Sebuah kecelakaan beruntun merenggut nyawa Erna dan membuat Dimas terbaring lemah di ruang ICU. Di detik-detik terakhir hidupnya, Dimas hanya sempat berpesan: "Tolong jaga putri saya..." Reza Naradipta, yang dihantui rasa bersalah karena terlibat dalam tragedi itu, bertekad menebus dosanya dengan cara yang tak terduga-menjodohkan Tessa, putri semata wayang Dimas, dengan putra sulungnya, Rajata. Namun Rajata menolak. Hatinya sudah dimiliki Liora, perempuan yang ia cintai sepenuh jiwa. Tapi ketika penyakit jantung Reza kambuh akibat penolakannya, Rajata tak punya pilihan selain menyerah pada perjodohan itu. Tessa pun terperangkap dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Ia hanya ingin hidup tenang, tanpa harus menjadi beban orang lain. Namun takdir justru menjerat mereka dalam ikatan yang penuh luka. Bisakah Tesha bertahan di antara dinginnya penolakan? Dan mungkinkah kebencian perlahan berubah menjadi cinta?
Sah!
Malam itu kondisi Reza sudah mulai stabil, meski tubuhnya masih terlihat lemah di atas ranjang rumah sakit. Suara mesin infus terdengar pelan, bersaing dengan desahan AC yang mendinginkan ruangan VIP yang pagi ini disulap menjadi tempat akad nikah.
"Ya... lebih cepat lebih baik," gumam Reza lirih. Ia tak ingin menunda-nunda lagi. Ada rasa cemas yang tak bisa ia sembunyikan—takut jika Rajata berubah pikiran. Sebagai ayah, ia tahu betul anaknya itu masih setengah hati menerima pernikahan ini. Tapi dalam hatinya, Reza yakin, lambat laun Rajata pasti bisa menerima Tessa sepenuhnya.
Penghulu sudah datang, duduk dengan map hijau di pangkuannya. Dua saksi duduk di sampingnya, sementara beberapa kerabat dekat Reza ikut hadir. Di antaranya ada Rani, adik kandung Reza, dan Teguh, kakak kandungnya. Mereka sengaja diundang sebagai saksi pernikahan Rajata.
Untuk saat ini, akad dilakukan secara sederhana di rumah sakit. Nanti, setelah kondisi Reza benar-benar pulih, mereka akan mengurus surat-surat resmi di KUA.
"Nak Rajata... sudah siap?" tanya penghulu dengan suara tenang.
Rajata mengangguk pelan, wajahnya kaku. Ia melirik Tessa yang berdiri di sampingnya, lalu menarik napas dalam-dalam. Hatinya masih terasa berat, tapi ia mencoba menyembunyikan itu demi sang ayah.
"Kalau begitu kita mulai..."
Suasana ruangan mendadak hening. Semua mata tertuju pada Rajata dan Tessa yang duduk bersimpuh di hadapan penghulu. Jantung Rajata berdegup keras, sementara Tessa menunduk, wajahnya terlihat gugup. Reza tersenyum lemah dari atas ranjangnya, berusaha menahan haru yang menyeruak di dadanya. Ia tak pernah menyangka hari itu akan datang secepat ini.
"Baik... kita mulai ya." Suara penghulu terdengar tenang, namun mampu membuat seluruh ruangan semakin tegang.
"Bismillahirrahmanirrahim..."
Penghulu menarik napas, lalu berkata lantang,
"Saudara Rajata Kastara Naradipta, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan seorang perempuan bernama Tessa Alodia Kamani, binti Dimas Kamani, dengan maskawin berupa uang tunai sebesar lima juta rupiah, dibayar tunai."
Rajata mengepalkan tangannya di atas lutut. Matanya menatap lurus ke arah penghulu. Ada jeda sesaat sebelum ia menjawab, suaranya sedikit bergetar namun tegas,
"Saya terima nikahnya Tessa Alodia Kamani binti Dimas Kamani dengan maskawin tersebut, tunai."
"Sah?" tanya penghulu kepada para saksi.
"Sah." Jawaban kompak menggema di ruangan.
Reza menutup matanya sejenak, butiran air mata mengalir di sudut mata yang cekung. Bibirnya bergetar, namun ia tersenyum puas. Dalam hati, ia berbisik pelan, "Aku akan menjaga putrimu, Dimas... mulai sekarang, Tessa juga putriku. Aku akan melindunginya seperti anakku sendiri."
Sementara itu, Tessa mencuri pandang ke arah Rajata. Ia tahu lelaki itu belum sepenuhnya rela, tapi detik ini, takdir sudah mempertemukan mereka dalam ikatan suci.
