Misda terpaksa harus bekerja di kota untuk mencukupi kebutuhan keluarga nya. Saat Dikota, mau tidak mau Misda menjadi LC di sebuah kafe. Singkat cerita karena godaan dari teman LC nya, Misda diajak ke orang pintar untuk memasang susuk untuk daya tarik dan pikat supaya Misda.
Bagaimana kisah selanjutnya? Ikuti cerita novelnya di SUSUK JALATUNDA
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Setelah cepat-cepat berganti pakaian di kamar kost kecil yang hanya berjarak beberapa langkah dari kost Misda, Dona menggigit bibir bawahnya sebelum melangkah keluar. Hari ini mereka sama-sama libur dari kafe, tapi pikiran Dona sudah melayang pada urusan lain.
Diam-diam dia menyelipkan ponsel ke dalam tas, tempat pesan pekerjaan wanita panggilan yang selalu membuat dadanya berdebar. Penginapan di pusat kota itu sudah tampak dari kejauhan ketika Dona sampai, dan tanpa banyak basa-basi, dia menekan bel kamar Tuan Robert.
Pria paruh baya yang sering menjadi pelanggan setianya itu membuka pintu dengan senyum setengah dipaksakan, menyembunyikan lelah yang jelas terpancar di matanya. Tuan Robert, seorang duda yang kehilangan istrinya karena penyakit parah beberapa tahun lalu, memang cukup berduit tapi kesepian itu yang membuatnya terus datang kepada Dona. Dona tahu, di balik tatapan dingin dan pembayaran yang selalu tepat waktu, ada kerinduan yang tak pernah bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Tuan Robert berdiri di depan pintu dengan kaki melangkah gelisah, dahi mengernyit jelas.
"Masuklah, Dona! Aku sudah menunggu terlalu lama," suaranya terdengar tegang, sedikit geram karena kesabaran mulai menipis.
Dona menghampiri pria berotot dengan kulit cokelat gelap itu, langkahnya ringan namun penuh tekad. Dengan lembut dia membungkus tubuh sang pria dalam pelukan, berusaha menenangkan amarah yang membara.
"Sayang, jangan marah dong," bisiknya pelan sambil menatap bola mata yang mulai berkilau karena harap.
"Malam ini aku janji, aku akan buat kamu puas. Kamu minta berapa pun, aku rela. Aku di sini cuma untuk kamu, sampai pagi." Tatapan pria itu melembut, senyum tersungging di sudut bibir.
"Benarkah? Kalau begitu, ayo layani aku! Bikin aku lemas sampai pagi, sampai lupa dunia. Kalau perlu, goyanganku sampai bikin aku mati!" ucap Tuan Robert penuh hasrat. Dona tertawa ringan, tangannya mulai membantu membuka kancing baju pria itu sambil menggodanya,
"Husss, jangan bilang begitu! Kalau kamu mati, siapa yang kasih aku banyak uang lagi? Kamu kan pelanggan setiaku yang paling aku sayang, Hem?".
Malam itu, mereka berdua hampir tak mengenal waktu, saling menantang batas tubuh masing-masing di atas ranjang. Tuan Robert, dengan bantuan obat kuat yang sengaja ia konsumsi, semakin perkasa, napasnya berat dan penuh semangat. Dona, yang mulai kelelahan, hanya bisa membiarkan dirinya dibawa arus gelora tuan Robert, tubuhnya bergerak mengikuti irama liar yang tak henti-henti.
Menjelang tengah malam, sesuatu terasa berbeda di dalam tubuh Dona. Tubuhnya mulai meliuk-liuk lebih menggoda, semakin menggila di atas pria berkulit hitam itu. Tuan Robert tertawa pelan, penuh kemenangan, matanya berbinar menyaksikan semangat Dona yang membara. Namun perlahan, tawa itu memudar. Keringat membasahi dahinya, tubuhnya terasa seperti tersedot habis tenaga.
“Aough, Dona sayang! Cukup, sayang! Aku sudah tidak kuat lagi,” suaranya serak, bergetar.
Tapi Dona, yang terpacu oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan, tetap menari liar di atasnya, tak menghiraukan keluh pria itu.
"Bukannya kamu yang meminta supaya aku menggoyangmu sampai lelah, Hem? Hahaha," ucap Dona dengan mata yang membesar dan memerah.
Namun, Robert menyadari bahwa Dona kali ini berbeda dari biasanya. Ada semangat yang luar biasa dalam gerakannya, seolah energi yang kuat menguasainya.
"Maaf, Dona, tolong berhenti," pinta Robert dengan napas yang mulai tersengal, sementara kedua tangan Dona terasa menekan lehernya, membuatnya sulit bernapas.
