"Gue tahu gue salah," lanjut Ares, suaranya dipenuhi penyesalan. "Gue nggak seharusnya mengkhianati Zahra... Tapi, Han, gue juga nggak bisa bohong."
Hana menggigit bibirnya, enggan menatap Ares. "Lo sadar ini salah, kan? Kita nggak bisa kayak gini."
Ares menghela napas panjang, keningnya bertumpu di bahu Hana. "Gue tahu. Tapi jujur, gue nggak bisa... Gue nggak bisa sedetik pun nggak khawatir sama lo."
****
Hana Priscilia yang mendedikasikan hidupnya untuk mencari pembunuh kekasihnya, malah terjebak oleh pesona dari polisi tampan—Ares yang kebetulan adalah tunangan sahabatnya sendiri.
Apakah Hana akan melanjutkan balas dendamnya, atau malah menjadi perusak hubungan pertunangan Zahra dan Ares?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nunna Zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
"Lo istirahat aja dulu disini, nggak usah masuk kuliah dulu."
"Gue udah agak mendingan, gue mau masuk."
"Ck, lo bener-bener keras kepala ya!" Ares mendekat dan mengulurkan tangan, menyentuh kening Hana dengan perlahan. Sentuhan hangat jarinya membuat Hana sedikit terkejut, tapi ia tetap diam, membiarkan pria itu memeriksa suhunya.
"Hmm, masih agak hangat. Lo nggak bohong kan soal ngerasa mendingan?" tanya Ares sambil menatap langsung ke mata Hana, seolah mencari tanda-tanda kebohongan.
"Gue beneran udah mendingan," jawab Hana cepat, meskipun pandangannya sedikit menghindar. "Kalau terus-terusan di sini, gue malah tambah stres, tahu."
Ares menghela napas panjang, lalu menyilangkan tangannya di dada. "Lo ini tipe orang yang ngeyelan, ya? Kalau gue nggak jagain lo, mungkin lo bakal pingsan lagi di kampus."
"Makanya jagain aja terus, biar nggak kejadian," balas Hana sedikit menantang, meski ia sadar ucapannya itu keluar tanpa dipikir panjang.
"Wah, udah mulai berani nyuruh gue, ya? Tapi kalau itu maunya lo, gue sih nggak keberatan."
"Bu—bukan maksud gue gitu! Maksud gue..."
Belum sempat Hana menyelesaikan kalimatnya, Ares sudah berdiri dan meraih jaketnya. "Ya udah, ayok gue anterin lo ke kampus. Tapi lo janji, kalau ngerasa nggak kuat, langsung kasih tahu gue. Ngerti?"
"Lo gila, gimana kalau Zahra tahu lo semalaman sama gue. Enggak! Gue bisa berangkat sendiri."
"Ya udah kalau nggak mau, lo tetap tinggal disini. Istirahat!"
Belum sempat Hana membalas, Ares menatapnya dengan sorot mata tegas, tangannya masih memegang erat jaket. "Gue nggak bercanda, Hana. Kalau lo nggak mau gue anterin, fine. Tapi lo nggak ke mana-mana hari ini. Lo tetap di sini dan istirahat. Titik."
"Gue nggak butuh babysitter. Gue udah cukup kuat buat ke kampus sendiri!"
Ares mendekat, berdiri di depan tempat tidur dengan tubuh tegapnya, seperti seorang penjaga yang tak tergoyahkan. Suaranya tegas saat ia berkata, "Lo keras kepala banget, ya. Kalau gue biarin lo keluar rumah dalam kondisi begini, lo bisa tumbang lagi. Gue nggak mau ngambil risiko itu. Jadi, lo pilih: gue anterin, atau lo diem di sini."
Hana menyipitkan mata, rasa frustrasinya semakin meluap. "Siapa lo bisa ngatur-ngatur gue?"
Ares tak langsung menjawab. Ia mengalihkan perhatian, fokus mengenakan jaketnya dengan gerakan cepat, memperlihatkan ketegasan yang membuat Hana semakin kesal. "Denger, gue ke kantor dulu. Awas kalau sampai lo kemana-mana."
"Lo pikir gue anak kecil yang bisa lo suruh-suruh? Gue bisa jaga diri gue sendiri, Ares!"