Tessa bisa merasakan hawa dingin yang menusuk di ruangan itu. Tatapan penuh penilaian datang dari ibu mertuanya, Bu Ratna, yang sedari tadi hanya duduk kaku di sudut kursi tanpa sepatah kata pun. Bahkan Carissa, adik Rajata, hanya memandang Tessa dengan sorot mata sinis, seolah pernikahan ini adalah kesalahan besar yang tak termaafkan.
Hanya Teguh—kakak kandung Reza—dan istrinya, Sindy, yang menyambut Tessa dengan hangat. Sindy memeluk Tessa erat-erat, memberikan kehangatan yang dibutuhkan Tessa. sejak kedua orang tuanya tiada.
"Selamat ya sayang. Semoga kalian jadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah," ucap Sindy lembut, sambil menepuk bahu Tessa.
Dia tahu betul rasanya ditinggalkan orang tua di usia muda. Mungkin karena itulah dia tak tega ikut menghakimi Tessa seperti yang lainnya.
Tessa menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia membalas pelukan Sindy, membiarkan dirinya larut sejenak dalam kehangatan itu.
"Terima kasih, Tante..." bisiknya pelan.
Rajata berdiri di samping mereka, hanya terdiam. Pandangannya kosong, pikirannya melayang jauh... pada Liora. Nama itu kembali menusuk hatinya. Perempuan yang selama ini ia cintai, yang harus ia lepaskan demi berbakti kepada sang ayah. Ada sesak di dadanya saat membayangkan Liora menangis, mungkin sedang membencinya sekarang.
"Maafkan aku, Liora... semua ini bukan keinginanku," batinnya bergejolak.
Setelah prosesi akad selesai, Rajata membawa Tessa ke rumahnya. Gadis itu hanya membawa satu tas kecil berisi baju ganti. Sebenarnya Tessa ingin pulang dulu ke rumah almarhum orang tuanya untuk mengambil beberapa barang, tapi Rajata menolak tegas.
"Gue capek. Besok aja kalau mau ambil barang-barang lo. Sekarang ikut gue,"
ujarnya dingin tanpa menoleh sedikit pun pada Tessa yang berjalan pelan di belakangnya.
Setibanya di rumah, Tessa dibuat kagum. Rumah keluarga Naradipta berdiri megah dengan arsitektur modern yang elegan.
Saat pintu kamar Rajata terbuka, Tessa menahan napas. Kamar itu luas, dengan dinding kaca yang memperlihatkan taman kecil di luar. Furniturnya minimalis tapi berkelas—cerminan pemiliknya yang perfeksionis.
Namun kekaguman itu segera buyar oleh suara Rajata yang tajam menusuk.
"Lo tidur di sofa. Gue nggak mau satu ranjang sama lo."
Tessa tertegun. Matanya langsung mengarah ke sofa panjang di sudut ruangan yang tampak nyaman tapi jelas tidak didesain untuk tidur semalaman.
Belum sempat ia menjawab, Rajata kembali menatapnya dengan sorot dingin.
"Dan satu lagi... gue mau pernikahan ini nggak ada yang tau, apalagi anak-anak Cakrawala. Gue nggak mau hidup gue jadi bahan gosip murahan. Lo ngerti?"
Tessa menggigit bibirnya. Ia menunduk, menahan perasaan pahit yang kembali mengalir di dadanya.
"Iya..." jawabnya pelan.
Rajata mendengus kecil, lalu membuka lemari mencari pakaian ganti. Tanpa banyak bicara, ia mengambil bantal dan selimut, lalu melemparkan ke arah sofa.
"Tidur yang bener. Jangan bikin gue tambah kesel."
Tessa hanya bisa diam, menatap punggung Rajata yang kini sudah masuk ke kamar mandi. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh satu per satu. Ia mencoba menenangkan diri.
"Sabar, Tess... ini cuma awal. Semua akan baik-baik saja."
***
Pagi itu, Reza akhirnya diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Meski kondisinya belum sepenuhnya pulih, ia memaksa diri untuk ikut mengantar jenazah Dimas dan Erna ke pemakaman. Ia merasa harus ada di sana, sebagai bentuk penghormatan terakhirnya.
Beberapa tetangga sudah berkumpul di rumah duka, menyampaikan belasungkawa. Namun bisik-bisik lirih mulai terdengar di antara mereka.
"Eh denger-denger... itu yang nabrak Bu Erna sama Pak Dimas ya?" bisik seorang ibu dengan nada penuh rasa ingin tahu.
"Katanya sih gitu... tapi nggak tau bener apa nggak," sahut yang lain.
"Eh... semalem si Tessa udah nikah ya sama anak laki-lakinya. Katanya sebagai bentuk tanggung jawab gitu? Bener nggak sih, Bu?" tanya seorang ibu muda dengan mata berbinar-binar, seolah berita itu terlalu panas untuk dilewatkan.
