"Kalian siapa? Kenapa perut kalian kecil sekali? Apa kalian tidak makan?" tanya seorang perempuan dengan tatapan bingungnya, dia adalah Margaretha Arisya.
"Matanan tami dimatan cama cacing," ucap seorang bocah laki-laki dengan tatapan polosnya.
"Memang tami ndak dikacih matan cama ibu," ceplos seorang bocah laki-laki satunya yang berwajah sama, namun tatapannya sangat tajam dan ucapannya sangat pedas.
"Astaga..."
Seorang perempuan yang baru bangun dari tidurnya itu kebingungan. Ia yang semalam menyelamatkan seorang wanita paruh baya dari pencopet dan berakhir pingsan atau mungkin meninggal dunia.
Ternyata ia baru sadar jika masuk ke dalam tubuh seorang perempuan dengan status janda bernama Naura Arisya Maure. Setelah menerima keadaan, ia berupaya mengubah semuanya. Namun kedatangan orang-orang di masa lalu pemilik tubuh ini membuat semuanya semakin rumit.
Bagaimakah Arisya bertahan pada tubuh seorang janda dengan dua orang anak? Apakah Arisya bisa kembali ke tubuh aslinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eli_wi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perhatian Kecil
"Om, coba liat pundungna. Ciapa tahu pundungna belubah jadi walna bilu kaya dulu kakina Gheo,"
Gheo meminta Ricko untuk membuka kaos bagian belakangnya. Gheo sangat penasaran dengan bekas pukulan sapu lidi dari Ibu Anjani. Apalagi Ricko sedari tadi tampak diam saja walaupun habis dipukul. Tak seperti dirinya dulu yang langsung menangis dan meratapi kakinya yang lebam.
"Warnanya jadi pink punggung Om. Nggak usah dilihat, nanti kamu iri." Ricko menolak keinginan Gheo yang ingin melihat punggungnya. Ada rasa iba saat mendengar ucapan polos dari Gheo itu. Ia juga kesal pada orang yang telah melukai anak sekecil Gheo itu.
"Pink? Halusna melah atau bilu dong," Gheo tak terima dengan pernyataan dari Ricko. Padahal Ricko hanya menjawab asal, namun Gheo percaya dengan ucapannya.
"Iya, pink punya Om. Soalnya Om lagi jatuh cinta. Warna pinknya dari sampai menembus ke punggung," ucap Ricko dengan sedikit melemparkan candaan.
"Dih... Lebay kali, Om. Jatuh cinta sama neneknya Gheo ya?" Theo menatap jijik ke arah Ricko yang senyum-senyum sendiri. Walaupun Theo sebenarnya tahu kalau ucapan itu tertuju pada Arisya.
"Siapa neneknya Gheo? Oma Nay?" tanya Gheo yang hanya mengingat Mama Nayra sebagai neneknya.
"Butan dong. Nenek kandung, Ibuna bapakmu itu lho, Gheo. Si cuneo."
Gheo yang mendengar ucapan Gheo tampak kebingungan. Suneo? Perasaan nama ayahnya itu Seno bukan Suneo. Ibu kandung Suneo? Ia tak tahu siapa namanya. Sedangkan Ricko sedari tadi memilih untuk diam, menikmati perdebatan kecil antara Gheo dan Theo. Ini sangat menghibur baginya.
"Ibuna Ceno makcud kamu, Theo? Itu nenek kamu juga lho, Theo. Cudahlah... Ndak mau aku talo punya nenek dan bapak dulhaka kaya meleka. Cudah ada Opa dan Oma balu kok, mana baik lagi." Gheo menolak menganggap Ibu Anjani dan Seno sebagai nenek juga ayahnya. Ia lebih memilih Pak Michael dan Mama Nayra sebagai Opa juga Omanya.
Hahaha...
"Kalian ini lucu sekali sih. Masa bapaknya sendiri dibilang Suneo," Ricko tak bisa menahan tawanya saat mendengar perdebatan kedua bocah kecil di depannya.
"Dengarkan Om. Kalian harus bisa melindungi Ibu. Entah itu dari orang-orang yang ingin membuat hatinya terluka atau menyakiti fisiknya," Theo dan Gheo menatap Ricko dengan tatapan seriusnya.
"Tapi ingat satu hal, Bapak dan Nenek kalian itu masih satu keluarga. Itu kenyataan yang tak bisa dibantah. Jangan terlalu membenci, kalau bisa malah mereka diarahkan ke jalan yang benar. Tapi kalau memang sudah keterlaluan, kita penjarakan saja. Tanpa perlu tangan kita bergerak. Ibu kalian pasti sedih kalau kalian sampai membenci Bapak dan Nenek sendiri,"
Ricko memberi pesan pada Gheo dan Theo mengenai langkah apa yang harus diambil mereka. Ricko yakin kalau Arisya tak mau kedua anaknya membenci Seno. Tanpa Seno, keduanya juga tidak akan bisa hadir.
"Telmacuk halus melindungi Ibu dali Om yang mau mendekatinya?" ceplos Gheo membuat Ricko memelototkan matanya.
