya tidak ada petir dan angin topan padanya, jika ada aku tidak tahu harus bagaimana dan berbuat apa karena nyatanya aku sedikit takut dengan aura suramnya. Ini sudah setengah jalan menuju rumahku, hanya ini untungnya Raka tidak menurunkanku di jalan setelah memaksaku menaiki mobilnya.

Aku meliriknya sedikit dan menghembuskan nafasku. Wajahnya masih hitam . “Kak, lo kenapa sih?” dengan berani aku bertanya padanya lirih berdoa dalam hati semoga bukan jawaban keras yang kudapatkan.

Raka menatap ke depan tidak mau menatapku bahkan menjawab pun tidak, hanya tangan yang berada di stir mencengkeram erat stir itu hingga urat hijau keluar dari sela tangannya. Jika Raka memukulku aku pasti langsung KO begitu aku melihat tangannya yang bisa dibuat untuk alat pemukul maling.

Mobil berhenti di sebuah minimarket dan Raka turun yang langsung aku kejar. Mengikutinya masuk ke dalam minimarket, aku melihatnya mengambil sebuah kaleng soda dan setelah membayarnya dia keluar lalu menenggaknya hingga kandas. Raka membuang kaleng ke tempat sampah dari jarak dua meter dan gol, kaleng mendarat dengan sempurna.

Aku menatap tepat di wajahnya, kini wajah keras itu telah berkurang banyak hingga tanpa sadar aku menghembuskan napas lega. Lain kali tolong ingatkan aku untuk membeli kaleng soda saat dia marah dan saat dalam keadaan dia terlihat tidak baik. Sebenarnya aku masih sedikit bingung dengannya, kenapa dia terlihat sangat marah? Itu masih tidak bisa aku ketahui.

“Lo kenapa sih?” tanyaku dengan sedikit kesal, karena aku tahu dia sudah merasa lebih baik barulah aku berani mengatakan ini dengan nada kesal.

Bukannya menjawab Raka malah kembali masuk ke dalam mobilnya. Aku mengikutinya dengan hentakan kaki keras untuk menyalurkan kekesalanku, sebenarnya ada apa sih dia terlihat marah padaku tapi aku tidak merasa aku pernah membuat masalah dengannya.

“Kak. Lo dengar gue ngomong nggak sih!” sentakku.

Raka memandangku sedikit tajam membuat nyaliku menciut, bibirku kututup rapat-rapat aku takut bibirku akan dimutilasi olehnya saat ini juga. Kedua tangan yang berada di pangkuanku memilin jari, dengan cepat aku mengalihkan perhatianku menjadi jendela mobil disampingku.

Entah kenapa mataku terasa panas dengan lahar yang menumpuk. Entah kenapa aku menjadi sensitif sekali, mungkin karena semenjak mengenal Raka dia tidak pernah memperlakukanku seperti ini dia juga tidak pernah memandangku seperti saat ini dia memandangku. Terlihat sangat berbeda dan aku takut dengannya yang saat ini.

Setetes lahar jatuh dari mataku membuatku terkesiap dan segara mengusapnya tapi sayangnya butiran lain ikut terbawa, ini membuatku sedikit kesal. Aku tidak ingin Raka melihatku seperti anak kecil yang menangis seperti ini tanpa sebab yang jelas, aku mengusap kasar air mataku dengan gerakan samar. Sial. Aku seperti anak kecil yang meminta permen tapi tidak diberi oleh ayahnya.

Aku merasa ada usapan kecil di kepalaku dan sayangnya air mataku tidak bisa berhenti karena ini jadi aku menutup wajahku dengan kedua tangan menyembunyikannya dari Raka yang sedari tadi masih menatapku. Pelukan hangat ku rasakan saat ini, Raka mencondongkan tubuhnya dan membawaku ke dalam pelukannya. Dagunya tertompang kepalaku dengan satu tangan mengusap pundak dan tangan satunya berada di belakang kepalaku mengusapnya pelan.

“Jangan menangis dan jadilah baik.”

Perkataannya malah menjadi bumerang dalam diriku, tanpa kata tangisku meledak begitu saja dengan isakan tidak peduli lagi jika diriku terlihat seperti anak kecil. Lagipula dari kata-kata Raka, dia sendiri yang menyebutku anak kecil. Aku menyembunyikan wajahku pada dada kekarnya.

Sialan. Raka malah jadi seperti Ayahku. Jika reinkarnasi itu ada mungkin Raka adalah reinkarnasi dari ayahku tapi bahkan tidak mungkin karena ayahku masih hidup dan sehat. Satu lagi, ayahku tidak pernah seperti Raka atau mungkin tidak ada bandingannya dengan Raka.

1
anggita
ikut ng👍 like aja.
Kiya Riskiyah
novel nya bermakna bagi semua pembaca di novel ini
anonymous
Sukses membuat saya terhanyut dalam dunianya.
Melanie
Jalan ceritanya dapet banget, tiap konflik bikin hati deg-degan.
Izuku
Ceritanya bikin ngeri tapi bikin ga bisa berhenti baca 🙈
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!