"Iya, saya juga denger gitu. Kata Pak RT ada laporannya ke kantor desa, bahkan udah ada surat resmi dari KUA segala," jawab seorang ibu tua, mengangguk mantap.
"Wah... beruntung juga ya si Tessa. Baru kehilangan orang tua langsung masuk ke keluarga kaya raya."
"Hmm... tapi kalau jadi yatim piatu dulu mah, apa enaknya Bu? Duit nggak bisa gantiin kasih sayang orang tua," timpal yang lain dengan nada sinis.
Tiba-tiba suasana jadi hening ketika seorang pria tinggi menjulang muncul di halaman rumah. Rajata.
Dengan setelan kemeja hitam sederhana, wajah tegasnya menambah kesan dingin. Kulitnya yang putih bersih kontras dengan rambut hitam legam yang disisir rapi. Alis tebal dan garis rahang tajamnya membuat beberapa ibu-ibu tak bisa menahan decakan kagum.
"Eh itu suaminya si Tessa? Buseeet... ganteng pisan... tinggi, putih, dadanya bidang... bibirnya tebal... alisnya tebal... Astaghfirullah...," bisik seorang ibu sambil menepuk mulutnya sendiri.
"Hus! Hus! Astaghfirullah ngomongnya!" tegur ibu yang lain, walaupun matanya tetap mengikuti langkah Rajata yang berjalan mantap ke arah Tessa dan Reza.
Aura dingin yang dibawa Rajata seolah membuat semua orang otomatis bungkam.
Suasana pemakaman terasa sunyi. Tessa berdiri di samping Reza dengan wajah pucat dan mata sembab. Rajata berdiri di belakangnya, sedikit menjauh, namun matanya terus mengawasi perempuan itu dengan tatapan yang sulit ditebak.
Setelah tanah terakhir ditutup dan doa selesai dipanjatkan, satu per satu pelayat mulai meninggalkan lokasi. Namun, bisik-bisik tetangga masih terdengar jelas di telinga Tessa.
"Itu suaminya Tessa kan? Kok kayaknya dingin banget ya... nggak keliatan kayak pengantin baru," bisik seorang ibu sambil melirik ke arah Rajata.
"Ya wajar, nikahnya aja katanya dadakan karena tanggung jawab... bukan karena cinta," timpal yang lain sambil menggeleng.
Tessa menggigit bibirnya, menahan diri agar air mata tak jatuh lagi. Ia tidak ingin terlihat rapuh di depan semua orang—terutama di depan Rajata.
Sindy, kakak ipar Reza. menghampiri Tessa dan menggenggam tangannya hangat. "Kuat ya, sayang... semua ini nggak mudah, tapi kamu harus tegar. Ada kami di sini," bisiknya sambil memeluk Tessa.
Tessa hanya bisa mengangguk pelan.
Rajata yang melihat itu tetap diam. Ia hanya memasukkan kedua tangannya ke saku celana, wajahnya tanpa ekspresi. Namun jauh di dalam hatinya, ada rasa tidak nyaman melihat perempuan itu menangis terus-menerus sejak kemarin.
"Udah selesai kan? Ayo pulang sekarang," ucap Rajata tiba-tiba dengan nada dingin.
Tessa yang masih duduk di sisi pusara mendongak pelan, matanya sembab, bibirnya bergetar menahan tangis. Namun, ketika pandangan mereka bertemu, tatapan Rajata yang sedingin es membuatnya buru-buru menunduk lagi. Ada rasa sakit yang menusuk di dadanya, membuatnya hampir tak sanggup bernapas.
"L-lo duluan aja..." ucapnya lirih. Suaranya nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat langkah Rajata terhenti sejenak.
"Gue... gue masih mau di sini."
Rajata menatapnya tajam. Sekilas, ada sesuatu di sorot matanya—entah itu amarah, rasa bersalah, atau hanya ketidakpedulian murni. Ia menarik napas panjang, lalu memasukkan kedua tangan ke saku celana.
"Terserah lo," jawabnya akhirnya. Suaranya rendah tapi tetap dingin, tanpa sedikit pun nada simpati.
Tanpa berkata lagi, Rajata berbalik dan berjalan pergi meninggalkan Tessa sendirian di pemakaman yang mulai sepi. Langkahnya terdengar mantap, bergema di jalan tanah yang masih basah setelah diguyur hujan semalam.
Tessa menggigit bibir, air mata kembali membasahi wajahnya. Ia memeluk lutut, mencoba menahan sesak di dadanya. "Kenapa rasanya sakit banget...? Papa, Mama... Tessa harus kuat, kan? Tapi kenapa rasanya kayak ditinggal lagi..." bisiknya lirih.
jangan2...
kasihan, malang benar nasibmu Tessa