“Jadi kapan internet saya aktif kembali? Saya tidak akan menutup teleponnya jika internet saya belum aktif!” hardik Peter.
“Mohon maaf Pak, belum ada kepastian jaringan normal kembali. Namun, sedang diusahakan secepatnya,” tutur Disra.
“Saya tidak mau tahu, harus sekarang aktifnya!” ucap Peter masih dengan nada tinggi.
Disra berniat menekan tombol AUX karena ingin memaki Peter. Namun, jarinya tidak sepenuhnya menekan tombol tersebut. “Terserah loe! Sampe bulu hidung loe memanjang, gue ladenin!” tantang Disra.
“Apa kamu bilang? Bisa-bisanya memaki pelanggan! Siapa nama kamu?” tanya Peter emosi.
Disra panik, wajahnya langsung pucat, dia melihat ke PABX-nya, benar saja tombol AUX tidak tertanam kebawah. Sehingga, pelanggan bisa mendengar umpatannya.
Gawat, pelanggan denger makian gue!
***
Novel pengembangan dari cerpen Call Center Cinta 🥰
Ikuti kisah seru Disra, yang terlibat dengan beberapa pria 😁
Happy Reading All 😍
IG : Age_Nairie
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon age nairie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30 Transphobia
Disra hanya menatap kagum pada Melvin. Baru kali ini dia bertemu dengan pemimpin yang sangat pengertian pada bawahannya.
“Namun, bukankah akan membuat celah, bagi karyawan yang nakal untuk memanfaatkan kebijakan mu?” tanya Disra.
“Ya, bisa menjadi celah. Sekali lagi, aku tak mempermasalahan dimanapun mereka kerja. Asalkan, tidak ada konflik antar karyawan dan tak mempengaruhi team work. Seandainya aku menemukan ketidakjujuran. Maka, tidak ada harapan lagi mereka bekerja denganku. Aku rasa, itu ganjaran yang pantas, karena aku merasa sudah memberikan kesejahteraan terhadap karyawanku,” jelas Melvin.
“Aku akan meminta Bambang atau Raska kembali seandainya kau tidak di sini. Tidak mungkin aku meminta Juli atau Razak yang datang. Kita lihat dulu prioritas mana yang lebih penting. Karena mempertimbangkan hal-hal seperti itu, aku membuat kebijakan bahwa harus ada minimal empat orang dalam satu tim. Dan dalam team, harus bisa saling backup,” tambah Melvin.
Disra hanya mengangguk, dia suka gaya bicara Melvin saat ini. Disra menoleh, melihat sekeliling lalu melihat arlojinya. Mereka sudah satu jam di tempat yang sama. Entah apa yang terjadi sehingga membuat jalanan begitu macet.
“Sudah satu jam,” gumam Disra.
“Apa kau ingin berjalan saja?” tawar Melvin.
“Apa? Jalan?” tanya Disra memastikan.
“Ya, berjalan. Sedikit menurunkan isi perut.” Mereka sudah cukup makan banyak saat di acara ulang tahun perusahaan klien.
Disra terlihat ragu, namun dia menganggukan kepalanya. Melvin dan Disra keluar dari mobil dan mulai menepi. Berjalan di pinggir jalan, tidak hanya mereka yang berjalan. Bahkan para penumpang bus juga ikut turun karena terlalu lama di dalam bus.
“Ada container terguling, tidak hanya satu tapi dua, dan ditambah kemacetan pada pintu masuk pelabuhan. Para mobil trailer yang membawa kontainer mengantri masuk ke pelabuhan. Antrian itu yang membuat kemacetan panjang,” ujar Melvin.
“Tahu dari mana?” tanya Disra bingung. Bahkan Melvin tak memegang ponsel yang bisa saja mencari berita di internet.
“Dari orang-orang,” jelas Melvin.
“Orang-orang?” tanya Disra semakin bingung.
Apa Melvin bisa meretas langsung ke otak manusia? Disra menggeleng kepalanya pelan, pikirannya terlalu jauh. Melvin bukan Edward Cullen yang bisa membaca pikiran orang lain.
“Ya, dua gadis yang berjalan di depan kita. Mereka sedang bergosip,” papar Melvin.
“Kau bisa bahas Thai?” tanya Disra melebarkan matanya. Dia tahu fakta Melvin bisa berbicara dalam beberapa bahasa. Namun, saat itu Melvin berbicara dengan bahasa Inggris, China dan Jepang.
“Ya,” jawab Melvin tenang.
“Lalu, mengapa kau tadi bercincang dengan klien menggunakan bahasa inggris?” tanya Disra. Namun, tatapannya jelas sekali dia kagum atas kecerdasan Melvin.
“Aku hanya membalas sesuai bahasa yang dia gunakan. Dia berbicara dalam bahasa inggris. Maka, akupun menjawabnya dengan bahasa inggris,” ujar Melvin. Dia menoleh menatap Disra, jelas sekali gadis itu kagum padanya. “Apa kau sekarang terpesona padaku? Jika kita menikah, aku yakin anak kita akan cerdas sepertiku. Aku bukan ingin bilang kau bodoh, tapi setidaknya sudah ada jaminan kecerdasan dari gen-ku,” imbuh Melvin bangga.
Disra seperti disiram air es yang sukses menyadarkan dirinya dari keterpesonaan sesaat terhadap Melvin. “Cih, sungguh narsis!” ejek Disra.
“Ada apa? Jelas sekali kau terpukau denganku? Aku tahu kau mengagumi ku,” timpal Melvin.