Ares berhenti sejenak, menatap gadis keras kepala itu dengan tatapan serius yang membuat Hana merinding. "Dengerin kata-kata gue, atau lo bakalan gue hukum." Setelah mengatakan hal tersebut, pria itu melenggang keluar dari ruang perawatan Hana.
***
Hana berdiri di depan cermin kecil di kamar rumah sakit, mengenakan celana jeans dan kaus favoritnya dengan gerakan terburu-buru. Wajahnya masih pucat, tetapi semangatnya mengalahkan kondisi tubuhnya yang belum pulih sepenuhnya. Dengan suara penuh emosi, ia menggerutu, "Siapa lo berani-beraninya ngatur hidup gue? Nyokap bokap gue aja nggak lebay kayak lo."
Ia menarik napas panjang, merasa kesal pada Ares yang menurutnya terlalu ikut campur. "Persetan dengan Ares!" gumamnya dengan nada marah.
Setelah memastikan tidak ada perawat atau dokter yang memperhatikan, Hana berjalan cepat keluar kamar. Pandangannya waspada ke kanan dan kiri, memastikan jalan aman dari pantauan siapa pun. Sesampainya di pintu utama rumah sakit, ia berlari menuju halte terdekat untuk memesan ojek online.
Saat akhirnya sampai di rumah, Hana menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu. Kepalanya berdenyut pelan, tetapi ia memaksa diri untuk bertahan. "Dia pikir dia siapa? Gue bisa jaga diri sendiri," gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya bahwa keputusannya benar.
Tidak lama setelah ia mulai merasa nyaman di sofa, suara dering ponselnya memecah keheningan. Nama 'Demon' muncul di layar. Hana hanya mendengus dan memutuskan untuk mengabaikannya. Tetapi telepon itu tak berhenti berbunyi.
"Gila! Dia nggak bisa berhenti ngeganggu hidup gue, apa?" Hana beranjak dari sofa dengan frustrasi, lalu menolak panggilan dari Ares.
Namun, pesan singkat masuk tak lama kemudian:
"Lo nggak bisa kabur dari gue."
Hana membaca pesan itu sambil mengerutkan kening. “Orang gila,” gumamnya dengan nada sinis. Ia memutuskan untuk mematikan ponselnya, tak mau lagi mendengar dering telepon atau membaca pesan dari Ares.
Dengan tubuh yang masih terasa lemas dan kepala sedikit pusing, Hana merebahkan dirinya di sofa ruang tamu. Matanya menatap langit-langit dengan kosong, pikirannya berusaha mengabaikan segala hal yang berkaitan dengan Ares.
“Orang aneh,” Hana mengumam pelan.
Tubuhnya mulai terasa berat lagi. Ia menarik selimut kecil dari sandaran sofa dan menutup tubuhnya. Perlahan, kelopak matanya menutup. Suasana hening mulai membawa Hana masuk ke dalam tidur.
Namun, tidur itu tidak sepenuhnya nyenyak. Tubuhnya bergerak gelisah, mungkin akibat tubuhnya yang tidak benar-benar fit.
Di luar rumah, langit mulai berubah kelam. Hujan rintik-rintik turun, menciptakan suasana tenang sekaligus dingin. Hana terlelap, tidak menyadari bahwa seseorang sedang berdiri di sebelahnya, sambil menjulurkan tangannya yang besar ke dahi Hana. Sosok itu tidak lain adalah Ares.
“Gadis keras kepala,” gumamnya pelan, saat merasakan suhu tubuh Hana kembali naik.
"Han... bangun dulu, lo harus minum obat."
Hana menggeliat pelan, matanya masih terpejam rapat. Ia terlalu lelah untuk menyadari kehadiran seseorang di dekatnya. Suara hujan di luar menambah kantuk yang menyerang tubuhnya. Namun, sentuhan tangan hangat di dahinya membuat ia perlahan membuka mata.
“Ares?” gumamnya, suaranya serak dan lemah. Matanya mengerjap-ngerjap, mencoba memastikan bahwa sosok yang ada di hadapannya bukan bagian dari mimpinya.
“Lo panas lagi,” ujar Ares, khawatir, “Bangun sebentar, minum obat dulu.”
“Elo ngapain di sini?” Hana berusaha bangkit, tapi tubuhnya terasa berat. “Gue nggak butuh lo...”
