Sepagi ini Adam Halilintar bersama pemuda desa sudah mangkal di depan sebuah Sekolah PAUD, demi melihat Ibu Guru Jingga, guru honorer di sekolah tersebut, kembang desa yang menjadi idaman dan rebutan para pemuda desa.
"Ibu guru datang," seru salah satu kawan barunya yang bekerja sebagai penadah aren.
Lalu dari balik semak, muncul seorang gadis yang ditunggu-tunggu sedari tadi.
Ketika lewat di depannya, matanya mengamati gadis itu dari atas ke bawah. Otaknya merespon dengan cepat informasi yang ditangkap matanya, spontan memberikan penilaian terhadap gadis itu.
Di bawah standar.
Hatinya mendongkol karena gadis yang ditunggunya ternyata jauh dibawah ekspektasinya.
Deretan wanita yang pernah jatuh ke dalam pelukannya, kelasnya jauh di atas wanita yang baru lewat tadi.
Bila ia turut menggoda Ibu Guru Jingga seperti pemuda desa, lantas berpacaran dengan gadis itu, maka akan menjadi pencapaian terburuk dalam sejarah percintaannya.
Ia yakin, dirinya akan menjadi bahan tertawaan dan bahan lolucon teman-temannya di kota.
Karena kenakalan Adam, ayahnya mengirimnya untuk belajar agama di sebuah desa. Di desa itu, ia menemui kehidupan yang jauh berbeda dari tempat asalnya.
Bagaimana petualangan cinta selanjutnya setelah ia tinggal di desa tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ina As, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Namamu Cinta
Senang melihat Jingga susah.
Baginya ini adalah peluang langka yang harus dimanfaatkan.
"Bagaimana kalau aku bonceng kamu pulang ke kampung? Nanti aku kembali lagi ke sini dengan Jusman membawa motormu ke bengkel. Kamu tunggu aja sepeda motormu di rumah. Nanti aku balikin setelah dari bengkel," tawarnya penuh harap.
Kapan lagi bisa membonceng Ibu Guru Jingga?
Tentu Jingga akan memeluknya saat berboncengan. Dengan demikian, raganya yang sudah sedemikian lama menggigil, bisa terhangatkan.
Namun Jingga tetap Jingga. Pemilik nama peleburan warna merah dan kuning itu disaat sulit pun tidak memberi kemudahan.
Tetap menyulitkannya.
"Terima kasih, tidak perlu," sahut wanita itu.
Jingga menuntun sendiri sepeda motor dengan mesin menyala. Berjalan di bawah terik matahari menuju bengkel yang ditunjukkan seorang pengunjung pasar. Bahkan Jingga tidak peduli dampak sinar UV terhadap kulit cerah sang gadis.
Ibu Guru itu menggusarkan sekali.
Lagi-lagi ia mengikuti Jingga dengan berjalan kaki. Meninggalkan sepeda motor milik Jusman di pasar.
"Jingga, kalaupun nggak senang sama aku, setidak-tidaknya hargai aku. Apa kata orang bila kamu seorang wanita menuntun motor, sementara ada aku seorang pria yang jalan begitu saja di sampingmu," desisnya.
Ia gemas sebab belum pernah bertemu wanita yang begitu sulit ditaklukan seperti Jingga. Sementara bila melihat karakter ibu guru itu, Jingga seorang wanita yang lembut. Mengapa hati Jingga tidak bisa lembut padanya?
"Lah, siapa yang meminta kamu Dek mengikuti aku? Udah pulang sana ambil motormu di pasar dan kembali ke Bukit Hejo." Lagi-lagi diucapkan dengan lembut tapi menyayat.
Beruntung ia pria yang otaknya lebih dominan daripada hatinya. Sehingga ia tidak perlu tersinggung dengan ucapan Jingga. Hanya menanggapi dengan senyum sembari mengatur siasat di otaknya.
Ia pun berjalan di samping Jingga. Pada setiap langkah ia sengaja mendekatkan jarak dengan Jingga. Sampai lengannya menyentuh lengan Jingga, sehingga Jingga terkejut dan tanpa sengaja tangan ibu guru itu menarik gas motor.
Sepeda motor tersebut menyentak tanpa bisa dikendalikan oleh Jingga, hingga ban depan terperosok ke drainase di pinggir jalan dan sepeda motor itu pun terjatuh.
Dalam keadaan seperti ini apa Jingga masih bisa belagu padanya?
Tentu tidak.
Apalagi tidak ada orang berlalu-lalang yang bisa dimintai tolong.
Tanpa menunggu Jingga meminta tolong, ia segera mengambil alih sepeda motor. Mengeluarkan sepeda motor tersebut dari drainase dan langsung menuntunnya sebelum Jingga menuntun sendiri lagi.
"Terima kasih, Dek!" ucap Jingga setengah hati, mengekor di belakangnya.
Ia senang mendengar ucapan terima kasih Jingga, tapi tidak senang dengan panggilan Adek padanya.
"Emang kamu setua apa sih sehingga memanggil aku Adek?" protesnya sembari menoleh ke belakang. "Paling juga usia kita beda beberapa bulan."
"Yang jelas aku lebih tua kan?" balas Jingga, tidak ingin mengalah.
Ia pun tertawa melihat cara Jingga menjaga jarak dengannya. Jelas ia tidak boleh kalah dari Jingga.
"Baiklah, panggil aku adek dan aku panggil kamu cinta," ancamnya seraya terkekeh mendengar Jingga mendengus di belakangnya.