Disra mendecak, baru saja mengagumi pria itu. Sekarang, dirinya ditampar oleh kenarsisan pria itu. “Bukankah kau sudah berjanji untuk tak mendekatiku lagi? Kenapa sekarang seperti ini lagi? Bahkan merencanakan memiliki anak denganku!” dengus Disra meninggikan suaranya.
“Apa aku menggodamu? Apa aku memintamu menikah denganku? Tidak ada kalimat yang menuju aku mendekatimu. Aku hanya mengatakan ‘Jika kita menikah, aku yakin anak kita akan cerdas sepertiku.’ Itu ada kata ‘Jika’ yang bermakna pengandaian. Bukan berarti aku memintamu menjadi ibu dari anakku,” terang Melvin.
“Baiklah, baiklah. Kita lupakan saja.” Disra membuang muka, lebih memilih mengedarkan matanya ke jalan. Malam kian larut, mereka masih terus berjalan.
“Apa masih jauh menuju hotel?” tanya Disra.
“Sepertinya. Kita juga sulit jika menggunakan mobil. Masih tak bergerak, bahkan lebih parah dari sebelumnya. Aku harap, Juli bisa cepat sampai hotel. Dari Hotel ke bandara melalui jalan yang berbeda, kemungkinan tidak akan terkena macet,” tutur Melvin.
Tin! Tin! Klakson motor mengarah pada Melvin dan Disra. Seketika, Melvin menarik lengan Disra agar menepi. Dia khawatir Disra keserempet motor. Pengandara motor tersebut mencoba menyalip di tengah kemacetan.
Semakin ke pinggir, Melvin menggandeng tangan Disra untuk memimpin jalan. Begitu banyak pejalan kaki lainnya. Dia menoleh, tampak Disra yang mulai kelelahan.
“Kita istirahat dulu,” ujar Melvin.
“Ya,” jawab Disra.
Melvin memimpin jalan, Disra melihat sebuah restoran yang sangat ramai pengunjung, dia penasaran dengan restoran tersebut, terdengar sangat riuh keramaian. Kakinya tak sadar berhenti melangkah. Melvin merasakan Disra yang terdiam, dia menoleh pada Disra yang sedang menatap sebuah restoran.
Restoran dengan gaya bangunan terbuka. Siapapun bisa melihat dari luar. Disra mengerutkan dahinya. Banyak pengunjung yang datang, beberapa wanita cantik menggunakan pakaian s*ksi menari di depan pengunjung pria.
Disra menutup mulutnya saat melihat seorang pengunjung menyentuh aset kembar pelayan restoran itu. Tak tampak marah, pelayan restoran tersebut memberikan senyum manis pada sang pelanggan. Bahkan, sang pelayan restoran duduk dipangkuan sang pelanggan.
“S̄wạs̄dī s̄ud h̄l̀x,” sapa seorang pria berbahasa Thai yang berarti ‘Halo Tampan.’ Pria itu berbadan kekar berotot, mendekati Melvin secara tiba-tiba. “H̄yud doy,” sambung sang pria berotot dengan senyum lebar.
Pria kekar berotot dengan mengenakan rok pendek yang dipadukan dengan bikini yang menutup bagian dadanya. Sukses membuat Disra mengernyitkan dahinya. Terlebih pria tersebut melenggok sangat luwes bagai perempuan.
“K̄hxthos̄ʹ. K̄hxbkhuṇ,”ucap Melvin sopan yang berarti ‘Maaf. Terima kasih’. Dia menghindar dari sentuhan pria berotot tersebut. Lalu menarik lengan Disra untuk menjadi tamengnya. Ya, Melvin berdiri di belangkang Disra.
“Ayo kita pergi,” bisik Melvin pada Disra.
Melvin langsung menarik Disra untuk menjauh dari restoran itu. Bukan tak menghargai setiap perbedaan. Namun, Melvin memiliki phobia tersendiri terhadap pria kemayu yang lebih gemulai dari seorang wanita. Entah apa sebutan untuk pria tersebut, pria yang Melvin sendiri tak tahu mengidentifikasikan dirinya ke arah yang mana. Tampak secara fisik bagai pria tangguh. Namun, memiliki sikap gemulai bak seorang wanita, dan satu hal lagi. Mereka tertarik pada pria.
“Mau kemana? Tinggalah semalam denganku,” teriak sang pria berotot nan kemayu dengan bahasa Thai.
Melvin menggenggam tangan Disra semakin erat. Lalu menjauh dari restoran tersebut. Berjalan lebih cepat untuk segera pergi dari tempat itu. Dia bahkan tak mengindahkan teriakan dari pria berotot yang memanggilnya.
“Apa yang dia katakan?” tanya Disra penasaran. Mereka sudah menjauh dari restoran tersebut.
“Bukan apa-apa,” jelas Melvin.
Wajahnya sedikit pucat. Tangannya masih menggenggam erat tangan Disra seolah takut gadis itu meninggalkannya.
Disra memicingkan matanya. “Pria berotot nan gemulai tersebut, sepertinya menyukaimu,” ujar Disra menggoda.
“Jangan membicarakan itu lagi,” keluh Melvin dengan wajah yang masih pucat.
“Baiklah, baiklah. Tapi kenapa wajahmu pucat sekali?” tanya Disra menelisik wajah Melvin.
“Tidak apa-apa,” jawab Melvin.
Disra memicingkan matanya. “Apa kau transphobia?” tanya Disra.
dandan yg cantik, pake baju kosidahan buat Dateng kondangan Marvin /Facepalm/