Dona terus bergerak dengan penuh gairah, menggoyangkan pinggulnya tanpa henti. Robert yang sudah mengonsumsi obat kuat merasakan jantungnya berdegup kencang, namun tubuhnya mulai melemah. Wajahnya semakin pucat, dan ia berusaha memohon agar Dona mengurangi intensitasnya, meski Dona tetap tak berhenti.
Suara tawa Dona meledak nyaring, hampir membuat lidah Tuan Robert kelu saat kedua tangannya terasa mencekik leher pria itu. Tangan kiri Tuan Robert berusaha keras merenggangkan cengkeraman Dona, tapi kekuatan gadis itu terlalu kuat, membuat napas pria berkulit hitam itu tersengal-sengal. Matanya melebar, tubuhnya mulai melemah, perlahan jatuh tak berdaya.
Dona terjatuh tepat di atas tubuh Tuan Robert, tubuh mereka masih bersentuhan erat. Detik kemudian, Dona tersentak sadar, melepaskan dirinya dengan cepat sambil menatap wajah pria itu. Matanya kini memancarkan sesuatu yang berbeda, dingin dan tajam.
“Apa yang baru saja terjadi?” gumamnya penuh kebingungan, suaranya bergetar saat ia merunduk memastikan kondisi pria berkulit hitam itu. Tapi wajah kaku tanpa kehidupan itu membuat jantungnya tercekat.
“Ini... dia sudah tidak bernyawa?” panik merayap dalam dada Dona. Namun ingatannya membayang samar: tadi dia seperti kehilangan kesadaran, jatuh pingsan tanpa tahu apa yang terjadi. Rasa bersalah dan ketakutan bercampur, memenuhi seluruh pikirannya.
Dona menggigit bibir bawahnya, jantungnya berdegup kencang.
"Bagaimana ini? Aku tidak mau dianggap pembunuh," bisiknya pelan, matanya membelalak menatap sekeliling kamar sempit itu. Dengan tangan gemetar, ia mulai merapikan barang-barang di meja, seolah-olah berusaha menghapus setiap jejak yang tertinggal.
"Tuan Robert kan sudah minum obat kuat, iya... sisa obat itu masih ada," pikirnya cepat, menelisik tas kecil di sudut.
Tanpa menoleh lagi, Dona merogoh dompet tuan Robert, tangannya cepat mengambil tumpukan uang yang tersisa. Nafasnya tersengal saat langkah kakinya menapak ke luar kamar penginapan, mencoba menampilkan wajah tenang seakan tak ada apa-apa yang terjadi. Namun di balik itu, dada Dona terasa sesak. Matanya berkaca-kaca membayangkan tuan Robert, pelanggan yang selalu dipercaya, kini tergeletak tak berdaya setelah bersama dirinya.
"Kenapa harus kau, Tuan Robert? Kenapa aku tak bisa mencegah semuanya?" pikir Dona sambil mengendalikan motornya yang melaju pelan di jalan sepi malam itu. Pandangannya kosong, terganggu oleh perasaan bersalah yang menekan.
"Kenapa ratu iblis memilihmu jadi tumbal, bukan yang lain?" gumamnya dalam hati. Angin dingin menyapu wajahnya saat ia mengarahkan motor ke kost Misda, dadanya masih bergemuruh tak menentu.
"Aku takut pulang sendiri malam ini," lirih Dona, suara itu hampir tenggelam oleh deru mesin,
"Mending tidur di kost nya Misda dulu saja."
Saat motor melaju menuju kost Misda, bayangan sosok pria pucat dan kaku dengan wajah mirip Tuan Robert muncul di belakang Dona, merangkul pinggangnya dengan cengkeraman dingin yang tak terelakkan.
Dona menjerit ketakutan, suaranya pecah menembus angin malam, tapi dia tetap menggenggam setang motor dengan sekuat tenaga, seolah nyawanya bergantung pada laju itu.
Orang-orang di sekitar yang menyaksikan pemandangan itu hanya bisa menatap dengan rasa ngeri dan heran, bingung melihat wanita yang berteriak sendiri sambil terus mengendalikan motornya, seolah melawan bayangan kelam yang menempel di tubuhnya.
Sekuat tenaga, Dona mengatur napasnya yang tersengal. Tangan gemetarnya berusaha membuka pintu kost Misda, meski jantungnya berdetak secepat badai. Matanya masih terpaku pada bayangan pria yang tadi muncul, sosok yang sangat mirip dengan Tuan Robert, tapi entah kemana dia menghilang begitu saja.
"Wajahmu pucat banget, Dona. Ayo masuk, duduk dulu,"
Misda menyambut dengan suara lembut, merangkul bahu Dona. Dona menggigit bibirnya, berusaha mengumpulkan sisa keberanian. Dia melangkah masuk, membiarkan diri merasakan kenyamanan yang perlahan mengusir ketakutan di dalam dadanya..