NovelToon NovelToon
Dijebak Ratu Dari Dunia Lain

Dijebak Ratu Dari Dunia Lain

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Spiritual / Budidaya dan Peningkatan / Balas dendam dan Kelahiran Kembali / Ilmu Kanuragan / Summon
Popularitas:5k
Nilai: 5
Nama Author: Kang Sapu

"Urgh... k-kurang ajar! B-bajingan!" gumam Lingga lirih. Tubuhnya semakin lemas dan kesadarannya semakin memudar. "A-apa aku akan... mati?"
Seorang bartender muda yang bergumul dengan utang dan cinta buta bernama Lingga, mengira hidupnya sudah cukup kacau. Tapi, semuanya berubah drastis dalam satu malam yang kelam. Saat hendak menemui pacarnya, Lingga menjadi korban pembegalan brutal di sebuah jalanan yang sepi, membuatnya kehilangan motor, harta benda, dan akhirnya, nyawanya.
Namun, takdir punya rencana lain. Di ambang kematian, Lingga terseret oleh lingkaran cahaya misterius yang membawanya ke dunia lain, sebuah dunia asing penuh kekuatan magis, monster, dan kerajaan-kerajaan yang saling bertarung. Terbangun dengan kekuatan yang belum pernah ia miliki, Lingga harus mempelajari cara bertahan hidup di dunia baru ini, menghadapi ancaman mematikan, dan menemukan arti hidup yang sesungguhnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kang Sapu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 27

Langkah cepat Argadhanu dan Mitha menggema di lantai kayu rumah mereka saat keduanya bergegas keluar. Lingga, yang tadinya hanya duduk termenung di sudut ruangan, merasa ada firasat tak enak dan ikut menyusul, meski langkahnya lebih lambat, matanya penuh tanda tanya.

Begitu sampai di halaman padepokan, ketiganya langsung disambut pemandangan mencengangkan. Deretan pasukan berkuda lebih dari sepuluh orang, berdiri tegak dalam formasi rapi. Panji besar berwarna kecokelatan dengan lambang burung elang khas Kerajaan Wesibuwono berkibar tinggi, mengesankan kekuatan dan otoritas yang tak main-main.

Di depan barisan itu, seorang pria bertubuh sedang duduk angkuh di atas kuda hitam berkilau. Rambut panjangnya yang hitam legam tergerai di bawah ikat kepala berhias emas. Di tangannya, sebilah pedang panjang yang ujungnya menukik ringan ke tanah, namun cukup memberi isyarat dominasi.

Argadhanu menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam bara di dadanya yang mulai menyala. Dengan sikap sopan tapi tegas, ia melangkah maju dan berkata,

"Maaf, Tuan. Boleh saya tahu, keperluan apakah yang membawa pasukan kerajaan ke padepokan kecil kami ini?"

Pemimpin pasukan itu menatap dingin tanpa senyum. Alisnya menukik, rahangnya mengeras.

"Aku tanya sekali lagi," katanya, suaranya berat, "Siapa pemilik tempat ini? Siapa yang berani mengatasnamakan diri sebagai pemilik padepokan ini?!"

Argadhanu mengangkat dagunya, menahan kemarahan yang mendesak naik ke tenggorokan.

"Aku, Argadhanu. Padepokan ini milik keluargaku turun-temurun, dan kini aku yang mengelolanya."

Sekilas, pemimpin pasukan itu menyeringai sinis. Ia mengangkat pedangnya, menunjuk lurus ke arah wajah Argadhanu.

"Dengar baik-baik, Argadhanu! Mulai besok, padepokan ini harus dikosongkan. Kami akan meratakan tempat ini dengan tanah. Ini titah dari Raja Wesibuwono!"

Ucapan itu bagai petir di siang bolong.

Mitha menutup mulutnya, matanya membesar. "Ayah… ini… tak mungkin…" bisiknya, suaranya bergetar.

Lingga melangkah setengah maju, dahinya berkerut dalam, hatinya bergejolak antara amarah dan ketidakpercayaan.

