Harap bijak memilih bacaan.
riview bintang ⭐ - ⭐⭐⭐ = langsung BLOK.!
Barra D. Bagaskara, laki-laki berusia 31 tahun itu terpaksa menikah lagi untuk kedua kalinya.
Karena ingin mempertahankan istri pertamanya yang tidak bisa memliki seorang anak, Barra membuat kontrak pernikahan dengan Yuna.
Barra menjadikan Yuna sebagai istri kedua untuk mengandung darah dagingnya.
Akibat kecerobohan Yuna yang tidak membaca keseluruhan poin perjanjian itu, Yuna tidak tau bahwa tujuan Barra menikahinya hanya untuk mendapatkan anak, setelah itu akan menceraikannya dan membawa pergi anak mereka.
Namun karena hadirnya baby twins di dalam rahim Yuna, Barra terjebak dengan permainannya sendiri. Dia mengurungkan niatnya untuk menceraikan Yuna. Tapi disisi lain Yuna yang telah mengetahui niat jahat Barra, bersikeras untuk bercerai setelah melahirkan dan masing-masing akan membawa 1 anak untuk dirawat.
Mampukah Barra menyakinkan Yuna untuk tetap berada di sampingnya.?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Setelah Barra mengatakan akan membatalkan surat perjanjian mereka, Yuna mulai sedikit lebih tenang. Nada bicaranya juga tidak meninggi seperti sebelumnya. Yuna juga tidak menolak saat Barra mengajaknya masuk ke kamar dan membawanya ke ranjang.
"Istirahat dulu, nanti aku bangunin pas makan siang." Ujarnya sembari mengarahkan Yuna untuk naik ke ranjang.
Yuna menolak dengan gelengan kepala.
"Masih jam 11, nggak bagus tidur jam segini." Tutur Yuna. Dia juga tidak biasa tidur sebelum lewat jam makan siang.
"Nggak masalah asal nggak setiap hari. Lagipula kondisi kamu memang sedang butuh istirahat."
"Kata dokter kamu kurang tidur, tensinya saja rendah."
"Kamu harus banyak istirahat untuk beberapa hari ke depan." Barra mendudukkan Yuna di tepi ranjang. Dia juga ikut duduk di sebelah Yuna.
"Untuk pekerjaan kamu, sebaiknya diurus dulu sama Nitha. Sementara cari pegawai baru untuk membantu Nitha."
"Aku nggak mau lihat kamu ngerjain semua itu,,"
Barra ingin menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Dia takut pekerjaan Yuna akan mempengaruhi kehamilan dan perkembangan baby twins kalau Yuna kelelahan.
"Aku masih bisa mengerjakan semua itu, Mas Barra nggak perlu khawatir." Yuna tidak terlalu memperdulikan larangan Barra. Lagipula selama 2 bulan terakhir dia tidak mengalami masalah apapun saat bekerja. Kondisi kesehatannya yang kian menurun juga bukan karna sibuk dengan pekerjaannya, melainkan karna terlalu stres memikirkan kelanjutan hubungan pernikahannya dengan Barra.
"Kali ini saja, turuti perkataanku." Barra sedikit memohon.
"Semua ini demi kesehatan kamu dan baby twins." Tangan Barra mengusap lembut perut Yuna. Tatapan matanya seketika berbinar, merasa sedang menyentuh kedua anaknya secara langsung.
"Kalau kamu merasa kuat, setidaknya pikirkan mereka yang masih lemah." Ujar Barra.
Tatapan mata Barra yang berbinar, seakan mampu menghipnotis Yuna. Tiba-tiba merasa ikut bahagia seperti yang dirasakan oleh Barra.
Kehadiran baby twins sepertinya akan merubah sikap dan perasaan Barra sedikit demi sedikit. Bahkan saat ini juga mulai ada perubahan yang baik dari sikap Barra. Laki-laki dingin ikut terlihat tidak sungkan lagi untuk melakukan kontak fisik. Sering merangkul, menggandeng, memeluk, dan mengusap perut. Padahal sebelumnya hampir tidak pernah melakukan semua itu.
Kontak fisik yang sering mereka lakukan hanya pada saat bermain di atas ranjang saja, di luar itu sama sekali tidak ada kontak fisik.
"Ayo tidur,," Ajak Barra. Yuna menurut, sedikit bergeser ketengah dan membaringkan tubuhnya.
Barra terlihat lega karena Yuna tidak membantah lagi. Dia menarik selimut untuk menutupi tubuh Yuna.
"Jangan memikirkan apapun." Ucap Barra sambil menatap Yuna yang sejak tadi diam. Yuna mengangguk.
"Bagus." Katanya sembari mengulas senyum tipis, setelah itu beranjak dari sana.
"Mas Barra mau kemana.?" Yuna terlihat sedih karna Barra malah akan pergi, padahal dia menginginkan Barra untuk ikut berbaring di sampingnya.
Barra menoleh, dia melihat raut wajah Yuna yang lebih sendu dari sebelumnya.
"Aku harus menghubungi orang kantor lebih dulu. Hanya sebentar, nanti aku temani kamu tidur." Tuturnya. Barra seolah tau apa yang diinginkan oleh Yuna.
Yuna mengangguk paham, setelah itu tidak lagi menahan Barra yang akan keluar dari kamar hotel.
...*****...
