“Jangan sok suci, Kayuna! Kalau bukan aku yang menikahimu, kau hanya akan menjadi gadis murahan yang berkeliling menjual diri!”
Demi melunasi hutang ayahnya, Kayuna terpaksa menikah dengan Niko — CEO kejam nan tempramental. Ia kerap menerima hinaan dan siksaan fisik dari suaminya.
Setelah kehilangan bayinya dan mengetahui Niko bermain belakang dengan wanita lain. Tak hanya depresi, hidup Kayuna pun hancur sepenuhnya.
Namun, di titik terendahnya, muncul Shadow Cure — geng misterius yang membantunya bangkit. Dari gadis lemah, Kayuna berubah menjadi sosok yang siap membalas dendam terhadap orang-orang yang menghancurkannya.
Akankah Kayuna mampu menuntaskan dendamnya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SooYuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30
Plak!
Satu tamparan menghantam keras wajah Niko.
Pria bertubuh kekar itu pun hanya menoleh ke samping, meringis perih tanpa berani melawan.
“Berandal! Kau sama sekali tak bisa diandalkan!” bentak Erik Mahendra — ayah Niko.
Pria paruh baya yang baru saja tiba ke tanah air, setelah bertahun-tahun meniti karir di luar negeri. Ia mendadak kembali karena mendengar kekacauan kembali terjadi di perusahaan, ulah anak laki-lakinya yang tidak kompeten.
“Ini bukan pertama kalinya, sialan!” Erik mendengus kesal, ia berkacak pinggang, tatapannya meruncing pada putranya.
“Aku akan segera membereskannya, Ayah.” Niko tampak menunduk sambil merendahkan suaranya.
“Membereskan apa yang kau maksud? Hah?!” Erik masih naik pitam. “Mengurus istri bodohmu saja kau tidak becus! Apalagi mengurus perusahaan yang besar. Dari awal seharusnya aku tak membiarkanmu naik jabatan, bukannya menguntungkan, kau hanya menghambat kesuksesan!”
Erik menarik napas dalam-dalam. “Temukan istrimu yang tak berguna itu! Kalau sampai berita tentang dia semakin memanas, dan rumor tentangmu kembali beredar, hingga berimbas pada MH Group. Kau … orang pertama yang akan ku usir dari rumah ini!”
Niko meneguk ludah kasar. Sama sekali tak berani mengangkat wajah. “Ya, Ayah,” jawabnya singkat.
Erik kemudian menapakkan kaki menuju kamarnya, sementara Vena—ibu Niko, berdiri di sisi tangga, memperhatikan dengan tatapan setengah tak terima — melihat sang putra tampak berdiam tak bisa berbuat apa-apa.
Niko mendesis. “Wanita sialan itu!” Dadanya naik-turun menahan emosi yang nyaris pecah. Kepalanya terasa berat, setelah menghilangnya Kayuna, tak sehari pun ia bisa tidur dengan tenang.
***
Di sebuah ruangan sempit dan menyesakkan, air sengaja dibiarkan terus mengalir meski bak penadahnya sudah penuh. Debaran jantungnya kian menderu, Airin duduk di atas sitting toilet.
Bibir bawahnya terus bergetar, sesekali ia mengulumnya erat-erat. “Bagaimana ini? Gimana caraku ngomong ke Mas Niko? Dia lagi sibuk banget dengan urusan kantor, apalagi masalah Kayuna sialan itu.”
Airin terus bergumam, rautnya terbesit kecemasan. Tangannya menggenggam sesuatu yang mirip stik kecil berwarna biru. Dua garis merah terlihat jelas di bagian stik tersebut.
Brak!
Terdengar seseorang membuka pintu toilet. Airin langsung membungkam mulutnya, tangannya cekatan menyembunyikan alat tes kehamilan ke dalam tas kecilnya.
“Ren, kamu kenal deket sama Airin, ‘kan?”
‘Itu … suara Riska?’ batin Airin. Ia masih duduk di toilet, dengan mengangkat kakinya ke atas, agar tak ketahuan sedang bersembunyi di sana.
Telinganya terbuka lebar — menguping percakapan Riska dan Rena, rekan kerjanya.
“Iya, aku tetangga kompleksnya,” sahut Rena.
