Villa megah itu berdiri di tepi jurang, tersembunyi di balik hutan pinus. Konon, setiap malam Jumat, lampu-lampunya menyala sendiri, dan terdengar lantunan piano dari dalam ruang tamu yang terkunci rapat. Penduduk sekitar menyebutnya "Villa Tak Bertuan" karena siapa pun yang berani menginap semalam di sana, tidak akan pernah kembali dalam keadaan waras—jika kembali sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kriicers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22•
...Taman Bermain Arwah...
Malam itu, di Pekanbaru yang mulai diselimuti kabut tipis, aku melangkah melewati gerbang besi berkarat Taman Ria Gemilang. Namanya kontras sekali dengan keadaannya sekarang. Pepohonan menjulang tinggi dengan dahan-dahan kering menjulur seperti jemari kurus, seolah meraih langit yang pekat. Ayunan-ayunan yang dulunya penuh tawa anak-anak kini berderit pelan ditiup angin, menciptakan simfoni menyeramkan yang menusuk telinga. Seingatku, taman bermain ini sudah belasan tahun ditinggalkan, terbengkalai setelah insiden misterius yang merenggut beberapa nyawa anak-anak di sana.
"Kamu yakin kita harus masuk, Yud?" suara Rini, sahabatku, memecah kesunyian. Napasnya terengah, matanya menyusuri kegelapan di sekitar kami. Ia tak pernah suka hal-hal berbau mistis, tapi keberanianku kadang menular padanya.
"Ayolah, Rini. Ini cuma taman tua. Lagipula, kita sudah janji pada Rio dan Beni." Aku mencoba terdengar tenang, meskipun jantungku berdebar tak karuan. Rio, si ketua geng kami, memang punya ide-ide gila. Malam ini, ia menantang kami untuk bermalam di sini, di Taman Ria Gemilang, demi membuktikan keberanian kami.
Tak lama, kami bertemu Rio dan Beni di dekat komedi putar yang sudah usang. Warnanya pudar, kuda-kudaannya sebagian patah, dan debu tebal menyelimuti setiap sudutnya. Rio menyeringai melihat wajah tegang Rini. "Nah, datang juga akhirnya si penakut ini."
"Diam, Rio! Kau pikir aku tidak takut?" Rini membalas ketus, meskipun suaranya sedikit bergetar.
Malam semakin larut. Suhu udara turun drastis, menusuk hingga ke tulang. Kami duduk melingkar di tengah-tengah taman, di sebuah bangku batu yang dingin, sambil bercerita dan mencoba mengusir rasa takut. Suara jangkrik bersahutan di antara deritan ayunan yang bergerak sendiri.
"Kalian tahu cerita tentang anak kecil yang hilang di sini?" Beni memulai, suaranya sengaja dibuat horor. "Konon, dia terpeleset dari perosotan dan tewas tertimpa reruntuhan. Arwahnya masih sering terlihat bermain di sini, mencari teman."
Rini langsung memeluk lenganku, matanya membelalak. "Jangan bicara yang aneh-aneh, Ben!"
"Santai saja, Rini. Itu cuma cerita," Rio terkekeh, tapi aku bisa melihat matanya pun tak setenang ucapannya.
Tiba-tiba, sebuah bola karet kecil menggelinding dari balik semak-semak di dekat kami, berhenti tepat di kaki Rio. Bola itu kotor dan usang, seperti sudah lama tergeletak di sana. Kami semua terdiam. Tidak ada angin, tidak ada siapa-siapa.
Rio mengambil bola itu, ekspresinya berubah. "Siapa yang melempar ini?" tanyanya dengan suara rendah.
Tidak ada jawaban. Hanya kesunyian yang mencekam.
"Itu... itu mungkin kebetulan, Rio," kataku, mencoba berpikir logis.
Kemudian, kami mendengar suara tawa anak kecil. Samar-samar, tapi jelas sekali. Suara itu berasal dari arah perosotan, tempat Beni tadi bercerita. Rio memberi isyarat agar kami tetap diam. Kami menahan napas, telinga kami menajam.
Suara tawa itu semakin jelas, diikuti dengan suara langkah-langkah kecil, seolah seseorang sedang berlari di dekat perosotan. Jantungku berdetak tak karuan. Ini bukan lagi sekadar cerita.