Argadhanu mendesah tajam, lalu membentak keras hingga dadanya bergetar,

"Selama ini aku selalu taat, membayar pajak kepada kerajaan tanpa telat sedetik pun! Atas dasar apa kalian ingin menghancurkan padepokan kami?! Mana surat perintahnya?!"

Pemimpin pasukan itu terkekeh rendah, lalu menepuk-nepuk gulungan kulit yang terselip di pelana kudanya. Ia membukanya perlahan, memamerkan segel emas kerajaan, lalu membacakan,

"Atas kehendak Yang Mulia Raja Surya Pamukti, wilayah padepokan di desa Jarwadhi ini ditetapkan menjadi pos penjagaan strategis kerajaan untuk mengamankan jalur barat daya Wesibuwono. Tanah ini disita demi kepentingan kerajaan. Titah ini mutlak!"

Dari balik kerumunan, warga desa yang mulai berdatangan bergumam lirih. Suasana di sekitar padepokan mendadak jadi riuh oleh suara bisik-bisik penuh kecemasan. Beberapa ibu-ibu menutupi mulutnya, sementara anak-anak bersembunyi di balik kaki orang tua mereka.

"Apa kau bilang?!" teriak Argadhanu. Tubuhnya tampak sedikit bergetar. Napasnya memburu. Ia tahu, melawan titah raja berarti mencari mati. Tapi kenangan akan leluhurnya yang membangun padepokan ini, perjuangan bertahun-tahun, membuat hatinya memberontak.

Mitha mencoba memegang lengan ayahnya, suaranya parau,

"Ayah… tenanglah… kita bisa cari jalan lain… jangan terbawa emosi…"

Namun sebelum Argadhanu sempat merespons Mitha, Lingga melangkah maju lebih dekat. Sorot matanya tajam menusuk, telunjuknya diacungkan keras ke arah pria berkuda itu.

"Hei, setidaknya kalau mau main ancam-ancam begini, sebut dulu namamu! Atau kau cuma anjing kerajaan yang tak punya nama?!"

Semua terdiam sesaat, seperti dunia membeku.

Pasukan kerajaan menegang, beberapa tangan meraih gagang pedang. Wajah pemimpin pasukan itu memerah, matanya melotot penuh amarah.

"Kau bocah kurang ajar…!" desisnya. Ia mendengus, lalu tertawa kasar. "Namaku terlalu agung untuk disebut oleh mulut rakyat rendahan sepertimu!"

Lingga hanya mendecak keras, langkahnya setengah maju lagi. Suaranya membahana di halaman itu,

"Kalau rajamu benar-benar mulia, suruh dia keluar dari singgasananya dan lihat sendiri apa yang anjingnya lakukan di sini! Jadi raja itu bukan berarti bisa seenaknya merampas hak milik rakyat!"

Suasana meledak.

Pasukan kerajaan serentak menurunkan pedang, beberapa kuda meringkik tak sabar. Warga desa yang menonton pun sontak mundur panik, ketakutan kalau bentrokan akan pecah.

Mitha memekik, "Lingga, cukup! Jangan memancing bahaya—!"

Namun Argadhanu justru menatap Lingga dengan campuran bangga dan cemas.

"Anak muda… hatimu benar, keberanianmu patut diacungi jempol. Tapi, lidahmu terlalu tajam," gumamnya pelan, sambil mengepalkan tangan.

Pemimpin pasukan itu mengangkat pedangnya tinggi, wajahnya kini merah padam.

"Kalian berani menghina utusan kerajaan?! Sekali lagi kalian buka mulut, akan kuhancurkan tempat ini sekarang juga!"

Tegang. Udaranya seperti membeku.

Angin sore yang tadi sepoi, kini terasa dingin menusuk tulang.

Argadhanu menatap pria itu lekat-lekat, rahangnya mengeras. Perlahan, ia melangkah maju, berdiri sejajar dengan Lingga.

"Kalau kalian ingin meratakan padepokan ini, kalian harus melangkahi mayatku dulu," ucapnya rendah tapi berat, seperti gemuruh sebelum badai.

*

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!