NovelToon NovelToon
Istri Bar-bar Ustad Tampan

Istri Bar-bar Ustad Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Kehidupan di Kantor / Identitas Tersembunyi
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Aku ingin kebebasan.

Aku ingin hidup di atas keputusanku sendiri. Tapi semua itu lenyap, hancur… hanya karena satu malam yang tak pernah kusangka.

“Kamu akan menikah, Kia,” kata Kakek, dengan suara berat yang tak bisa dibantah. “Besok pagi. Dengan Ustadz Damar.”

Aku tertawa. Sebodoh itu kah lelucon keluarga ini? Tapi tak ada satu pun wajah yang ikut tertawa. Bahkan Mamiku, wanita modern yang biasanya jadi pembelaku, hanya menunduk pasrah.

“Dia putra Kiyai Hisyam,” lanjut Kakek.
“Lulusan Kairo. Anak muda yang bersih namanya. Cermin yang tepat untuk membasuh aib keluargamu.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 10

Kafe di sudut kota itu tampak sepi sore itu. Langit mendung, seolah ikut menyimpan rahasia dua orang yang duduk di meja pojok menghadap jendela besar.

Kia mengenakan hoodie hitam dan celana jeans penampilannya sama sekali tidak mencerminkan calon pengantin. Sementara Ustadz Damar, dengan kemeja putih dan kopiah kecil, duduk tenang dengan secangkir teh di depannya.

Kia menghela napas panjang. Tatapannya lurus ke luar jendela.

“Aku nggak mau ada acara apapun. Nggak perlu lamaran adat, nggak usah pengajian, nggak usah siraman, nggak usah resepsi. Aku cuma mau ijab kabul. Itu aja. Satu-satunya hari di mana aku bakal pakai hijab, cuma hari itu.”

Ia menatap Damar, menunggu respons. Suaranya terdengar seperti pernyataan, bukan permintaan. Tapi ada nada lelah dan getir di balik sikapnya yang seolah tak peduli.

Ustadz Damar diam sejenak. Tak ada kejut atau protes di wajahnya, hanya sorot mata dalam yang mencoba memahami.

“Pernikahan itu bukan soal seremonial, Kia. Tapi soal komitmen. Kalau kamu ingin memulai dengan cara yang kamu yakini paling ringan untukmu, aku tidak akan keberatan. Tapi... hijab itu bukan buat manusia lain. Itu simbol bahwa kamu menyerahkan hatimu pada Allah, bukan pada Damar.”

Kia tersenyum miring. Matanya berkaca-kaca, entah karena marah atau takut.

“Aku tahu. Tapi aku belum siap untuk semua itu. Aku... belum siap jadi seperti yang orang-orang inginkan. Bahkan jadi istrimu pun aku masih belum yakin itu hal benar atau nggak.”

Ustadz Damar mengangguk pelan. Tak ada paksaan. Tak ada nasehat panjang. Hanya satu kalimat pendek.

“Tak apa. Kadang, jalan menuju kebaikan itu bukan langsung lurus. Kadang harus kita tapaki dalam ragu, sambil tetap melangkah.”

Tiba-tiba suara pintu kaca terbuka keras. Bu Silviana dan Tuan Besar Narendra Kazehaya melangkah cepat mendekat ke meja mereka. Raut keduanya tegang, seolah sudah tahu apa yang dibicarakan.

Bu Silviana dengan suara tinggi yang tiba-tiba muncul karena sedari tadi diam-diam mengikuti Kia hingga ke kafe.

“Jadi benar, Kia?! Kamu minta akad nikah seperti kawin lari? Kamu pikir kamu siapa? Kami ini keluarga Kazehaya!”

Tuan Besar Narendra bersuara berat, dingin, “Perempuan seperti kamu seharusnya tahu malu. Bahkan untuk menikah saja kamu tak mau menunjukkan kehormatan keluarga? Hanya ijab kabul? Tanpa hijab kecuali satu hari? Apa yang kalian pikirkan?!”

Kia berdiri, tapi tak melawan. Justru Damar yang menenangkan suasana.

Ustadz Damar terlihat cukup tenang,

“Maafkan saya, Tuan Besar. Tapi saya menghormati permintaannya. Kia bukan sedang merendahkan keluarga. Dia hanya mencoba bertahan. Dan saya memilih memulainya dari yang dia sanggupi. Biar sedikit, asal tulus.”

