NovelToon NovelToon
BATAL SEBELUM SAH

BATAL SEBELUM SAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta setelah menikah / Konflik etika / Pernikahan Kilat / Cinta Seiring Waktu / Keluarga
Popularitas:152k
Nilai: 5
Nama Author: Nana 17 Oktober

"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:

“Sah.”

Namun sebelum suara itu terdengar…

“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”

Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.

Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.

Siapa dia?

Istri sah yang selama ini disembunyikan?

Mantan kekasih yang belum move on?

Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?

Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.

Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

29. Diharamkan

Di sisi lain ranjang, Kanya hanya diam.

Tak satu pun kata keluar dari mulutnya.

Namun sorot mata beningnya di balik cadar, terarah ke punggung pria yang menyandang status suaminya.

Masih jelas dalam ingatannya...

Aroma parfum wanita lain.

Wangi manis yang bukan miliknya.

Samar bau alkohol, mengingatkannya pada orang mabuk yang pernah ia temui saat berjalan dengan ayahnya di malam hari.

Dan noda lipstik tipis… di kerah baju suaminya.

Namun entah mengapa... hatinya menolak membenci.

“Entah kenapa aku percaya... dia tak akan melewati batas. Tapi perasaan macam apa ini?”

Suara batinnya lirih, gamang oleh keraguan.

“Tapi... bagaimana kalau dia benar-benar melakukannya? Dan semua itu karena aku...”

Kanya menelan napasnya sendiri. Sebuah kecemasan menjalar pelan di dadanya.

“Tidak. Tidak. Aku yakin... suamiku bukan pria yang seperti itu. Bukan tipe yang mencari pelampiasan di luar.”

Ada ketakutan yang mengintip, tapi ia terus mencoba percaya.

Bahwa suaminya... tidak akan melewati batas.

Matanya terpejam perlahan.

Dan dalam diam, ia memanjatkan doa, tak bersuara… hanya hati yang bicara:

“Ya Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang...

Yang Maha Membolak-balikkan hati manusia...

Jika memang kami ditakdirkan bersama, maka bukalah hati suami hamba…

untuk menerima hamba dalam hati dan hidupnya. Jauhkan dia dari segala kemaksiatan, Ya Rabb.”

Matanya telah terpejam, namun kantuk tak juga datang. Jantungnya berdetak gelisah, dadanya sesak oleh perasaan bersalah yang tak bisa ia redam.

Ia tahu... dirinya berdosa. Menolak menunjukkan wajah pada suaminya. Menolak menyentuh dan disentuh. Menolak menjalankan hak dan kewajiban yang melekat dalam akad suci itu.

Tapi...

"Bagaimana mungkin aku menyerahkan diri sepenuhnya pada lelaki yang menikahiku bukan karena cinta?"

Pernikahan ini hanya tentang ambisi. Tentang tanggung jawab dan harga diri, bukan tentang kasih.

Dan lebih dari itu… Ia tahu persis siapa yang ada di hati suaminya. Friska.

Bukan dirinya.

"Kami adalah dua orang asing yang dipaksa dekat dalam satu ikatan suci. Terlalu cepat. Terlalu asing. Terlalu banyak luka."

Tapi… tak seharusnya ia menolak disentuh. Agama yang ia peluk telah menjelaskan dengan jelas: haram hukumnya menolak suami tanpa alasan syar’i.

Dan ia tahu… alasan yang ia pegang selama ini bukan alasan syar’i. Itu berarti, ia berdosa.

"Aku harus memilih... antara hatiku, atau Tuhanku."

Kanya menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup di dadanya yang tak karuan. Jarinya mengepal di balik selimut. Tubuhnya mungkin diam, tapi pikirannya gemuruh.

"Apa gunanya aku mengaku Muslim...

jika pada akhirnya aku lebih membela egoku

daripada ketaatan pada-Nya?"

"Apa artinya iman...

jika aku hanya patuh saat tidak tersakiti?"

Lalu, nyaris seperti bisikan dari dasar hatinya, yang merintih dalam gelap, ia berkata pelan.

Namun cukup jelas untuk didengar.

“Jika... dengan melihat wajahku… dan… menyentuhku... bisa membuatmu belajar mencintaiku... maka lakukanlah.”

Kalimat itu jatuh lirih, tapi menghantam udara seperti batu dilempar ke danau yang tenang.

Degup jantungnya seakan pecah. Wajahnya panas. Tapi ia tetap diam, tak menarik ucapannya kembali.

Hening sesaat. Panjang.

Kian, yang ternyata belum tidur, membuka mata perlahan. Ia membalikkan tubuh, menatap Kanya dengan sorot tajam, nyaris sinis.

“Apa aku nggak salah dengar?” tanyanya datar. Nada suaranya tenang, tapi dingin dan penuh ejekan yang samar.

Kanya membuka mata, menatap mata suaminya meski wajahnya tetap tertutup cadar. “Nggak. Kau nggak salah dengar,” ucapnya pelan, namun jelas. Tegas.

