Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Ngidam Mangga Muda
Mendapati Dion bercengkerama dengan dua wanita di teras rumah adalah pemandangan yang tak biasa bagi Juli. Ia sudah cukup lama tinggal bersama Dion di rumah kontrakan itu, tetapi belum pernah sekalipun melihat pemuda itu bergaul dengan perempuan.
Dion memang lebih banyak menghabiskan waktu luang dengan buku, komputer atau aktivitas fisik ketimbang bersosialisasi.
“Eh, ada tamu rupanya!” ujar Juli begitu tiba dari tempatnya mengajar. Ia adalah seorang guru di usia awal 30-an. Juli merasa senang dengan kedua tamu itu.
Dion segera berdiri dan memperkenalkan Wina serta Mbak Ria kepada Juli.
“Lho, kenapa tamunya nggak dikasih minum?” tegur Juli sambil melirik Dion yang hanya bisa nyengir.
“Lupa, Kak,” akunya jujur.
“Gak apa-apa, Kak. Kalau haus nanti juga ambil sendiri,” timpal Wina dengan senyum ramah.
Dion beranjak ke dalam dan kembali dengan teko berisi air putih serta dua gelas. Ia meletakkan semuanya di meja teras, lalu kembali duduk.
“Kalian silakan ngobrol, aku masuk dulu, ya. Paling-paling sebentar lagi pemanen mangganya datang,” Kak Juli undur diri karena memang harus melakukan pekerjaan dapur, seperti yang biasa ia lakukan setiap sore.
Matahari sudah condong ke barat ketika beberapa pria mulai berdatangan ke kebun mangga di depan rumah mereka. Dion yang melihat itu langsung menoleh ke arah Wina.
“Mereka sudah datang,” katanya, menunjuk ke arah kebun.
Wina dan Mbak Ria pun berdiri, mengikuti Dion mendekati para pekerja yang mulai sibuk.
“Bang, mau beli mangga,” ujar Dion kepada pria paruh baya bertubuh agak berisi yang tampaknya pemilik kebun.
“Boleh, Bang. Tapi tunggu sebentar, mangganya masih dipetik,” sahut pria itu ramah.
“Satu kilo berapa, Pak?” tanya Wina penuh minat.
“Murah aja. Dua ribu per kilo.”
Wina mengangguk, lalu melirik pohon mangga yang rimbun di hadapannya. Matanya berbinar ketika melihat satu buah berwarna kuning kemerahan yang tampak matang sempurna.
“Kalau panjat dan petik sendiri lebih murah, kan, Pak?” tanyanya, kali ini dengan ekspresi jenaka.
Pria itu sempat mengernyitkan kening, lalu menatap Wina dan Dion bergantian sebelum akhirnya tersenyum lebar. “Iya, lebih murah.”
Wina langsung menoleh ke Dion. “Ayo, panjat! Aku mau yang itu!” serunya, menunjuk ke arah buah yang diincarnya.
Dion mengusap tengkuknya, tak habis pikir kenapa harus dia yang memanjat padahal ada pekerja yang bertugas untuk itu.
“Ayolah, Bang! Nggak baik menolak permintaan seperti itu.” Pemilik kebun justru menimpali. Pria itu memberi dorongan agar Dion memanjat pohon mangga itu.“Pohon ini kuat. Asal jangan injak cabang yang kecil aja.”
Dion mengalah. Lagipula, dulu semasa kecil, memanjat pohon bukanlah hal asing baginya. Ia bahkan sering memanjat pohon kelapa yang tinggi sebelum akhirnya dilarang oleh orang sekampung karena tubuhnya yang besar membuat pohon bergoyang, dianggap berbahaya.
Setelah mencapai cabang yang cukup kuat, ia menggapai mangga yang diinginkan Wina dan melemparkannya ke bawah.
“Itu, yang di atasnya lagi!” seru Wina sambil memandu Dion dengan tunjukan jarinya.
Dion menurut, memetik satu mangga lagi dan melemparkannya dengan hati-hati. Namun, belum selesai, Wina kembali menunjuk satu buah mangga besar berwarna hijau yang letaknya lebih jauh.
“Itu juga!” katanya bersemangat.
“Tapi itu belum matang,” Dion protes.
“Aku tetap mau yang itu. Ayo, Dion, cari cara. Harus bisa!”
Sementara Mbak Ria tertawa geli, pemilik kebun menyodorkan galah pendek berujung pengait. “Pakai ini aja.”
Dion menerima galah itu sambil mengerutkan kening. “Kenapa nggak diambil galah panjang sekalian?” pikirnya. Tapi daripada berdebat, ia memakai alat itu untuk memetik mangga yang dimaksud.
Setelah beberapa buah berhasil dipetik, Wina kembali menunjuk mangga lain.
“Tapi itu di pohon lain,” kata Dion, mulai merasa ada yang tidak beres.
“Kalau begitu, pindah ke pohon itu,” sahut Wina ringan.
Dion melongo, sementara pemilik kebun dan pekerjanya menahan tawa. Bahkan Mbak Ria tampak semakin geli melihat kejadian ini.
“Pak, minta tiga kantung plastik boleh?” pinta Wina tiba-tiba.
Pria itu menyerahkan tiga kantung plastik besar, yang langsung diterima Wina dengan wajah puas.
Dion mulai merasa ada yang aneh. “Celaka, aku harus memenuhi semua kantung itu,” batinnya.
Namun, melihat wajah serius Wina, ia akhirnya menyerah. Dengan langkah berat, ia memanjat pohon lain dan kembali memetik buah.
