PERANGKAP CINTA PERAYU ULUNG
Sepagi ini Adam bersama pemuda desa sudah mangkal di depan sebuah Sekolah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) pada suatu dusun. Sekolah dengan bangunan semi permanen berukuran kecil yang baginya lebih baik difungsikan menjadi kandang kambing ketimbang menampung anak kecil.
Ia berada di depan sekolah itu demi melihat Ibu Guru Jingga, guru honorer di sekolah tersebut. Kembang desa yang menjadi idaman dan rebutan para pemuda desa. Wanita yang menurut warga, tercantik di desa itu.
Rasa penasaran membuatnya melakukan hal bodoh. Belum mandi pagi ia sudah bergabung dengan empat orang pemuda desa yang menjadi kawan barunya. Rambut gondrongnya mekar seperti sarang burung, belum sempat tersentuh sisir.
"Ibu guru datang, ibu guru datang," seru Jusman. Salah satu kawan barunya yang bekerja sebagai penadah aren, yang akan dibuat menjadi tuak dan gula aren. Gula aren nantinya dijual ke pasar kecamatan. Tuak selain untuk dikonsumsi, juga dijual secara ilegal pada para pemabuk.
Mata jelinya turut melihat ke arah jalan setapak yang sering dilalui warga bila hendak ke kebun. Pada sisi kiri dan kanan jalan setapak itu, tutupan lahannya berupa semak belukar.
Lalu dari balik semak, muncul seorang gadis yang ditunggu-tunggu sedari tadi. Gadis tercantik di desa itu.
Seorang wanita yang mengenakan tunik batik longgar, rok panjang yang melebar dan jilbab berwarna kuning. Gadis itu menjinjing kantong kresek di tangan kirinya yang berisi sepatu, dan menyandang tas di bahu kanannya.
Ibu guru itu mengenakan sendal jepit yang dilengketi tanah liat jalan setapak yang dilalui. Mungkin ibu guru itu akan mengganti sandal jepit dengan sepatu sebelum masuk ke dalam sekolah.
"Assalamualaikum. Selamat pagi Ibu Guru Jingga." Hampir secara bersamaan Jusman, Ramli, Arsal dan Yunus dengan mata terpana menyapa ibu guru itu ketika lewat di hadapan mereka.
"Waalaikumsalam," jawab gadis itu dengan jengah. Risih dengan sikap usil para pemuda yang tidak bisa diandalkan untuk menentukan masa depan bangsa.
Matanya mengamati gadis itu dari atas ke bawah ketika lewat di depannya. Otaknya merespon dengan cepat informasi yang ditangkap matanya, spontan memberikan penilaian terhadap gadis itu.
Di bawah standar.
Begitulah hasil penilaiannya.
Tidak seperti kawan-kawan barunya yang terkesima memandang gadis itu lewat di depan mereka, sampai lidah menjulur tanpa mereka sadari. Hatinya justru mendongkol karena gadis yang ditunggunya ternyata jauh di bawah ekspektasinya.
Bagaimana tidak, tidurnya masih nyenyak di saung bambu setelah semalaman begadang bermain domino bersama orang desa, pagi-pagi ia sudah dibangunkan oleh empat bedebah itu. Demi memperlihatkan Ibu Guru Jingga, wanita idaman mereka.
Deretan wanita yang pernah jatuh ke dalam pelukannya, kelasnya jauh di atas wanita yang baru lewat tadi. Wanita itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Amel, Jovika, Laudya, dan yang terakhir Sophia.
"Jadi itu gadis paling cantik di desa ini yang kalian maksud?" Ia mendengus kesal. "Kalau yang seperti itu, di Bandung tiap melangkah pasti ketemu yang semacam itu," protesnya pada kawan-kawannya yang sudah mengganggu tidurnya demi melihat wanita itu.
Memang benar apa yang ia katakan. Bahkan pengemis wanita di Bandung pun, jauh lebih keren dari wanita tadi.
"Masa sih?" tanya Ramli yang belum pernah menginjakkan kaki di kota besar.
Bila Ibu Guru Jingga adalah gadis tercantik di desa itu, lantas bagaimana rupa gadis-gadis yang lain?
"Iya, gadis macam itu banyak hanyut di Sungai Citarum. Tinggal bawa kail, sekali mancing bisa bawa pulang sepuluh orang ke rumahmu. Mau diapain saja begitu tiba di kamarmu, bebas. Nggak perlu bayar," ujarnya pada Ramli pemuda usil namun cenderung polos itu.
Wajah ramli mendadak berbinar, membayangkan hal tabu di kepala.
"Kapan-kapan aku ikut kamu ke Bandung ya?" lontar Ramli penuh harap. Ternyata kawannya itu bukan hanya polos. Tetapi juga bodoh. Wajar bila Ramli yang berprofesi sebagai seorang buruh bangunan tidak pernah dipromosi menjadi tukang batu.
Bila ia turut menggoda Ibu Guru Jingga seperti para pemuda desa, lantas berpacaran dengan gadis itu, maka akan menjadi pencapaian terburuk dalam sejarah percintaannya.
Ia yakin, dirinya akan menjadi bahan tertawaan dan bahan lolucon teman-teman gaulnya di Bandung.
Lalu apa kata Sophia nanti, wanita yang baru saja memutuskan cintanya, bila mengetahui ia menjalin hubungan dengan wanita desa?
Mantan pacarnya yang sedang melanjutkan pendidikannya di Amsterdam itu memutuskannya karena mendapat informasi bila ia tertangkap polisi saat sedang melakukan pesta narkoba. Dan terpaksa masuk ke dalam panti rehabilitasi narkotika.
Tentu derajatnya semakin rendah di mata Sophia bila ia berpacaran dengan wanita kampung juga kampungan.
Sekarang ia merasa hidupnya beberapa bulan kedepan akan menjadi suram. Tidak ada wajah-wajah cantik yang bisa membuat mata rabun namun membangkitkan gairah seperti di kota.
Teman gaulnya mulai dari teman kuliah, teman nge-band, teman nongkrong di cafe, juga teman-temannya di lapangan basket, berganti dengan empat pemuda pandir yang tidak bisa diharapkan oleh negara.
Belum lagi karena marah dan kecewa padanya, ayahnya memangkas uang bulanannya tanpa rasa prikemanusiaan. Jangankan untuk menghabur-hamburkan uang seperti sebelumnya, untuk membeli sebungkus rokokpun sekarang ia sudah kesulitan.
Karena kenakalannya, ayahnya mengirimnya untuk belajar agama di sebuah desa terpencil. Pada Ustadz Zaenal teman Ayahnya. Di desa itu ia menemui kehidupan yang jauh berbeda dari tempat asalnya.
Bisakah ia betah tinggal berbulan-bulan di tempat itu?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
𝕭𝖎𝖒𝖆𝖘𝖊𝖓𝖆
Ehemm
salken adam
gw Bima 😎
2024-06-17
0
VS
yoloohh...
2024-06-16
0
VS
yg di bawah standart nilai yang lain di bawah standart, tangi...tangi...
2024-06-16
1