“Kamu kenal juga sama sepupunya?” tanya Riska lagi.
“Sepupu?” Rena tampak menyipitkan mata. “Aku kurang tau, setauku saudaranya nggak ada yang di kota. Karena dia kan pindahan dari desa, kemungkinan keluarganya banyak yang tinggal di desa.”
“Benarkah?” Riska tampak menyeringai remeh. “Beberapa hari ini, apa ada saudaranya yang datang ke rumahnya?”
Rena menggeleng. “Kenapa? Kamu kepo banget sama Airin.” cetusnya.
Riska yang sedang bercermin sambil mencuci tangannya di wastafel. kini merapatkan diri di dekat Rena. Suaranya setengah berbisik. “Aku kemarin ketemu Airin di klinik, dan tau apa yang kulihat? Dia lagi duduk ngantri di depan ruangan dokter kandungan.”
Rena membelalak. “Hah?!” Suaranya melengking — menggema di ruangan.
“Ssttt,” bisik Riska sambil menekan mulut dengan telunjuknya. “Jangan kenceng-kenceng.”
Rena mencondongkan tubuh, mendekatkan diri ke Riska, demi agar mendengar jelas informasi gosip terpanas. “Ngapain dia ke dokter kandungan?”
“Dia bilang … nemenin sepupu, tapi aku nggak yakin.” Riska menyunggingkan bibirnya. “Jangan-jangan … dia yang hamil.”
Rena menajamkan pendengarannya. Hingga tiap detail kalimat yang dilontarkan Riska, menancap di telinganya. “Masa sih, Ris? Kira-kira siapa pria yang menghamilinya?”
“Aku curiga, dia main gila sama Pak Niko. Liat aja sekarang, nggak ada angin nggak ada ujan, kantor kita heboh dengan pengumuman identitas istri CEO. Aku dengar dari orang atas, katanya ….” Riska sengaja menggantung kalimatnya, lalu melanjutkan dengan nada rendah namun tajam.
“Istri CEO murka karna mengetahui perselingkuhan itu. Jadilah dia meretas website perusahaan dan mengumumkan identitasnya.”
Rena menggelengkan kepala, rautnya seolah mengatakan jijik tanpa suara. “Dih! Nggak nyangka Airin jadi wanita simpanan.”
Riska mengangguk, bibirnya masih terus lincah menggunjing rekan kerjanya. “Kalau jadi istri sah, aku juga pasti murka-lah. Bakal tak cabik-cabik tuh muka pelakor, kujambak sampe abis tuh rambutnya. Ku peting, kubejek-bejek! Musnahkan pelakor!”
Rena cekikikan sambil menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan.
Sementara di balik bilik toilet yang tertutup. Airin mengerang tanpa suara, raut wajahnya sudah merah menggambarkan rasa yang sulit dijabarkan. ‘Mulut para jalang ini!’ geramnya dalam hati.
Di sisi pintu masuk toilet. Tampak seorang wanita mengenakan seragam petugas kebersihan, ia menempelkan kupingnya lekat-lekat ke dinding, berusaha menangkap kasak-kusuk berita dari dalam sana.
“Hamil?” gumamnya tak percaya.
Ia kemudian menyentuh telinga. “Wah, berita besar, Bos.” Laudia berkata lirih.
Dengan senyum penuh niat terselubung, ia kembali memegang gagang sapu, berpura-pura menyapu di sekitar area itu.
Kala salah satu karyawan wanita melintas di sana, dengan sigap Laudia menghampirinya. “Eh, Mbak. Udah denger gosipnya belum?”
Gadis yang dikenal pendiam, garang, dan berwajah datar itu kini tampak luwes menyebarkan berita, yang ia pun sebenarnya tak tahu kebenarannya.
Dalam sekejap, gosip beredar luas ke seluruh penjuru gedung. Cap pelakor dan wanita hina, siap menjatuhkan harga diri Airin.
***
“Aaaaakh!!!” Kayuna menjerit di balik ruangan, dua staf wanita dan satu waria sibuk mondar-mandir di dekatnya.
Wanita dengan senyum berlesung pipi, mengenakan seragam rapi berwarna maroon, sibuk mengolesi sebuah bodycare di bagian betis Kayuna. Lalu menempelkan waxing strip dan menariknya.
