Hidup Jema berubah sejak ayahnya menikah lagi saat ia kelas 6 SD. Sejak itu, ia tinggal bersama ibu tiri yang semena-mena dan semuanya makin memburuk ketika ayahnya meninggal.
Saat SMA, ibu tirinya menikah dengan seorang duda kaya raya yang punya tiga putra tampan. Jema berharap hidupnya membaik… sampai ia melihat salah satu dari mereka: Nathan.
Musuh bebuyutannya di sekolah.
Cowok arogan yang selalu membuat hidupnya kacau.
Dan sekarang, jadi saudara tirinya.
Tinggal serumah membuat semuanya jadi lebih rumit. Pertengkaran mereka semakin intens, tetapi begitu pula perhatian-perhatian kecil yang muncul tanpa sengaja.
Di antara benci, cemburu, dan konflik keluarga perasaan lain tumbuh.
Perasaan yang tidak seharusnya ada.
Perasaan yang justru membuat Jema sulit bernapas setiap kali Nathan menatapnya lebih lama daripada seharusnya.
Jema tahu ini salah.
Nathan tahu ini berbahaya.
Tapi hati tetap memilh bahkan ketika logika menolak.
Karena siapa sangka, musuh bisa menjadi cinta pertama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bik Diah
Nathan benar-benar sudah bosan berada di dalam kamar. Dinding putih, bau obat, dan suara langkah kaki di lorong membuat kepalanya semakin pening. Sarah sibuk dengan handphone-nya, duduk di sofa tanpa benar-benar memperhatikan Nathan.
Nathan menyingkirkan selimutnya dan bangun dari ranjang.
“Eh kenapa, Nathan? Kamu mau apa?” tanya Sarah spontan.
“Mau cari udara segar.”
“Yaudah, ayuk mama anterin.”
“Ga usah… aku bisa sendiri.”
“Tapi Nathan—”
“Aku bisa sendiri, oke?”
Nada suaranya tegas, membuat Sarah memilih diam. Ia hanya menatap Nathan yang berjalan keluar ruangan dengan langkah sedikit pincang. Kaki kanannya masih terasa nyeri, tapi ia memaksakan diri. Ia lebih memilih sakit daripada kembali berbaring tanpa arah.
Nathan menyusuri lorong rumah sakit. Orang-orang berlalu lalang—perawat, dokter, keluarga pasien—semuanya terlihat sibuk dengan urusan masing-masing. Pandangannya kemudian tertumbuk pada seorang wanita paruh baya yang membawa rantang bertingkat.
Wanita itu celingak-celinguk, seperti mencari seseorang.
Senyum nakal muncul di wajah Nathan.
Ia berjalan pelan, lalu tiba-tiba muncul di hadapan wanita itu.
“Astagfirullah!” Wanita itu refleks terkejut.
Nathan langsung cengengesan.
Belum sempat ia bicara, telinganya sudah dijewer.
“Maaf… maaf, Bik,” ucap Nathan cepat.
“Kamu itu ya,” gerutu Bik Diah sambil tetap menjewer, “bikin kaget aja. Lagi sakit juga tetap iseng yaa.”
Nathan menggaruk kepalanya, senyumnya masih tersisa.
“Bibik bawa apa?”
“Ini buat… Bu Sarah.”
Nathan langsung cemberut. “Ngapain bawain makanan buat dia? Dia kan bisa beli sendiri. Yang seharusnya dibawain itu aku.”
“Lah kamu kan udah ada yang nyediain.”
“Siapa?”
“Ya suster lah.”
Nathan mendengus. “Ga enak. Aku ga suka. Bosan juga…”
“Ya biar sembuh, Le.”
“Aku udah sembuh kok ini,” bantah Nathan cepat, meski jelas itu bohong.
Bik Diah menatapnya lama.
Tatapan itu bukan tatapan marah, tapi penuh iba dan kasih. Anak laki-laki yang ia rawat sejak kecil itu kini berdiri di depannya dengan perban di kepala, wajah pucat, dan tubuh yang belum sepenuhnya pulih. Nathan yang dulu selalu berlari ke dapur, merengek minta dimasakkan makanan favoritnya. Nathan yang manja, keras kepala, tapi berhati lembut.
Melihatnya sakit seperti ini membuat dada Bik Diah terasa sesak.
Malam ketika Nathan kecelakaan, Bik Diah hampir tidak bisa tidur. Tangannya gemetar saat mendengar kabar itu. Ia takut—takut jika Nathan benar-benar kenapa-kenapa.
Ia teringat pesan almarhumah ibu Nathan.