"Siapa di sana?!" Rio berteriak, suaranya sedikit pecah.
Tawa itu berhenti. Hening. Lalu, kami melihatnya. Sebuah bayangan kecil melintas cepat di balik pepohonan, menuju ke arah ayunan. Kami semua saling pandang, wajah kami pucat pasi.
"Itu... arwah anak itu," Beni bergumam, matanya terpaku pada ayunan yang kini bergerak lebih kencang, seolah ada yang mendorongnya.
Rini sudah menangis ketakutan. "Aku mau pulang! Aku mau pulang sekarang juga!"
"Tunggu, Rini. Jangan panik," kataku, berusaha menenangkan diriku sendiri dan juga dia. "Kita harus keluar bersama."
Kami bangkit perlahan, melangkah mundur menjauhi ayunan. Namun, saat kami berbalik, kami melihat bayangan kecil itu lagi, kini berdiri di dekat pintu masuk taman. Ia tampak menatap kami, meski kami tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas.
"Dia... dia memblokir jalan," bisik Rio.
Tiba-tiba, suara nyanyian anak-anak yang lirih dan sumbang mulai terdengar dari arah komedi putar. "Potong bebek angsa, masak di kuali..."
Kami semua merinding. Nyanyian itu terdengar seperti suara anak-anak yang terjebak di suatu tempat, tercekik. Komedi putar mulai berputar perlahan, tanpa ada seorang pun yang menyentuhnya. Lampu-lampunya yang sebagian besar pecah, tiba-tiba berkedip-kedip redup, menciptakan efek menyeramkan.
"Kita harus lari!" teriak Beni.
Kami pun berlari sekencang-kencangnya, tanpa arah yang jelas. Melewati pepohonan, menghindari rintangan yang tak terlihat di kegelapan. Suara nyanyian itu mengikuti kami, semakin keras dan menyeramkan.
"Ke sana! Ada pagar yang ambruk!" Rio menunjuk ke arah sudut taman yang gelap.
Kami berusaha sekuat tenaga menerobos semak belukar dan ranting-ranting kering. Saat kami hampir mencapai pagar, aku merasa kakiku tersandung sesuatu. Aku jatuh tersungkur, pergelangan kakiku terasa sakit.
"Aduh!" Aku meringis.
Rini berbalik, "Yud! Kamu tidak apa-apa?"
Rio dan Beni sudah berada di balik pagar, menungguku. "Cepat, Yud!" teriak Rio.
Aku mencoba bangkit, tetapi pergelangan kakiku terasa sangat sakit. Tiba-tiba, sebuah tangan dingin menyentuh kakiku. Aku mendongak, dan melihat bayangan kecil itu berdiri tepat di depanku. Ia menatapku, dan kali ini, aku bisa melihat matanya. Mata kosong, hitam legam, tanpa pupil. Senyum lebar mengembang di wajahnya, menunjukkan deretan gigi yang kecil dan tajam.
"Kudengar kau ingin berteman?" suara anak kecil itu berbisik, serak dan dingin.
Aku berteriak, berusaha meronta. Rini kembali melompat pagar, "Yuda!"
Tiba-tiba, seberkas cahaya senter menyorot tepat ke arah kami. Suara klakson mobil terdengar dari luar taman. Rio dan Beni panik, mereka berteriak, "Polisi!"
Bayangan anak kecil itu lenyap seketika, seolah ia tak pernah ada. Aku merasakan Rini menarikku, membantu aku bangkit. Kami dengan susah payah melompati pagar.
Di luar taman, sebuah mobil patroli polisi berhenti. Dua orang polisi keluar dari mobil, menatap kami dengan tatapan heran. "Sedang apa kalian di sini malam-malam begini?" salah satu polisi bertanya, suaranya tegas.
Kami tidak bisa bicara, terlalu syok dan ketakutan. Rio yang paling cepat pulih, mencoba menjelaskan. "Kami... kami tersesat, Pak. Kami sedang mencari jalan pulang."
Polisi itu menghela napas. "Taman ini sudah lama ditutup. Sangat berbahaya masuk ke sana."
Kami hanya mengangguk, bersyukur bisa selamat.