“Aaaaakkhh!!” Kayuna kembali berteriak.
“Mbak. Udah, Mbak. Cukup!” serunya sambil menaik-turunkan dada — mengatur napasnya.
Seorang waria mengusap lembut bahu Kayuna. “Sabar, Sayang … si Ganteng bilang kamu harus tampil maksimal hari ini,” ujarnya.
“Tapi, Buk ….”
“Buk?!” Alis si waria menukik tajam. “Call me MADAM! M.A.D.A.M.” Mulutnya menganga lebar, mengeja satu per satu huruf kapital.
Kayuna terperangah, kaget bercampur perih bekas bulu-bulu halus yang terangkat paksa dari betisnya.
“Ma-maaf, Madam.” Kayuna menelan ludah.
.
.
.
Sebagai mantan seorang model yang dahulu cukup dikenal, namun dalam sekejap mimpi dan cita-cita Kayuna runtuh, digulung kenyataan yang sangat tak ia harapkan.
Pernikahannya dengan Niko, bukan mengangkat derajatnya. Justru namanya kian redup seolah hilang ditelan bumi yang tak pernah mengembalikan apapun.
Sebelumnya, Adrian dan Kayuna sudah sepakat akan mengeksekusi misi hari ini.
Adrian bukanlah dokter biasa, berkat geng yang ia dirikan, membuatnya sering bertemu dengan banyak dan macam-macam orang.
Melalui koneksinya, Adrian menemui Madam Merry, seorang waria sekaligus pendiri agensi yang menaungi beberapa aktris, aktor dan model ternama.
Setelah bertemu Kayuna, bola mata Madam Merry terbuka lebar-lebar seolah baru saja menemukan berlian di antara tumpukan jerami.
Pesona dan auranya memancar menyilaukan manik pekat Madam Merry.
‘Ini … permata yang kucari,’ batin Madam Merry.
Tanpa pikir panjang. Pria setengah wanita berambut pirang dan berhidung runcing itu pun segera menerima dan membawa Kayuna ke sebuah salon miliknya.
Ia menyulap Kayuna bak Cinderella yang baru saja bangkit dari keterpurukan.
“Ini konsep yang kuinginkan, Say,” ujar si Madam sambil tersenyum puas.
Kayuna mengulum senyum. Gaun yang membalut tubuhnya jatuh anggun mengikuti lekuknya, membuat setiap gerakan kecil terlihat lebih mempesona dari biasanya. Wajah jelitanya tak kalah indah dari gaun bercorak merah menyala yang dikenakannya.
Madam Merry menyibak tirai, sosok pria berparas rupawan tampak membuka perlahan mulutnya, terbuai akan kecantikan Cinderella yang diselamatkannya.
“Adrian, gimana penampilanku?” tanya Kayuna.
Adrian tak menjawab, ia masih menganga sambil memindai dari ujung kaki hingga rambut Kayuna.
“Hmmm … si Gantengmu itu pasti sangat terpesona!” celetuk Madam Merry.
“Bos …,” bisik Danar yang duduk di samping Adrian, sikunya tampak sibuk menyenggol lengan Adrian.
“Hah? Cantik, iya cantik.” Adrian tergagap.
Beberapa pasang mata tampak memahami sorot netra Adrian yang tak melepas pandangan sedetikpun dari Kayuna. Lalu Madam Merry memberi isyarat pada Danar untuk meninggalkan ruangan.
Hanya tersisa Adrian dan Kayuna di sana. Adrian lalu melangkah mendekat. “Kamu sudah siap?”
Kayuna tersenyum simpul, lalu mengangguk pelan. “Aku siap.”
Adrian menyodorkan tangannya agar Kayuna menggandengnya. Meski sempat kikuk tapi Kayuna segera tanpa ragu menerima tawaran itu.
Beriringan dengan langkah pelan, namun jantungnya berdegup kencang. Kayuna berbisik pelan di hatinya.
‘Dari sini, semua kumulai setelah melangkahkan kaki keluar dari ruangan ini. Dengan sentuhan lembut tangan seorang pria yang siap menjadi perisaiku, akan kupastikan. Orang-orang yang dahulu menjatuhkanku akan membayar dengan tunai! Hina dibalas hina, sakit dibalas sakit, darah … dibalas darah.’
*
*
Bersambung.