"Sedang apa.?" Tanya Barra dengan tatapan penuh cinta. Dia menatap layar ponselnya, menatap lekat wajah wanita yang selalu membuatnya tenang dan bahagia.
Cindy tersenyum lebar, dia tidak langsung menjawab pertanyaan Barra melainkan mengarahkan kamera ponselnya ke dapur. Menunjukkan peralatan dan bahan - bahan untuk membuat kue. Setelah itu kembali mengarahkan pada wajahnya.
"Aku bosan, jadi ingin coba membuat kue." Jelasnya sembari tersenyum.
Baru 3 bulan hidup berbagi suami, ternyata tidak semudah yang dia bayangkan. Jika biasanya 1 minggu full akan selalu bersama Barra, kini harus merasakan 3 hari tanpa Barra di rumah.
Merasa kehilangan sudah pasti. Cindy juga merasa bahwa Barra tidak lagi menjadi milik dia sepenuhnya.
Semua ini memang sudah menjadi resiko untuk Cindy, karena dia sendiri yang menginginkan hal ini sampai harus memaksa dan mengancam Barra.
Tapi setidaknya, dia sudah berperan sebagai istri yang baik dengan memberikan kesempatan pada Barra untuk merasakan memiliki seorang anak.
Tidak masalah jika harus berbagi untuk selamanya, asal tidak dihantui penyesalan seumur hidupnya.
"Kue buatanmu pasti enak, aku ingin mencobanya nanti." Puji Barra. Cindy hanya tersenyum menanggapi pujian Barra, dia sudah bisa mendengar Barra memujinya hampir setiap hari. Bahkan sedang duduk di depan tv saja di puji cantik atau seksi. Selalu ada pujian yang terlontar dari mulut Barra untuknya.
"Jangan khawatir, aku akan buatkan untukmu."
"Kamu dimana.?" Cindy terlihat mengamati background Barra yang sepertinya bukan berada di kantor.
"Dia sedang sakit, jadi hari ini aku nggak berangkat ke kantor."
"Dia sakit.? Sakit apa.? Kamu sudah membawanya ke dokter.?" Cindy terlihat cemas mendengar kabar bahwa madunya tengah sakit.
"Bukan hal serius, hanya kelelahan dan butuh istirahat."
"Aku baru mengantarnya ke dokter tadi."
"Seperti besok aku belum bisa pulang, kamu nggak keberatan.?" Barra terdengar hati-hati memberi tau Cindy, takut Cindy kecewa karna tidak pulang sesuai waktunya.
"Nggak masalah, dia pasti sangat membutuhkan kamu di sampingnya."
"Aku nggak keberatan kamu temani dia sampai sehat lagi." Cindy mengulas senyum, namun Barra tau betul terselip rasa sakit di balik senyuman itu.
"Terimakasih. Aku janji akan segera pulang setelah kondisinya membaik." Barra terlihat berat dan tidak tega pada Cindy, namun saat ini tidak ada pilihan lain karna kondisi Yuna masih belum stabil. Dia juga mengkhawatirkan kedua anaknya, takut terjadi sesuatu kalau dia tidak berada di samping Yuna.
"Aku mencintaimu,," Ucap Barra dengan tatapan mendamba.
"Aku juga mencintaimu." Balas Cindy.
...*****...
Barra kembali ke kamar hotel setelah menelfon Cindy dan menghubungi pihak kantor karna tidak akan berangkat ke kantor selama 2 hari.
"Kenapa nggak tidur.?" Tanya Barra. Dia pikir setelah di tinggal 30 menit, Yuna sudah tertidur, tapi ternyata malah duduk di tepi ranjang sembari memegang ponsel.
"Nggak bisa tidur, tadinya mau telfon Mas Barra." Yuna menyimpan ponselnya kedalam tas. Dia hampir saja menelfon Barra, tapi Barra sudah lebih dulu masuk ke kamar.
"Aku lapar." Yuna menundukkan kepala. Dia tidak bisa memejamkan mata karna perutnya sudah meminta untuk diisi.
Menangis dan memikirkan banyak hal ternyata membuat perut terasa cepat lapar. Di tambah ada dua kehidupan didalam perutnya.
Sedangkan sejak tadi pagi setelah sarapan, tidak ada makanan apapun yang masuk ke dalam perutnya sampai sekarang. Biasanya ketika di rumah, Yuna selalu menyediakan makanan atau buah di meja kerjanya. Jadi selama bekerja, perutnya tidak pernah kosong.
"Ya sudah, kita makan dulu di bawah."
"Ayo,," Barra menghampiri Yuna, dia kembali menggandeng tangan Yuna untuk keluar kamar.
Yuna mengulas senyum tipis, dia selalu merasa bahagia dan nyaman setiap kali melakukan kontak fisik dengan Barra. Namun Yuna tidak mau terlalu percaya diri dengan perubahan sikap Barra. Mungkin saja Barra melakukan semua itu untuk kedua anaknya, bukan karna memiliki perasaan padanya.
"Sebanyak ini.?" Barra menatap heran daftar menu yang di pesan oleh Yuna.
"He'em." Yuna mengangguk cepat.
"Kamu yakin bisa menghabiskan semuanya.? Ini terlalu banyak."
"Selama ini Mas Barra terlalu sibuk, jadi nggak tau kalau belakangan ini aku banyak makan." Yuna menjawab datar.
"Aku lupa, baby twins juga butuh makan." Ujar Barra sembari mengulas senyum teduh.