Di perjalanan pulang, setelah polisi mengizinkan kami pergi dengan peringatan, Rini bertanya, "Apa itu tadi, Yud? Apa yang kita lihat?"
Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Kejadian itu terasa begitu nyata, tapi aku masih mencoba mencernanya.
Minggu-minggu berlalu. Aku masih sering dihantui mimpi buruk tentang taman itu, tentang mata kosong dan senyum tajam anak kecil itu. Pergelangan kakiku sudah pulih, tapi bekas luka di hatiku belum.
Suatu sore, aku sedang membereskan kamarku. Aku menemukan sebuah kotak tua di bawah ranjang. Itu adalah kotak mainanku sewaktu kecil, yang sudah lama tidak kubuka. Di dalamnya, aku menemukan sebuah album foto usang.
Aku membuka album itu perlahan. Foto-foto masa kecilku, wajah orang tuaku yang masih muda, dan teman-teman masa kecilku. Kemudian, aku berhenti pada satu halaman. Sebuah foto.
Di foto itu, aku terlihat masih sangat kecil, mungkin sekitar lima tahun. Aku sedang tersenyum ceria, memegang erat sebuah bola karet yang kotor. Di belakangku, terlihat sebuah taman bermain. Sebuah komedi putar. Sebuah ayunan. Dan sebuah perosotan yang familiar. Itu Taman Ria Gemilang.
Yang membuatku terkejut adalah, di sampingku, di dalam foto itu, ada seorang anak kecil. Wajahnya samar, tapi aku bisa melihat matanya. Mata kosong, hitam legam. Dan senyum lebar dengan deretan gigi kecil yang tajam. Bola karet yang kupegang di foto itu, persis sama dengan bola yang menggelinding di dekat Rio malam itu.
Tanganku gemetar. Kenapa aku tidak ingat pernah bermain dengan anak ini? Kenapa aku tidak ingat pernah ke Taman Ria Gemilang saat masih kecil?
Aku membalik halaman, dan menemukan artikel koran yang sudah menguning, diselipkan di antara foto-foto. Judulnya besar: "Tragedi Taman Ria Gemilang: Tiga Anak Tewas Akibat Runtuhnya Perosotan."
Tubuhku membeku. Mataku menyusuri isi artikel. Tiga anak tewas. Salah satunya, seorang anak laki-laki berusia lima tahun, yang dilaporkan hilang setelah insiden tersebut dan jasadnya tidak pernah ditemukan. Ada foto kecil anak itu di pojok artikel.
Dan aku, dengan mata terbelalak, melihat wajahnya. Wajah yang sama persis dengan anak kecil di foto bersamaku.
Aku memejamkan mata, membiarkan ingatan yang terkubur dalam-dalam menyeruak ke permukaan. Ingatan tentang hari itu, di Taman Ria Gemilang. Aku ingat bermain dengan anak itu. Kami bermain kejar-kejaran, aku melempar bolaku, dan dia... dia mengejarnya ke arah perosotan. Aku ingat teriakan, suara dentuman, dan kegelapan yang menyelimutiku setelah itu. Aku pingsan. Ketika aku terbangun, aku sudah berada di rumah sakit. Orang tuaku bilang aku terpeleset dan kepalaku terbentur. Mereka tidak pernah menceritakan tentang anak yang hilang itu. Mereka ingin melindungiku dari kenyataan pahit.
Rasa dingin menjalar di punggungku. Aku menatap kembali foto itu. Anak kecil di sampingku tersenyum. Senyum yang sama dengan yang kulihat di balik bayangan di taman bermain. Dan bola karet di tanganku... bola yang sama yang menggelinding di kaki Rio.
Aku bukan korban. Aku adalah saksi. Atau lebih tepatnya, aku adalah satu-satunya yang selamat dari insiden itu, dan selama ini, arwah anak itu tidak menghantui Taman Ria Gemilang. Dia menghantuiku. Dia mencoba berkomunikasi denganku, teman kecilnya yang terakhir. Dia ingin aku mengingatnya. Dia ingin aku mengungkapkan kebenaran tentang apa yang terjadi padanya.
Dan dia tidak pernah ingin berteman. Dia ingin aku kembali. Ke taman bermain arwah itu. Selamanya.