“Sah!”
Di hadapan pemuka agama dan sekumpulan warga desa, Alan dan Tara terdiam kaku. Tak ada sedikitpun senyum di wajah meraka, hanya kesunyian yang terasa menyesakkan di antara bisik-bisik warga.
Tara menunduk dalam, jemarinya menggenggam ujung selendang putih yang menjuntai panjang dari kepalanya erat-erat. Ia bahkan belum benar-benar memahami apa yang barusaja terjadi, bahwa dalam hitungan menit hidupnya berubah. Dari Tara yang tak sampai satu jam lalu masih berstatus single, kini telah berubah menjadi istri seseorang yang bahkan baru ia ketahui namanya kemarin hari.
Sementara di sampingnya, Alan yang barusaja mengucapkan kalimat penerimaan atas pernikahan itu tampak memejamkan mata. Baginya ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Ia tak pernah membayangkan akan terikat dalam pernikahan seperti ini, apalagi dengan gadis yang bahkan belum genap ia kenal dalam sehari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rienss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Tara dan Lira
Setelah melewati satu setengah jam yang terasa seabad lamanya, Tara akhirnya bisa keluar dari ruangan CEO ketika jam istirahat makan siang tiba.
Dengan langkah yang lebih ringan gadis itu turun ke lantai dua tempat cafetaria berada. Tadi pagi ia sudah janjian makan siang dengan Rio dan juga Sena di sana.
Begitu tiba di tempat yang dituju, Tara langsung ke counter pemesanan untuk memesan menu makan siangnya, semangkuk soto ayam plus segelas es teh manis. Aroma kuah soto ayam yang khas membuatnya semakin tak bisa menahan lapar.
Begitu selesai dengan pesanannya, ia pun membawa nampan berisi makanannya itu ke salah satu meja di pojokan ruang, tempat Rio dan Sena menunggunya sejak beberapa menit lalu.
“Ah, akhirnya Lo datang juga,” ujar Rio sambil menyeruput es teh manisnya.
Tara tersenyum tipis, menaruh nampan ke atas meja sebelum menarik kursi untuk dirinya sendiri di samping Sena, gadis bermata sipit itu sudah lebih dulu menyendokkan makanannya.
“Maaf, tadi mendadak harus revisi laporan,” jawab Tara sambil duduk. Ia kemudian menghela napas panang, lega karena akhirnya bisa terlepas dari ketegangan yang sempat terjadi di ruangan Alan.
“Bagaimana kerja di timnya Pak Alan?” tanya Sena sambil mengunyah makanan di mulutnya. “Apa kamu mengalami kesulitan?”
Butuh beberapa detik bagi Tara untuk berfikir sebelum akhirnya menjawab, “Sedikit kesulitan sih,” ujarnya diiringi hembusan napas panjang. “Tapi... satu minggu ke depan, aku ingin berusaha semaksimal mungkin.”
Kedua teman semeja Tara itu mengangguk-angguk, meski baru saling mengenal, tapi mereka tahu seperti apa kegigihan Tara dalam bekerja.
“Lo tahu, Pak Dirga sepagian tadi marah-arah terus di meetin,” ucap Rio bergeser ke topik selanjutnya, mengingat bagaimana Dirga membanting map dengan kasar setibanya pria itu di ruang meeting di divisi keuangan. “Pak Andri sampai kena semprot beberapa kali, dia sampai bengong nggak tahu harus bilang apa.”
“Benarkah?” Tanya Tara sedikit terkejut. Ia merasa mungkin itu imbas dari kejadian pagi tadi di tangga darurat. Rico tadi sempat berbisik padanya tentang perdebatan sengit antara Alan dan Dirga tentang dirinya.
Rio mengangguk, begitu juga Sena. “Padahal dari segi pekerjaan, tidak ada yang salah,” timpal Sena. “Kayaknya sih ada hal lain yang mengganggu pikirannya.”
Obrolan mereka pun berlanjut, membahas bagaimana suasana tegang di ruang meeting pagi tadi. Beberapa spekulasi tentang Dirga mereka lontarkan, dan sejauh itu Tara memilih lebih banyak mendengarkan.
Tiba-tiba ponsel Tara bergetar, gadis itu mengalihkan perhatiannya sebentar dari obrolan itu.
Ketika ia melirik layar ponsel jadulnya , kening Tara berkerut. Sebuah notifikasi pesan masuk dari nomor kontak yang ia namai ‘Pak Alan’ muncul di sana.
“Kenapa lagiii orang itu,” gumamnya dalam hati. Ia masih agak kesal namun tetap membuka pesan tersebut.
“Bawakan aku makan siang sekalian, seperti yang kamu makan. Aku tahu kamu sedang di cafetaria.”
Tara mendengus pelan, bisa-bisanya bos menyebalkannya itu menyuruhnya membawakan makanan. Dan, soto ayam? Benarkah? Apa dia tidak akan protes dan mengomel seperti dulu saat dia tahu bukan steak atau ayam panggang yang ia dapatkan?
“Lo kenapa, Ra?” tanya Sena yang menyadari perubahan ekspresi Tara.
Tara cepat-cepat menggeleng, berusaha menutupi rasa kesalnya. “T_tidak ada. Hanya... pesan dari Bu Rinda yang nyuruh aku segera kembali,” jawabnya, terpaksa berboohong.