"Nggak termasuk ya itu. Om kan mendekati Ibu kalian bukan untuk menyakitinya. Justru Om akan membahagiakan dan memberikan segalanya untuk Ibu kalian," ucap Ricko yang sepertinya sudah mulai mengeluarkan kata-kata manis untuk meluluhkan kedua anak Arisya.
"Ndak pelcaya Gheo. Buktina tadi Om lilik-lilik janda di depan toko,"
Eh...
"Mana..."
"Siapa yang lirik-lirik janda di depan toko?" sela Arisya yang baru saja datang dengan sebuah baskom kecil.
"Itu Om..."
Hmmmp...
"Tadi Theo yang lirik-lirik janda depan toko," Ricko mengkambinghitamkan Theo yang sedari tadi diam sambil makan snack.
Theo sudah melirik sinis ke arah Ricko. Padahal ia tak tahu apa-apa mengenai pembicaraan keduanya. Namun malah nama dia yang ditumbalkan.
"Lepaskan itu bekapanmu, anakku bisa mati." tegur Arisya saat melihat wajah anaknya sudah memerah.
Huh... Huh...
"Ndak bica belnapas catu detik lagi, mati nih Gheo. Ndak punya pelasaan ini emang Om penculi hati janda," gerutu Gheo sambil menetralkan nafasnya berulangkali.
Arisya hanya menggelengkan kepalanya melihat kelakuan mereka berdua. Sedangkan melihat Theo yang tampak anteng, Arisya sedikit ngeri. Khawatir jika anaknya itu menjadi pribadi yang tertutup dan menyimpan semuanya sendiri.
"Ibu bawa apa?" tanya Theo yang melihat Arisya melamun sambil menatapnya. Mendengar pertanyaan itu, Arisya begitu terkejut dan langsung tersenyum ke arah Theo.
"Air es, buat kompres punggung Om Ricko." Jawab Arisya yang kemudian duduk di dekat Ricko. Sedangkan laki-laki itu sangat tersentuh dengan perhatian kecil dari Arisya. Ternyata Arisya masih memikirkan tentang punggungnya yang dipukul sapu lidi oleh Ibu Anjani.
"Cini bial Theo caja. Ibu ndak boleh pegang-pegang olang yang bukan kelualgana," Theo meminta baskom dan kain kecil yang dibawa oleh Arisya.
"Biar Ibumu saja, dia lebih telaten." Walaupun apa yang diucapkan oleh Theo benar adanya, namun ia ingin Arisya mengompres punggungnya.
"Kita cama-cama laki-laki, blo. Dipikil Theo ndak tahu modus laki-laki cepelti apa ya. Janan pikil anak kecil cepeltiku ndak tau apa yang ada di pikilanna Om itu," Theo sedikit mendekati Ricko kemudian berbisik.
Ricko sampai tersentak kaget mendengar ucapan dari Theo. Dirinya mendadak malu pada Theo yang mengetahui modusnya. Ia hanya ingin merasakan sedikit perhatian dan sentuhan lembut dari Arisya.
"Ini kalau Theo mau kompresin punggungnya Om Ricko," Arisya menyerahkan baskom dan kain kecil di tangannya ke arah Theo. Tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara keduanya.
"Ibu bantu Mbak Mega dulu di depan," pamitnya pada kedua anaknya.
"Siap, Bu."
"Blo, tadi lagi pada nomongin apa? Kok kalian pada bicik-bicik?" Tiba-tiba saja Gheo menatap Ricko dan Theo untuk meminta penjelasan. Gerak-gerik keduanya sangat mencurigakan dan penuh rahasia. Gheo juga tak mau ketinggalan untuk tahu setelah melihat Arisya pergi.
"Ulusan laki-laki. Kamu ndak ucah ikut," ucap Theo yang kini langsung membantu Ricko menaikkan pakaiannya ke atas.
"Heh... Theo, Gheo ini juga laki-laki ya. Kita cemua laki-laki, butan walia yang ada di pelempatan cana talo malam." seru Gheo sambil menggelengkan kepalanya.
Ricko menahan tawanya saat mendengar perdebatan itu. Ada rasa hangat dalam hati laki-laki itu. Semenjak mengenal Arisya dan kedua anaknya, hidupnya lebih berwarna. Yang biasanya hanya berkutat dengan pekerjaan, kini ia seperti mendapatkan hiburan.
"Kalian ini berdebat terus. Apa nggak capek? Om saja yang dengar sudah capek lho ini," Ucap Ricko sambil terkekeh pelan.
Ndak...
Aww...
Pelan-pelan dong kompresnya,
Dasal tukang modus,
Mau dekati Ibuku? Hadapi dulu nanak-nanakna,
Om belikan permen nanti kalau diijinkan dekati Ibumu itu,
Ndak ada halga dilina cama cekali. Maca Ibuku yang tantik itu ditukal cama pelmen,
Lalu mintanya apa?
Mobil dan kontlakan celatus pintu?
Ha?