Namun tidak lama kemudian Jingga memasang jarak lebih dari sepuluh langkah di belakangnya. Sehingga ia dan Jingga tak tampak seperti orang yang jalan bersama.
Apa perlu ia melempar saja ibu guru itu ke Planet Venus agar puas menghindarinya? Cukup ia melihat ibu guru itu di langit timur sebelum matahari terbit.
Jingga baru mendekat padanya begitu tiba di bengkel. Saat ia menyerahkan motor Jingga kepada seorang montir untuk ditambal. Itupun pada jarak tiga meter.
"Sebaiknya bannya diganti aja ini, Kak. Udah terlalu tipis. Gampang kempes dan bocor," ujar Montir tersebut saat memeriksa ban motor Jingga.
"Oke. Ganti aja," jawabnya. Tak peduli ia bukan pemilik motor tersebut.
Tiba-tiba Jingga menghampirinya dengan wajah resah.
"Dek, tanya dulu harga ban motornya, jangan sampai uang yang aku bawa nggak cukup," lirih Jingga dengan gurat cemas. "Sepertinya uang di dompetku tinggal lima puluh ribuan."
Meskipun gemas dipanggil Adek tapi tak urung hatinya trenyuh mendengar penuturan Jingga. Ia yang merasa melarat tinggal di kampung sebab uang jajan yang dipangkas oleh ayahnya, masih membawa uang senilai lebih dari harga 2 buah ban di dompetnya. Sumbangan dari ibu dan kakak perempuannya yang prihatin atas nasibnya yang terbuang dari keluarga.
"Cinta, ban motor itu urusanku, bukan urusanmu. Serahkan padaku!"
Jingga terhenyak mendengar panggilan cintanya sebagai balasan dari panggilan adek padanya. Ingin marah tapi Jingga membutuhkan bantuannya sekarang.
"Kalau uangku nggak cukup, aku pinjam uangmu. Begitu tiba di kampung, aku ganti," ucap Jingga dengan suara pelan. Tak berani lagi memanggilnya dengan panggilan Adek.
"Bukannya aku sudah bilang, ban motor urusan laki-laki, cinta?"
Jingga memberi tatapan peringatan padanya, sebelum melangkah ke belakangnya. Membuatnya mengulum senyum melihat reaksi Jingga dipanggil cinta.
Dengan ramah montir yang mengerjakan sepeda motor Jingga menyilahkan Jingga duduk pada kursi plastik yang disediakan untuk pelanggan.
"Kak Cinta, silahkan duduk di kursi. Nanti kecapean berdiri menunggu. Masih lama."
Membuat matanya membelalak pada sang montir.
"Hey Bang, namanya bukan Cinta. Namanya Jingga. Cinta itu panggilan sayangku padanya, karena dia calon istriku. Abang jangan ikut-ikutan panggil Cinta. Panggil Ibu Guru saja," serunya menahan tawa.
Sesaat kemudian ia merasakan dompet tebal Jingga yang tidak setebal isinya menghantam punggungnya.
Namun ia rela mengorbankan punggungnya untuk menjadi sasaran hantaman Jingga, yang penting Jingga bisa berada di dekatnya selalu.
Mengapa Jingga memukulnya menggunakan dompet? Bukan dengan tangan?
Tentu alasan Jingga sebab haram, bukan mahram.
Ia mengamati montir bengkel mengganti ban sepeda motor Jingga.
"Bannya sekalian diganti dua-duanya saja, Bang. Yang di belakang juga udah tipis," perintahnya pada montir.
"Satu aja, Bang. Yang bocor saja," seru Jingga dari belakangnya. Ia yakin seruan Jingga karena pertimbangan ekonomi.
"Cinta, bukankah aku udah bilang itu urusanku. Berhentilah berpikir," katanya menoleh ke belakang.
Jingga mendesah, seakan terbebani. Entah terbebani karena panggilan cintanya atau sebab memikirkan biaya mengganti dua ban sekaligus.
Ia berdiri berkacak pinggang mengamati sang montir mengganti ban terakhir. Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya hendak mengajak Jingga makan siang. Ia pun berbalik pada Jingga yang berada di belakangnya.
Namun saat ia berbalik tanpa sengaja sikunya menyenggol dada Jingga yang ternyata berdiri demikian dekat di belakangnya. Sehingga sikunya bisa merasakan benda kenyal milik gadis tersebut.
Jangan tanya bagaimana rasanya bisa menyentuh milik ibu guru walaupun tanpa sengaja. Meskipun yang menyentuh hanya siku doang.
Rasanya seperti seteguk air penghilang dahaga.
Sensasinya luar biasa, membuat darahnya mengalir dengan deras.
Apalagi dirinya sudah lama tidak melakukan ritual pada benda kenyal seperti milik ibu guru.
Entah mimpi apa ia semalam mendapat anugerah yang luar biasa. Menyentuh tangan bu guru saja begitu sulit, namun sikunya menang lotre menyenggol barang berharga tersebut.
Sesuatu pada dirinya melompat-lompat berteriak aku ingin - aku ingin.
Tapi bagaimana dengan Jingga?
Wajah ibu guru itu merah padam seketika.
Kilatan amarah jelas tergambar pada wajah ibu guru.
Emosi membuat Jingga tak mampu berbicara.
Tatapan wanita itu menghunus tajam padanya
Ia pun siap-siap dilahap oleh Jingga.
duh seneng nya 😅
disiiirr buayaaaa buntung cap kadal kau Adam 😅
sa aee rayuanmu
mauttt beneeerrrr
Kayanya Viral nih tukang "bubur ganteng".