“Jangan banyak omong,” potong Ares sambil menyelipkan bantal di belakang punggung Hana untuk menopangnya. “Lo keras kepala banget, ya. Bukannya istirahat di rumah sakit, malah kabur. Kalau gue nggak cek rumah lo, lo bisa tumbang sendirian di sini.”
Hana mendengus, tapi tak bisa membalas apa-apa. Ia hanya menatap wajah serius Ares yang kini sedang menuangkan obat ke dalam sendok. Cahaya lampu ruang tamu membuat wajah pria itu terlihat begitu dekat dan... hangat.
“Minum,” perintah Ares sambil menyodorkan sendok berisi obat.
“Gue bisa sendiri.”
“Ck, kalau lo bisa sendiri, lo nggak bakal sakit begini, cil.”
Dengan malas, Hana membuka mulutnya dan membiarkan Ares menyuapinya obat. Setelahnya, ia hanya duduk diam, menghindari tatapan pria itu.
“Lo...” Hana memanggil pelan, suaranya nyaris tak terdengar di tengah suara rintik hujan.
“Apa?” Ares menoleh, masih duduk di tepi sofa dengan tatapan penuh perhatian.
“Kenapa lo peduli banget sama gue?”
Ares terdiam sesaat, matanya menatap Hana yang lemah dengan sorot yang sulit diartikan. “Karena gue orang baik, gue nggak akan biarin orang mati karena demam."
Jawaban itu membuat Hana mendengus dingin, "percuma ngomong sama orang kayak lo." Cibirnya lalu merebahkan tubuhnya kembali di sofa. Namun, tak lama kemudian dia bangun kembali. "Lo masuk darimana? Bukannya tadi gue udah kunci pintu depan?"
Tuk!
Ares menyentil dahi Hana, "lo kunci dalam mimpi kali!"
"Hah?” Hana mencoba bertanya lagi, tapi Ares sudah lebih dulu menaruh jari telunjuknya di depan bibir Hana.
“Diam dan istirahat. Gue akan tetap di sini buat jagain lo, sampai lo beneran sehat,” ucap Ares lembut.
Karena tubuh Hana tak fit, gadis itu kehilangan tenaganya untuk mendebat Area. Dan untuk pertama kalinya, Hana hanya membiarkan dirinya bersandar dan terlelap kembali.
***
Meski Ares bukan tipe orang yang suka mencampuri urusan orang lain, melihat kondisi Hana yang demam tinggi, membuatnya tak tega. Ia mengompres dahi Hana yang panas dengan kain basah, berulang kali menggantinya ketika kain itu mulai hangat. Di luar, hujan turun sangat deras dengan petir yang sesekali menyambar, menciptakan suara gemuruh di atas atap yang terasa mencekam.
Ketika jam dinding menunjukkan hampir tengah malam, Ares berdiri dari sofa. Ia menghela napas panjang, matanya memandang Hana yang terbaring lemah di sofa panjang di ruang tengah. Wajah gadis itu tampak pucat, dengan butiran keringat yang terus muncul di pelipisnya. Ares tahu, ia harus pulang. Tapi saat ia hendak bangkit, suara kecil dari arah sofa menghentikan langkahnya.
“Riico…” Hana mengigau, suaranya serak dan pelan. Ares berbalik dengan cepat, mendekati gadis itu. Tubuhnya gelisah, tangan lemah Hana menggapai udara seakan mencari sesuatu. “Rico, jangan pergi… aku mohon…”
Nama itu membuat Ares terdiam. Ia tahu Rico—adalah nama almarhum kekasih Hana. Dan meski waktu terus berjalan, bayangan Rico tampaknya masih melekat kuat dalam ingatan Hana, terutama saat-saat seperti ini.
“Gue di sini,” bisik Ares pelan, mendekat dan menggenggam tangan Hana yang menggapai udara.
Ares duduk di lantai di samping sofa, menatap wajah Hana yang tampak damai meski raut gelisah masih sesekali muncul di sana. Ia tahu ia bukan siapa-siapa bagi gadis ini. Tapi di detik ini, melihat gadis itu serapuh ini, ia merasa ingin menjadi seseorang yang bisa menolongnya, meski hanya sedikit.
Hujan di luar semakin deras, menciptakan tirai air di balik jendela. Lagi dan lagi, Ares merasa tidak keberatan menghabiskan malamnya di sana, menjaga gadis itu lagi.
Bersambung....