Sekuel dari Bunga dan Trauma.
Jelita Anindya memutuskan pindah ke desa tempat tinggal ayah dari papanya, sebuah desa yang dingin dan hijau yang dipimpin oleh seorang lurah yang masih muda yang bernama Rian Kenzie.
Pak Lurah ini jatuh cinta pada pandangan pertama pada Jelita yang terlihat cantik, anggun dan tegas. Namun ternyata tidak mudah untuk menaklukkan hati wanita yang dijuluki ‘Iced Princess’ ini.
Apakah usaha Rian, si Lurah tampan dan muda ini akan mulus dan berhasil menembus tembok yang dibangun tinggi oleh Jelita? Akankah ada orang ketiga yang akan menyulitkan Rian untuk mendapatkan Jelita?
follow fb author : mumuyaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rian yang Tertekan
Acara pertunangan itu berlanjut ke rumah utama, tempat Bara dan Lita tinggal. Kedua orang tua sepuh itu tidak bisa hadir di gedung rumah sakit sejak siang. Kesehatan Bara yang kian menurun membuatnya tak sanggup berada terlalu lama di luar rumah, sementara Lita memilih setia menemani belahan jiwanya, tak ingin beranjak terlalu jauh walau hanya sebentar. Karena itu, setelah rangkaian acara di gedung rumah sakit usai, seluruh keluarga besar sepakat untuk berkumpul di rumah utama.
Dan kini… di sinilah mereka berada.
Halaman belakang rumah telah disulap sedemikian rupa oleh orang-orang suruhan Silvia. Lampu-lampu temaram digantung rapi, memantulkan cahaya lembut ke permukaan kolam renang. Sebuah meja panjang dengan aneka hidangan tersaji di tengah halaman. Tawa dan obrolan ringan mengalir dari satu sudut ke sudut lain.
Semua keluarga hadir. Ibunya Randi, ayah Fadi, keluarga besar Dika—calon suami Yumna—semuanya berkumpul. Hanya keluarga Harry—suami Kasih— yang berhalangan karena tinggal di luar kota.
Namun, di tengah suasana yang hangat itu, Fadi justru memilih duduk menyendiri di seberang kolam renang. Sedikit menjauh dari keramaian. Cahaya lampu tak sepenuhnya menjangkaunya, membuat sosoknya seolah larut dalam bayang-bayang pikirannya sendiri.
Bunga yang sejak tadi memperhatikan suaminya akhirnya melangkah ke dapur. Ia menyeduh teh chamomile—minuman favorit Fadi setiap kali pikirannya sedang tidak tenang. Setelah uap hangatnya mengepul lembut, Bunga kembali ke halaman belakang dan menghampiri suaminya.
“Minum, Mas,” ucapnya pelan sambil menyerahkan cangkir itu.
“Terima kasih, sayang,” jawab Fadi, menerima cangkir itu lalu menyeruputnya perlahan.
Bunga duduk di sampingnya. Hening sejenak, hanya suara air kolam yang bergemericik pelan. Pandangan Fadi kembali tertuju ke depan, tepat ke arah Rian, pria muda yang sejak siang tadi mengusik perasaan seorang ayah.
“Jangan galak-galak amat,” ujar Bunga lirih, nyaris berbisik.
Fadi menghembuskan napas panjang. “Aku cuma… belum siap, Flo.”
Bunga tersenyum tipis. “Siapa yang pernah siap, Mas?”
Fadi menoleh. “Jelita itu anak kita. Dari kecil selalu di dekat kita. Tiba-tiba ada pria lain yang berani datang sejauh itu, berdiri di depan banyak orang, bilang dia menyukai putri kita.” Ia tertawa kecil, hambar. “Aku kaget.”
“Justru karena itu,” jawab Bunga lembut. “Artinya Jelita tumbuh jadi perempuan yang baik. Sampai ada pria yang benar-benar berani memperjuangkannya.”
Fadi terdiam.