Setelah beberapa waktu, ketiga kantung plastik itu pun penuh. Dion turun dari pohon terakhir sambil membersihkan diri dari serpihan daun dan semut yang menempel di pakaiannya.
“Ini sudah, Pak. Silakan ditimbang,” ujar Wina, membawa kantung plastik ke pemilik kebun.
“Sudahlah, dikira-kira saja,” sahut pria itu murah hati.
“Nanti rugi, lho, Pak,” timpal Dion sambil menyerahkan galah.
Salah satu pekerja mengambil timbangan, lalu menghitung berat mangga yang sudah mereka kumpulkan.
“Totalnya tiga belas kilo. Tapi anggap aja sepuluh kilo,” kata pria itu.
“Harga normal dua ribu per kilo, kalau petik sendiri diskonnya berapa?” tanya Wina dengan wajah penuh perhitungan.
“Lima belas ribu saja.”
Wina mengeluarkan uang dua puluh ribu rupiah, tetapi pria itu mengembalikan sepuluh ribu.
“Lho, kok malah dikembalikan lebih banyak, Pak?” tanya Wina bingung.
“Nggak apa-apa,” jawab pria itu.
“Terima kasih, Pak! Kami permisi,” kata Wina cepat-cepat.
“Sama-sama. Sehat selalu, ya!” sahut pria itu, melempar senyum penuh arti ke arah Dion.
Dion hanya bisa membalas senyuman itu dengan bingung. Saat masih berusaha membersihkan pakaiannya, Wina tiba-tiba mencolek tangannya.
“Dion, lain kali kita panjat pohon lain, ya?” katanya dengan nada menggoda.
Dion hanya bisa menghela napas—kali ini, ia yakin Wina benar-benar telah mengerjainya.
“Ayo lekas!” ajak Wina. Dion yang kemudian berusaha menyusul Wina dan menganggukkan kepala pada pemilik kebun.
...***...
Sesampainya di teras rumah, Dion yang tidak bisa menahan rasa penasarannya langsung meminta penjelasan pada Wina. “Ada apa sih? Kenapa cuma aku yang bingung sejak tadi?”
“Bingung apanya?” tanya Wina yang mulai menyortir buah-buah mangga itu bersama Mbak Ria di teras rumah kontrakan Dion.
“Kenapa bapak tadi baik sekali trus senyum-senyum gitu?” tanya Dion lagi.
“Oh!” seru Wina singkat lalu saling pandang dan tertawa dengan Mbak Ria.
“Kok, oh?” tanya Dion bingung.
“Bapak e ngira Mbak Wina lagi ngidam,” Mbak Ria yang menjawab menggunakan logat Jawa.
“Oh!” kali ini Dion yang menyahut singkat.
Pikirannya mulai merangkai sikap aneh sang bapak tadi yang bermula sejak Wina memintanya memanjat pohon mangga. Dion lalu tertawa sendiri. Wina dan Mbak Ria kemudian memandanginya heran.
“Telat banget!” ledek Wina lalu kembali tertawa bersama Ria.
“Kenapa mangganya dipisah jadi tiga bagian begini?” tanya Dion yang ingin membantu menyortir buah itu.
“Yang ini matang siap dimakan, yang ini setengah matang dan yang itu masih mentah,” terang Wina.
“Yang matang untuk di makan sekarang atau besok. Yang setengah matang untuk lusa dan yang masih mentah belakangan hari,” jelas Wina lebih lanjut.
Dion lalu mulai mengerti mengapa Wina memilih sendiri buah yang akan dipetik. Ia semakin kagum dengan gadis itu.
“Benar kata orang, wanita itu lebih pintar dari pria dalam banyak sekali hal,” ujar Dion dalam hati.
Wina memasukkan beberapa buah mangga yang sudah matang ke dalam kantung plastik dan beranjak menuju dapur menemui Juli.
“Kak, ini mangga yang baru dipanen,” Wina sambil menyodorkan mangga itu kepada Juli.
“Duh ini banyak sekali, terima kasih!” jawab Juli menerima pemberian Wina.
“Kalian makan malam di sini saja, ya!” ajak Juli.
“Wah, pasti enak nih! Tapi Dion sudah janji traktir bakso nanti malam,” sahut Wina.
Mendengar itu Juli merasa senang karena akhirnya Dion punya teman kencan.
Dari dapur, Wina muncul membawa piring dan dua bilah pisau.
“Sekarang kita makan mangganya. Kuliti sendiri ya!” ujarnya lalu menyerahkan satu piring dan sebilah pisau pada Mbak Ria.
“Lho kenapa pisaunya cuma dua?” protes Dion.
“Sabar toh, gantian! Ladies first!” jawab Wina lalu mulai menguliti mangga.
“Manis!” seru Wina setelah memamerkan mangga yang sudah ia kuliti dan potong pada Dion lalu memakannya membuat Dion menelan ludahnya sendiri.
Wina baru saja akan memakan potongan mangga berikutnya, tiba-tiba dengan cepat disambar oleh Dion.
“Gak sabaran amat sih!” protes Wina dengan mata membesar. Dion yang tak memedulikan kata-kata Wina langsung menelan potongan mangga itu.
Wina kembali menguliti mangga dan memotong dan memberikannya pada Dion. Antara senang dan gugup pemuda itu menyambut sodoran mangga dari tangan Wina.
Tentu saja mangga itu lezat. Tapi bagi Dion jauh lebih lezat karena ia menerimanya dari tangan Wina sendiri.
Melihat tingkah Dion dan Wina, Mbak Ria jadi malu lalu menoleh ke arah lain dan menikmati mangganya sendiri.