Bu Silviana mengepalkan tangan. Matanya memerah menahan malu dan marah.

“Kamu pikir ini dakwah? Ini kemunduran! Membiarkan cucu kami seenaknya mempermainkan agama dan pernikahan!”

Kia memotong, suaranya pelan tapi jelas.

“Aku nggak mempermainkan apa pun, Mami. Justru ini pertama kalinya aku jujur. Aku akan datang besok, pakai hijab, ijab kabul, jadi istri ustadz. Tapi jangan minta lebih karena aku belum bisa.”

Senja berubah gelap. Di luar jendela, lampu jalan mulai menyala. Sore itu bukan perpisahan. Tapi itu pernyataan akhir dari Kia sebelum dia melepaskan gengsi, keluarga, dan mungkin dirinya sendiri.

Malam menyelimuti rumah besar keluarga Kazehaya. Lampu-lampu redup, lorong terasa panjang dan sunyi. Semua orang tampaknya sudah tidur kecuali Kia.

Di dalam kamarnya, Kia duduk di depan cermin rias. Sebuah kerudung putih sederhana terlipat rapi di meja. Ia menatapnya seperti menatap sesuatu yang asing. Tangannya gemetar saat menyentuh kain itu, lalu menariknya pelan, mendekatkannya ke wajah.

Tatapan di cermin itu bukan Kia yang biasanya. Bukan gadis yang suka bertingkah cuek, berpakaian seenaknya, atau tertawa keras di tengah keramaian. Gadis di cermin itu terlihat takut. Terlihat ragu.

“Besok aku istri seorang ustadz. Ustadz...”

Ia tertawa hambar, tanpa suara. Matanya berkaca.

“Dan aku… bahkan belum tahu caranya shalat lengkap. Aku bahkan belum bisa jatuh cinta lagi setelah semua yang pernah menyakitiku.”

Ia meraih kerudung itu. Mendekatkannya ke kepala. Mencoba mengenakannya. Tapi tangannya berhenti di tengah jalan.

“Kenapa rasanya... kayak bukan aku?”

Ketukan pelan terdengar di pintu. Tak keras, hanya seperti sentuhan halus dari dunia luar yang Kia coba hindari.

Terdengar suara dari luar, “Kia... ini Mami.”

Kia tak menjawab. Ia buru-buru menurunkan kerudung dari kepala, menyeka matanya, lalu berjalan ke arah pintu. Tapi ia tak membukanya.

“Aku tahu kamu belum siap, Nak. Tapi setidaknya, beri sedikit penghormatan pada dirimu sendiri. Kamu bukan perempuan gagal. Kamu perempuan yang sedang bertumbuh.”

Tak ada respons, Kia hanya diam.

“Besok Mami nggak akan ganggu. Kalau kamu mau pakai hijab cuma satu hari, Mami terima. Tapi pakailah dengan sadar, bukan karena paksaan, bukan karena taruhan dengan hidup.”

Langkah kaki menjauh. Suasana hening kembali. Kia menatap cermin sekali lagi. Ia menatap matanya sendiri dalam.

Perlahan, dia kenakan hijab itu. Tidak sempurna. Tidak juga percaya diri. Tapi ada usaha di sana. Ada niat kecil yang mulai tumbuh. Walau mungkin akan goyah besok pagi.

Ia berbisik pada dirinya sendiri, “Besok… aku akan jadi istri. Aku nggak tahu berapa lama bisa bertahan. Tapi setidaknya aku akan datang.”

Di malam yang sunyi itu, tidak ada denting piano, tidak ada pesta, tidak ada senyum. Hanya ada satu perempuan yang sedang mencoba berdamai dengan masa lalunya agar bisa melangkah ke masa depan, walau pelan dan ragu.

Pagi itu, halaman dalam rumah keluarga besar Kazehaya tidak dihiasi bunga mahal atau panggung resepsi megah. Hanya sajadah putih, kursi kayu panjang, dan cahaya matahari yang jatuh perlahan melalui tirai bambu.

Semua sesuai permintaan Kia sederhana, hanya akad nikah. Tapi aura tegang menggantung, karena semua tahu ini bukan pernikahan biasa.