“Aku malah bangga sama dia,” ujar Bunga sambil menyandarkan punggungnya sedikit ke kursi. “Jauh-jauh datang, berani berdiri di depan banyak orang, dan langsung memperjuangkan perasaannya begitu sadar apa yang dia rasakan.”
Ia melirik Fadi dari samping, senyum tipis tersungging di bibirnya. “Nggak kayak pria yang duduk di sebelah aku ini.”
Fadi mendesah panjang. “Sudah dua puluh tahun, Flo. Dua puluh tahun. Masih juga diungkit-ungkit.”
Bunga tertawa pelan, bahunya ikut berguncang. “Perempuan itu gampang memaafkan, Mas,” katanya santai. “Tapi soal melupakan? Jangan harap.”
Ia mengangkat alis, lalu menambahkan dengan nada menggoda, “Seumur hidup itu cerita pasti bakal disenggol terus, di momen-momen tertentu.”
Fadi memijat pelipisnya. “Kejam banget.”
“Bukan kejam,” sahut Bunga ringan. “Konsisten.”
Wajah Fadi yang semula sedikit melunak kembali tampak murung. Pandangannya melayang entah ke mana, seolah mengulang memori lama yang tak pernah benar-benar hilang.
Melihat itu, tawa Bunga kembali pecah, dan kali ini lebih lepas.
“Mas ini lucu,” katanya sambil menggeleng pelan. “Dulu berani bikin orang tua perempuan hampir naik darah yang tiba-tiba mergokin anak gadisnya lagi makan bareng sama duda beranak. Sekarang giliran jadi ayah, langsung kelabakan.”
Fadi melirik istrinya, akhirnya ikut tersenyum kecil. “Karma ya?”
Bunga mengangguk mantap. “Karma yang manis.”
Mereka berdua kembali diam, memandang kearah anak-anak yang tengah duduk bersama, memainkan permainan yang keduanya juga tidak tahu namanya, tapi membuat gaduh dengan suara mereka yang berteriak.
“Putri kita udah dewasa ya, Mas,” ucap Bunga.
Fadi mengangguk pelan. “Kupikir Yumna yang akan duluan menikah.”
Bunga kembali tertawa. “Kalau kasus Yumna ini, si Yumna yang takut Dika diambil sama cewek lain. Makanya dia langsung mau ngikat dulu. Selesai koass, mereka langsung nikah.”
“Kalau Kakak, udah ditanya, Flo?” tanya Fadi dengan nada yang kembali berat. Sepertinya ia masih sulit menerima saat ini.
Bunga menggeleng pelan. “Nanti aku ngomong sama Kakak.”
*
*
*
Beberapa waktu mengenal Jelita, baru hari ini Rian benar-benar melihat sisi lain dari gadis itu. Bukan Jelita yang tenang, kalem, dan cenderung menjaga jarak seperti yang ia kenal selama ini, melainkan Jelita yang jauh lebih hangat, ceria, dan penuh tawa saat berada di tengah keluarganya.
Gadis itu tampak lepas. Senyumnya lebih sering merekah, tawanya lebih ringan, dan matanya berbinar ketika bercengkerama dengan para sepupu dan adik-adiknya. Rian sempat tertegun, menyadari satu hal sederhana namun menggetarkan. Jelita sangat dicintai oleh keluarganya, dan ia tumbuh di lingkungan yang hangat.
Namun keberanian Rian seolah menguap begitu saja.
Ia tidak cukup percaya diri untuk langsung bergabung dengan adik-adik Jelita yang sedang berkumpul di sisi lain halaman. Jangankan ikut nimbrung, berdiri agak dekat saja rasanya sudah membuat jantungnya berdetak tidak karuan. Akhirnya, seperti anak kecil kehilangan induk, Rian memilih ‘mengekor’ ke mana pun Kakek Doni melangkah.
Berbeda jauh dengan Aldi.
Pria itu entah bagaimana sudah duduk santai bersama Zaidan, tertawa lepas seperti sudah kenal lama. Mereka bahkan tampak membicarakan sesuatu dengan penuh semangat, lengkap dengan gestur tangan yang berlebihan.