“Tolong jaga Nathan dan Jefran ya, Bik… mereka berdua butuh sosok ibu.”
Pesan itu selalu ia pegang erat.
Sejak saat itu, Bik Diah tidak pernah membedakan Nathan dan Jefran dengan anaknya sendiri. Ia menyayangi mereka dengan sepenuh hati, diam-diam, tanpa banyak kata.
Dan sekarang, melihat Nathan berdiri di depannya—masih keras kepala, masih usil—membuat Bik Diah lega sekaligus sedih.
“Kamu jangan bandel terus,” ucapnya pelan. “Bibik takut kalau kamu kenapa-kenapa.”
Nathan terdiam.
Untuk sesaat, rasa sepi yang selama ini ia tahan mendadak muncul di dadanya.
Bik Diah akhirnya mengajak Nathan kembali ke kamar. Tangannya menggenggam lengan Nathan dengan hati-hati, seolah takut jika anak itu tiba-tiba terjatuh.
“Aku bosan di kamar terus,” keluh Nathan. “Ga bisa kita makan di luar?”
“Nggak usah yang aneh-aneh,” sahut Bik Diah cepat. “Nanti papa kamu marah. Udah ayuk, kita balik ke kamar.”
“Kan dia ga tau…”
“Kamu itu mbok ya jangan merengkel terus kalau dikasih tau,” omel Bik Diah, meski nadanya tetap lembut.
“Iya, iya…” Nathan mendengus pelan, tapi tetap menuruti.
Mereka berjalan menyusuri lorong hingga sampai di kamar Nathan. Begitu pintu terbuka, Sarah yang duduk di dalam langsung menoleh. Tatapannya tertuju pada Bik Diah, jelas tidak menyangka kehadiran perempuan itu.
“Kenapa bibik di sini?” tanya Sarah, nadanya datar tapi menyimpan tanda tanya besar.
“Iya,” jawab Bik Diah gugup, “saya kangen banget sama Nak Nathan, makanya bibik jenguk.”
Sarah menghela napas pendek. “Nathan itu udah gapapa, tinggal masa pemulihan aja. Bandel banget sih dibilangin.” Ia lalu menambahkan, “Bentar lagi Susan sama Selin pulang ke rumah, siapa yang layanin?”
Nathan langsung memasang wajah tidak suka.
“Ck…” Ia mendengus. “Mereka udah besar kan? Atau masih bayi yang harus dilayani?”
“Nathan…” Sarah mencoba menegur.
“Bukan gitu,” lanjut Sarah, kini menatap Bik Diah. “Bik Diah itu kan kerjanya di rumah. Ngapain dia sampai ke sini? Emang kerjaan rumah udah beres?”
Nada bicara itu membuat tangan Nathan mengepal.
“Di rumah masih banyak asisten rumah tangga,” sambung Sarah. “Kenapa harus Bik Diah semua yang ngerjain? Jangan memperlakukan Bik Diah dengan sesuka hati.”
“Tapi Nathan, dia itu—”
Nathan langsung menatap Sarah tajam. Sorot matanya dingin, penuh peringatan.
“Tante?” ucapnya pelan tapi menusuk. “Bik Diah itu bukan baru pertama kali kerja di rumah. Udah bertahun-tahun.”
Sarah terdiam.
“Jadi Tante ga usah ngajarin Bik Diah harus ini harus itu,” lanjut Nathan tanpa menurunkan pandangan. “Sebelum Tante datang pun, Bik Diah udah tau apa yang dia lakukan dan apa yang akan dia kerjakan.”
Udara di kamar terasa menegang.
“Jadi Tante ga usah khawatir,” tambah Nathan, suaranya dingin. “Buat ngurusin anak-anak Tante itu, masih ada asisten yang lain di rumah.”
“Maksud mama itu baik, Nathan…” Sarah mencoba menahan emosinya.
Nathan beralih ke Bik Diah. “Duduk, Bik. Jangan hiraukan dia.”
Bik Diah tampak ragu, matanya berpindah-pindah antara Nathan dan Sarah. Ia jelas takut suasana semakin keruh. Namun Nathan menepuk kursi di samping ranjangnya, memaksanya duduk.
Sarah berdiri kaku beberapa detik. Dadanya naik turun menahan kesal.
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan keluar dari ruangan. Pintu tertutup dengan suara yang cukup keras, menandakan kemarahannya yang tak terucap.
Sementara itu, Nathan duduk diam di ranjang, rahangnya mengeras.
Dan Bik Diah, hanya bisa menghela napas pelan—menyadari bahwa rumah yang baru itu, tak akan pernah benar-benar tenang.