Ustadz Damar Faiz Alfarez duduk bersila di hadapan penghulu. Wajahnya bersih, teduh, dan tenang. Sorot matanya tak goyah sedikit pun. Ia mengenakan koko putih gading dan sarung tenun khas Indonesia.

Di sisi kanannya duduk Kiyai Hisyam, ayahnya, tokoh pesantren yang dihormati, dan Nyai Kalsum, ibunya, yang tampak gelisah namun khidmat. Tak jauh dari mereka, Darwis, kakak Damar yang berperawakan tegas, menyilangkan tangan di dada, tak bisa menyembunyikan rasa penasaran.

Di sisi keluarga perempuan, Tuan Besar Narendra Kazehaya duduk dengan tenang namun penuh kebanggaan tersembunyi. Bu Silviana, sang Mami yang awalnya menentang pernikahan ini, tampak ragu. Kia sendiri duduk di balik tirai putih, tak menampakkan wajahnya, hanya diam dan mendengar.

Pagi itu, suasana rumah keluarga Kazehaya terasa berbeda. Tak ada dekorasi mewah. Tak ada musik pesta. Seperti permintaan Kia, sederhana, hanya ijab kabul. Tapi aura sakral dan eksklusif tak bisa dihindari karena semua orang penting dalam hidup Kia dan Damar hadir di sana.

Kia duduk bersila di ruang khusus perempuan, berjeda beberapa meter dari ruang utama akad. Wajahnya tenang, walau jantungnya berdetak tak beraturan. Hijab putih sederhana membingkai wajahnya untuk pertama kalinya dalam hidup.

Di ruang utama, Ustadz Damar duduk bersila, mengenakan sarung tenun dan baju koko putih bersih. Di sampingnya, sang ayah Kiyai Hisyam, seorang ulama kharismatik dengan sorot mata teduh. Nyai Kalsum, ibunya, duduk diam sambil menggenggam tasbih kecil. Dan di sisi lain, kakak laki-lakinya, Darwis, mengenakan jas formal, tampak agak tegang.

Di barisan keluarga perempuan, Tuan Besar Narendra Kazehaya duduk dengan postur bangga, namun penuh pengamatan. Bu Silviana, anggun dengan kebaya modern, menyembunyikan kegugupan dengan ekspresi datar. Tapi matanya tak lepas dari wajah calon menantunya.

---

Penghulu memulai acara, “Saudara Damar Faiz Alfarez bin Hisyam, apakah mahar yang saudara siapkan untuk pernikahan ini?”

Semua mata tertuju pada Damar. Ia mengangguk pelan, lalu memberi isyarat kepada seseorang di belakang. Seorang pria datang membawa kotak beludru hitam, kecil tapi mencolok karena kesederhanaannya.

Damar membuka kotak itu di hadapan semua saksi. Dan sunyi seketika.

Di dalamnya, sebuah cincin berlian bertakhtakan potongan oval elegan, berkilau tajam terkena pantulan cahaya pagi.

Desainnya klasik namun mahal, tidak tampak norak ataupun mewah berlebihan justru menunjukkan ketelitian dan niat.

Nyai Kalsum berbisik nyaris syok, “Allahu… Faiz... dari mana kamu bisa…”

Kakaknya Darwis nyaris berdiri, “Faiz, ini cincin... kau pikir kami tidak tahu harganya?”

“Masya Allah... ini berlian sungguhan?” tanyanya Bu Silvia yang tak menyangka calon menantunya bisa membelinya.

Kiyai Hisyam perlahan, menatap putranya, “Ini… bukan main-main, anakku.”

Tuan Besar Narendra (senyum kecil, bangga, “Luar biasa…”

Damar Faiz tersenyum tenang. Tidak jumawa, tapi jelas terlihat bahwa dia sudah mempersiapkan momen ini sejak lama.

“Saya sadar, saya bukan dari keluarga besar. Saya tidak punya warisan, tidak pula nama besar. Tapi saya ingin Kia tahu dia bukan sedang menikahi seorang ustadz yang cuma bisa bicara. Tapi laki-laki yang tahu bagaimana menghormati perempuan, bahkan dari sejak mahar pertama.”