“Kok kamu nggak ke sana aja?” ujar Kakek Doni sambil melirik Rian. “Malah gabung sama orang-orang tua begini.”
“Rian nemenin Kakek aja,” jawab Rian cepat, seolah itu alasan paling aman di dunia.
Kakek Doni mendecak pelan. “Pak Lurah kok cemen.”
Biasanya Rian akan langsung membalas dengan senyum santai atau celetukan ringan. Namun kali ini, ia hanya bisa menunduk pasrah. Rasa malu masih menempel erat di dirinya, seolah belum mau pergi.
Belum sempat suasana kembali nyaman, sebuah suara berat tiba-tiba menyela.
“Jadi ini toh lurah pemberani itu.”
Rian refleks menoleh. Randi berdiri tak jauh dari mereka, tangan dimasukkan ke saku celana, senyum tipis terukir di wajahnya. Sebuah senyum yang lebih mirip ancaman daripada keramahan.
Rian menelan ludah. “I—iya, Om.”
Randi melangkah mendekat. “Berani juga kamu ya,” katanya pelan, namun penuh tekanan. “Datang ke acara keluarga, bikin heboh, terus terang-terangan bilang suka sama keponakanku.”
Rian semakin salah tingkah. “Saya… saya minta maaf, Om.”
Randi terkekeh kecil. “Tenang. Ini belum apa-apa.”
Ia menepuk pundak Rian sekali. Tepukan ringan, tapi cukup membuat jantung Rian hampir copot.
“Nanti kalau Fadi sudah agak tenang,” lanjut Randi santai, “siap-siap aja. Bisa jadi kamu bakal disidang lagi. Ayah mana yang santai tahu anak perempuannya diincer pria asing.”
Wajah Rian makin pucat. “S—sidang lagi, Om?”
“Iya,” jawab Randi singkat. “Mental harus siap.”
Belum sempat Rian tenggelam dalam kepanikan, suara tawa renyah terdengar dari samping.
“Hahaha… kamu jangan ditakut-takuti terus anak orang, Ran.”
Kakek Bara yang sejak tadi duduk santai akhirnya ikut bersuara. Wajahnya penuh senyum, matanya menyiratkan kehangatan khas orang tua yang sudah kenyang asam garam kehidupan.
Ia menatap Rian dengan sorot ramah. “Namanya juga orang tua, Nak. Wajar kalau protektif. Tapi kalau niatmu baik, insyaallah ada jalan.”
Rian menatap Kakek Bara dengan mata sedikit berbinar.
“Kuncinya satu,” lanjut pria sepuh itu. “Sabar. Tulus. Dan jangan setengah-setengah.”
Kakek Bara tersenyum lebar. “Hati orang tua itu keras di luar, tapi lembut di dalam. Kalau kamu bisa meluluhkan hati Jelita, sekarang tinggal tugas berikutnya, meluluhkan hati orang tuanya.”
Rian mengangguk pelan, dan kini ia merasa bisa sedikit lega setelah mendengar ucapan dari Kakek Bara. Namun… semua hanya berlaku sesaat saja sebab kemudian Randi kembali berbicara.
“Memangnya… Jelita sudah menerima kamu?”
****
Hai hai hai... Terima kasih yang masih setia dengan cerita author, ya. Hari Senin, jangan lupa untuk vote author ❤️ tombol like dan bunga kopi juga jangan lupa dikasih, ya biar author semakin semangat.
Sebagai bonus, author akan kasih sebuah foto yang akan bikin kalian senang (semoga aja 🤭)
Kira-kira, ini adegannya pas kapan, ayoooo 🤭🤭🤭
Jelita begitu disayangi oleh keluarga Bunga.
Gak sabar menunggu hari pernikahan Jelita dan Rian
Bahagia banget pak lurah😄
dramatisasi si fadi dan mama bunga cuma bisa tepok jidat....🤣🤣🤣🤣