Kian tertawa pelan, seperti menertawakan sesuatu yang konyol. “Kenapa? Baru sadar kau sedang berdosa karena menolak suamimu? Takut aku cari pelampiasan dan kau yang menanggung dosanya? Atau... takut aku gak akan pernah mencintaimu?”

Kanya menghela napas, mencoba tetap tenang. “Aku hanya takut berdosa... meski aku tahu, mungkin di matamu aku tak lebih dari pemuas nafsu, bukan rumah.”

Untuk sesaat, Kian terdiam.

Lalu senyumnya perlahan terbit, sinis, tipis, dan menyakitkan.

“Sayang sekali,” gumamnya pelan. “Sejak awal... aku bahkan nggak tertarik melihat wajahmu. Apalagi menyentuhmu.”

Ia mendekatkan wajahnya. Bukan untuk menatap, melainkan untuk menyudutkan, dengan kalimat yang lebih tajam daripada pisau.

“Jadi... kalau kau benar-benar ingin kulihat, atau kusentuh... buktikan kau layak.

Tapi tetap dengan caramu,” lanjutnya. “Jangan buka cadarmu... sampai aku sendiri yang memintanya.”

Setelah itu, Kian membalikkan badan. Membelakanginya lagi.

“Sampai hari itu datang… atau sampai semua ini berakhir, aku haramkan kau membuka cadar di hadapanku. Tanpa izinku, haram bagimu menampakkan wajahmu padaku. Bahkan sekadar berniat pun, jangan berani.”

Kanya membeku.

Tak ada satu pun suara keluar dari bibirnya. Tapi dadanya bergemuruh—seperti badai yang merobek bagian dalam dirinya.

Kata-kata itu… seperti petir yang menyambar harga diri.

Bukan karena kerasnya suara Kian, tapi karena maknanya, tajam, dingin, menusuk lebih dalam dari pisau mana pun.

Bukan hanya ditolak. Ia dijatuhkan.

Diharamkan untuk terlihat.

Dianggap tak layak disentuh, bahkan dipandang.

Seolah... ia makhluk najis yang tak layak dilihat.

Seolah... wajahnya adalah aib.

Seolah... keberadaannya sendiri adalah kesalahan.

Namun ia tetap diam.

Perlahan, Kanya menunduk.

Ia seperti dilempar ke dalam jurang tanpa dasar. Bukan oleh tangan, tapi oleh ucapan, yang jauh lebih menyakitkan.

Tak pernah... tak pernah sekalipun ia membayangkan akan diperlakukan seperti ini oleh suaminya sendiri. Bahkan saat ia tahu pernikahan mereka bukan karena cinta, ia tetap menyimpan secercah harapan... bahwa mungkin, waktu bisa melembutkan segalanya.

Tapi kalimat tadi, melenyapkan semua harapan itu.

Tangannya yang semula gemetar kini mengepal di atas selimut. Ia memejamkan mata rapat-rapat, mencoba menahan sesuatu yang menggumpal di dadanya, sesak, getir, dan hangat di sudut mata.

“Kenapa aku harus merasa hina... hanya karena mencoba menerima dan mencintaimu dalam diam?”

Kalimat itu tak pernah diucapkan. Hanya dipeluk dalam hati.

“Kenapa aku harus merasa rendah... hanya karena berusaha menjadi istrimu?”

Kanya menarik napas panjang. Menghembuskannya pelan-pelan, seolah mencoba menyusun ulang keping-keping hatinya yang tercerai.

Namun dalam diamnya, ia mulai sadar, mungkin luka ini bukan hanya tentang harga diri yang dijatuhkan,

tapi tentang ego... yang sama-sama saling melukai.

Suaminya bersikap demikian bukan karena benci,

melainkan karena egonya yang terusik.

Dan semua itu... mungkin bermula dari dirinya.

Dari penolakannya.

Dari keengganannya disentuh, bahkan sekadar dilihat, hanya karena ia merasa tak dicintai.

"Dia pasti marah. Tersinggung. Atau mungkin... muak. Karena aku selalu menolak… bahkan sebelum ia meminta."

"Aku memang salah."

Tarikan napasnya berat. Seperti ada batu menggumpal di dadanya.

Sesak. Penuh penyesalan.

Wajahnya tertunduk. Matanya memerah. Tapi tak ada air mata yang jatuh.

Hanya diam… dan luka yang membeku.

Dalam hatinya, ia bergumam lirih:

"Ya Allah...

Jika memang hamba harus melalui pernikahan ini sebagai ujian,

Maka kuatkan hamba.

Jangan biarkan hamba membenci orang yang Kau takdirkan menjadi pemimpin hamba."

Ia memeluk dirinya sendiri di balik selimut.

Dan malam itu, Kanya menyadari satu hal yang menyesakkan:

Pernikahan bukan hanya menyatukan dua tubuh.

Kadang, ia justru memisahkan dua jiwa yang saling asing.

Dan Kanya tahu... mulai malam ini, bukan hanya wajahnya yang harus tersembunyi, tapi juga hatinya.

Hening menyelimuti kamar itu.

Sunyi yang lebih menusuk dari bentakan.