“Cincin ini saya beli dari hasil menyisihkan beasiswa saya di Kairo, dari setiap honor khutbah dan ceramah saya. Tidak ada sponsor, tidak ada utang. Ini... bersih, seperti niat saya menikahinya.”

Semua seperti terpukul diam. Bahkan Bu Silviana tak mampu membalas. Nyai Kalsum meneteskan air mata kecil bukan karena cincin itu, tapi karena dia baru menyadari betapa diam-diam anaknya tumbuh dengan hati yang dalam dan niat yang besar.

-Prosesi Ijab Kabul:

“Saudara Damar Faiz Alfarez bin Hisyam, saya nikahkan engkau dengan kia Eveline Kazehaya binti Narendra Kazehaya, dengan mahar berupa cincin berlian yang telah disebutkan, tunai karena Allah Ta’ala.”

Damar Faiz dengan suara mantap, mata menunduk mengucapkan ikrar janji suci.

“Saya terima nikahnya Kia Eveline Kazehaya binti Narendra Kazehaya, dengan mahar tersebut, tunai karena Allah Ta’ala.”

Para saksi berseru lantang, “Sah. Sah.”

Dari balik tirai, Kia menunduk, kedua tangannya gemetar di atas pangkuan.

"Apa yang kulakukan dengan laki-laki seperti ini...? Yang tak pernah berusaha menjatuhkanku, tapi pelan-pelan membuatku merasa tak pantas menundukkannya."

Dan untuk pertama kalinya sejak awal hidupnya yang liar dan penuh amarah, Kia menangis. Bukan karena disakiti. Tapi karena dihormati.

1
Purnama Pasedu
ustadz bisa ae
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: pintar gombal yah 🤭🤣
total 1 replies
Purnama Pasedu
iya kia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭
total 1 replies
Purnama Pasedu
tapi kadang tempat kerja ngelarang pakai hijab ya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: iya kakak tergantung dari peraturan perusahaan
total 1 replies
Purnama Pasedu
bisa ae pak ustadz
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: pak ustadz gaul 😂
total 1 replies
Purnama Pasedu
masih galau ya kia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭
total 1 replies
Purnama Pasedu
aamiin
Purnama Pasedu
pasangan yg kocak
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak masih setia baca 🙏🏻🥰
total 1 replies
Purnama Pasedu
kia terlalu keras ya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: sabar kak ujian sang ustadz tapi nanti dapat hidayah kok 🤣🤭
total 1 replies
Purnama Pasedu
si kakek
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: ulah kakeknya akhirnya gol 🤭🤣
total 1 replies
Purnama Pasedu
kia jadi diri sendiri aj,perlahan aj
Eva Karmita
semangat otor 🔥💪🥰
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Alhamdulillah makasih banyak kakak
total 1 replies
Eva Karmita
semangat ustadz... yakinlah Allah selalu ada untuk umatnya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: betul kak
total 1 replies
Purnama Pasedu
nyimak
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: semoga suka
total 1 replies
Purnama Pasedu
koq sedih ya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: jangan sedih kak 🤭🙏🏻
total 1 replies
Eva Karmita
Thor bisa ngk bahasa kia kalau ngomong sama yg lebih tua sopan sedikit jgn pakai bahasa Lo gue , maaf sebelumnya bukan mengkritik otor cuma gak ngk enak aja di baca bahasanya bisa diganti aku atau apalah ... sebelum mohon maaf ya ,, ceritanya bagus tetapi semangat Otor 🙏😊
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: belum saatnya kak kan gadis bar-bar tomboy liar dan pembangkang 🤭🙏🏻
total 1 replies
Eva Karmita
keren pak ustadz 😍😍😍
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: ustadz idaman yah kakak 🤭
total 1 replies
Eva Karmita
langsung kena mental si Kia 😩👻🙈
kia ni ustadz bukan kaleng" kia jdi ngk udah banyak drama 🤣🤣🤣🤣
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭🤣
total 1 replies
Eva Karmita
❤️
Eva Karmita
lanjut thoooorr 🔥💪🥰
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: insha Allah besok kakak... karena aku di tetangga juga nulis di sana ☺️🥰
total 1 replies
Eva Karmita
mampir otor 🙏😊
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak 🙏🏻🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!