Rio menggeleng-geleng sambil berdecak, “Orang-orang di lantai atas memang terkenal gila kerja semua, Ra. Kamu yang sabar, ya,” katanya, berusaha menghibur.
Tara mengangguk, salah satu tangannya sempat menggaruk tengkuk.
Ting
Ponsel Tara kembali berdenting. Gadis itu menatapnya, dan lagi-lagi pesan masuk dari Alan.
“Tara cepatlah. Aku belum makan dari pagi.”
Tara spontan membuang muka, bertambah kesal dengan permintaan Alan. Memangnya jika pria itu belum makan dari pagi harus menjadi urusannya? Bukankah itu masalahnya sendiri? Lagian bukankah seharusnya dia bilang pada istri yang diagung-agungkannya itu? Kenapa juga harus mengeluh padanya?
Namun pada akhirnya tak ada yang bisa Tara lakukan, ia merasa tidak bisa menolak untuk sekarang. Alsannya satu, ia masih butuh pekerjaan di perusaan itu. Bukan yang lain.
“Ra, kalau kamu sibuk duluan aja, gih. Daripada kena semprot bu Rinda,” ujar Sena
Tara menghela napas panjang. Dan akhirnya ia pun beranjak, siap melangkah pergi.
Namun sebelum benar-benar pergi meninggalkan meja itu, ia sempatkan menyeruput es teh manisnya hingga hampir tandas.
“Mubadzir, sudah kebeli,” ujarnya dengan nada sedikit kesal, membuat Rio dan Sena geleng-geleng kepala.
Dengan langkah terpaksa Tara kembali melangkah menuju counter untuk membelikan pesanan Alan. Dalam hati gadis itu bertekad untuk minta ganti dari Alan nanti. Uang di dalam dompetnya sudah menipis saat ini. Hanya cukup untuk biaya makan dan transportasi dua hari ke depan, selain itu ia tidak bisa berharap banyak. Tidak mungkin ia harus selalu menyusahkan Fifi.
Setelah mendapatkan pesanan Alan, Tara bergegas kembali ke ruangan CEO dan langsung menyerahkan bungkusan yang dibawanya pada yang bersangkutan. Tak lupa, Tara juga menyerahkan bill pembayaran dari saku blazernya dan menyodorkannya pada Alan.
“Ini tagihannya, Pak,” ujar gadis itu tenang. “Saya harap Bapak bisa menggantinya sekarang juga.”
Rico yang saat itu duduk di seberang meja Alan sampai melebarkan mata, tawanya hampir meledak andai ia tak segera menahannya. Bosnya yang selama ini tidak pernah memikirkan tagihan, kali ini disodori nota tagihan yang jumlahnya sangat tak seberapa. Dan Tara, gadis itu sudah seperti debt collector saja saat menagihnya.
Alan menatap lembaran kecil itu sesaat sebelum mengambilnya dari tangan Tara. Pertama-tama ia melihat nominal tagihan yang tertera di bagian bawah, setelah itu matanya beralih ke atas membaca item makanan yang tertera di sana.
“Tidak ada steak atau ayam panggang,” ujar Tara seolah tahu isi kepala Alan yang pasti akan memprotes, membuat Rico sampai menatap heran pada keduanya.
“Jadi... kau meminta ganti uangmu?” tanya Alan meletakkan bill itu ke atas meja. Setelah itu ia pun mulai membuka bungkusan dari Tara. Benar, seporsi soto ayam dan satu cup es teh manis.
“Tentu saja. Itu jatah uang makan saya, Pak,” jawab Tara jujur. Ia sama sekali tidak malu mengatakan itu di depan orang kaya seperti Alan dan juga Rico.
Alan mengangguk kecil, “Baiklah...” ujarnya yang kemudian mengeluarkan dompet dari saku celana, mengeluarkan beberapa lembar uang lalu menyodorkannya pada Tara. “Ini.”
Tara menaikkan sebelah alis. “Itu kebanyakan. Saya hanya minta sesuai nominal yang tertera di sana,” sahut Tara sambil menunjuk bill di atas meja.
Sementara Rico hanya diam di kursinya sembari memperhatikan interaksi mereka.
“Tapi saya tidak punya uang receh,” ucap Alan menatap gadis itu.
Tara diam beberapa detik sebelum tangannya bergerak mengambil satu lembar uang dari tangan Alan. Setelah itu, tangannya beralih merogoh saku blazernya sendiri dan mengeluarkan beberapa lembar uang miliknya lalu menyerahkannya pada Alan.
“Ini kembaliannya, Pak.”
Alan hanya mentapanya tanpa berkomentar apapun.
“Kalau begitu saya permisi, Pak,” ujar Tara sambil sedikit membungkuk, kemudian berbalik tanpa menunggu sahutan.
Alan menatapnya, demikian juga Rico yang menoleh pada Tara dengan tatapan heran dan masih bercampur tak percaya.
Tara yang barusaja hendak meraih handle pintu terhenyak ketika tiba-tiba pintu terbuka perlahan dari arah luar.
Seorang wanita dengan pakaian bagus muncul dengan membawa sebuah paperbag besar.
Mata mereka sempat saling beradu sesaat, sebelum akhirnya Tara menunduk sopan sebagai tanda hormat.
Sedangkan wanita itu hanya tersenyum, lalu perhatiannya langsung beralih ke arah Alan.
“Mas, apa aku mengganggu?” ujar wanita itu riang. “Aku membawakan makan siang untuk Mas.”
Di kursinya Alan seketika membeku.