Tak ada lagi kata.

Hanya dua tubuh di ranjang yang sama...

Dengan hati yang lebih asing daripada dua orang yang tak pernah saling kenal.

 

Sementara itu, Kian memejamkan mata. Tapi pikirannya gaduh, kacau, terbakar dalam diam.

"Dia kira aku bernafsu padanya?

Dia pikir aku pria yang bisa menyentuh siapa saja semudah itu?

Dia terlalu meremehkan aku."

Dan untuk pertama kalinya...

Ia merasa bukan dilihat sebagai pria, melainkan sebagai ancaman.

...🌸❤️🌸...

Next chapter...

Saat sentuhan tangannya menyentuh kerah, merapikan dasi untuk terakhir kalinya, Kian akhirnya bicara, sinis, dingin, menyentil:

"Kenapa kau diam saja? Sakit hati dengan ucapanku semalam?"

To be continued

1
Siti Jumiati
Friska ketahuan kalau ada didalam kamar mandi
Cicih Sophiana
Friska knp gak pulang aja dari td malam... biar kamu ada jg Friska kan gak di anggap ada sama mereka... dari pada lebih sakit hati mending pulang istirahat...
Siti Jumiati
apakah Friska yang mengintip dibalik kamar mandi
Cicih Sophiana
Alhamdulillah Kian sdh sadar...
awas Kanya ada yg mengintip tuh... pasti dia penasaran liat wajah kamu yg di sembunyikan ternyata cantik pantas aja Kian memilih Kanya... itu Friska yg bilang
Cicih Sophiana
semoga tdk membahayakan nyawa Kian...
phity
sdh kublng kan friska mestiny smlam kmu pamit sj sm kanya ini msh bertahan sja tp ad bagusnya si kmu tau yg sebenarnya...smoga itu menyadarkanmu
asih
hancur sudah lah hatinya friska ..niat .au mencari yg lebih baik Dari Kian ehh malah KTM sama yg kayak ngono kasian Kali kau fris
anonim
Looooo...Friska kenapa masih di rumah sakit - menginap pula.
Rupanya Kanya salat subuh di masjid rumah sakit - makanya Friska berani mendekat berdiri di samping ranjang Kian yang masih terlelap.
Friska di kamar mandi ketika Kanya datang mendekati Kian yang mulai membuka mata. Friska di balik pintu kamar mandi bisa melihat wajah Kanya ketika pashmina pengganti cadarnya di lepas.
Kian menjelaskan kejadian sewaktu Friska tanpa ijin masuk dalam mobil pada Kanya - terjadi dialok terbuka yang tanpa mereka berdua sadari ada sepasang telinga yang mendengarkan. Baguslah - jadi lebih jelas sekarang hubungan suami istri - Kian dan Kanya bagaimana - Friska harus paham atas arti pembicaraan Kian dan Kanya.
Fadillah Ahmad
Lanjutkan Kak Nana... Pokoknya Sampai Kanaya Hamil Kak Nana... 🙏🙏🙏😁
Puji Hastuti
Lanjut kk
Puji Hastuti
Friska ternyata kamu bukan rumah bagi kian /Grin/
septiana
Alhamdulillah... sekarang mereka sudah saling terbuka.. untuk Friska,jadikan ini semua sebagai pelajaran semoga kamu segera mendapatkan jodoh yg terbaik.
far~Hidayu❤️😘🇵🇸
bukan juga .. alasannya akhlaknya Kanya..bukan kerana kecantikan isterinya semata-mata
Felycia R. Fernandez
setelah dihadang penjahat, setelah hampir meninggal...
hari ini mereka bisa bicara dari hati ke hati...
saling mencurahkan isi hati masing masing💓💖💕💗
Anitha Ramto
kasihan banget kamu Friska...dengar Pengakuan Kian pada Kanya yang sangat takut kehilangan Kanya,ternyata Kian hanya mengagumimu bukan mencintaimu,sekarang kamu dengar sendirikan kalo Kian dan Kanya saling nencintai dan mereka pasangan yang serasi,, Kanya ada apa yaaa sampe kaget begitu...

di gantung lagi nih sm kak Nana...
dan suara dering ponselnya si Ftiska dari kamar mandi wkwkwk
far~Hidayu❤️😘🇵🇸: baguslah biarkanlah dia tahu yg benar supaya dia berhenti menjadi pelakor
total 1 replies
Liana CyNx Lutfi
Nahkan sdh saling terbuka dan sdh saling mencintai,friska belajarlah dr kanya soal kesabaran dan keikhlasan jngn krn sakit hati trs mencari pelarian carilah yg bnr2 tulus menerima
Sri Hendrayani
ooh ketahuan deh
Upi Raswan
iiih thor..kenapa sih seneng banget bikin penisisriiin ..tapi gpp deh.selalu menunggu dengan setiaaah
Nana Colen
iiiiiieh ni greget da..... lanjut lagi dooong jangan gantung 🙏🙏🙏🙏❤❤❤❤❤
Hanima
lanjut kan Kak Nana...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!