Kayyisa nggak pernah mimpi jadi Cinderella.
Dia cuma siswi biasa yang kerja sambilan, berjuang buat bayar SPP, dan hidup di sekolah penuh anak sultan.
Sampai Cakra Adinata Putra — pangeran sekolah paling populer — tiba-tiba datang dengan tawaran absurd:
“Jadi pacar pura-pura gue. Sebulan aja. Gue bayar.”
Awalnya cuma kesepakatan sinting. Tapi makin lama, batas antara pura-pura dan perasaan nyata mulai kabur.
Dan di balik senyum sempurna Darel, Reva pelan-pelan menemukan luka yang bahkan cinta pun sulit menyembuhkan.
Karena ini bukan dongeng tentang sepatu kaca.
Ini kisah tentang dua dunia yang bertabrakan… dan satu hati yang diam-diam jatuh di tempat yang salah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dagelan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Kelas Sultan, dan Sarkas Murahan
Sebenarnya, ide ikut kelas tambahan itu murni karena alasan pragmatis. Otakku butuh asupan materi, dan rumahku—dengan tiga adik yang hobinya karaokean tanpa mikrofon—bukan tempat yang kondusif. Bukan berarti aku mendadak jadi kutu buku kayak tokoh utama drama remaja yang tobat setelah kesandung batu. Nggak, aku cuma butuh tempat yang lebih tenang dari kebun binatang.
Masalahnya, aku lupa satu detail kecil, detail yang seharusnya jadi red flag sebesar baliho kampanye: Darrel Adinata juga ikut kelas yang sama. Dan kelas ini bukan kelas biasa. Ini… kelas sultan.
Begitu aku melangkah masuk, hawa dingin langsung menyergap. AC-nya pasti disetel di level Arktik. Kursinya empuk banget, berlapis beludru yang kelihatan mahal, bikin aku parno kalau-kalau ketumpahan tinta pulpen. Papan tulisnya digital, memancarkan cahaya biru yang bikin mata silau. Satu-satunya hal yang terasa familiar dan agak merakyat cuma papan absensi di depan yang tulisannya pakai spidol murahan, hasil karya Pak Budi yang tulisannya kayak cakar ayam.
Aku baru sempat duduk di barisan tengah, memilih kursi pojok dekat jendela biar bisa kabur kalau ada apa-apa, ketika suara itu muncul dari belakang. Suara yang selalu santai, tapi entah kenapa selalu berhasil bikin aku pengen ngelempar kamus.
“Yisa! Gue kira lo nggak mau masuk kelas, dan lo alergi tempat elit,” kata Cakra basa-basi.
Aku menoleh. Benar saja, di ambang pintu berdiri Cakra—rambutnya agak berantakan, mungkin habis latihan basket, masih pakai jaket olahraga yang entah kenapa sukses bikin separuh isi kelas, terutama kaum hawa, menatap dengan tatapan memuja. Aura golden boy-nya memang nggak bisa disembunyikan Wajahnya terlihat segar sekaligus berbeda saat kemarin aku bertemu dengannya di halte.
Aku bisa dengar bisik-bisik di belakangku, kayak suara tawon yang lagi nyari sarang.
“Eh, serius itu Cakra ya?”
“Dia ikut kelas ini juga?”
“Cewek itu siapa? Kok barengan?”
Suhu sosial ruangan mendadak naik drastis. Aku merasa seperti alien yang nyasar ke pesta kerajaan. Mendadak menjadi bahan gunjingan.
“Lo mau duduk di mana?” tanya Cakra, melangkah santai ke arahku.
“Lo mau duduk di mana dulu?” balasku, berusaha terdengar cuek.
Dia tersenyum tipis, senyum yang mencapai matanya, tapi ada kilatan jahil di sana. “Di sebelah lo, kalau nggak keberatan.”
“Gue keberatan,” jawabku cepat, tanpa mikir panjang. Dia cuma terkekeh pelan, lalu menggeser tas punggungnya dari kursi kosong di sampingku. “Terlambat. Gue udah naro tas duluan.”
Aku mendengus. “Sultan emang paling jago booking tempat.”
Kelas dimulai. Guru lesnya masih muda—pakai kacamata, gaya semi-formal, dan senyum ramah yang jelas belum tahu apa yang akan dia hadapi kalau dua orang kayak kami duduk bersebelahan. Wajahnya masih polos dan penuh semangat. Aku yakin itu nggak akan bertahan lama.
Cakra, seperti biasa, kelihatan tenang, menyandarkan punggung ke kursi empuk seolah itu sofa di rumahnya. Sementara aku, berusaha mati-matian fokus pada materi persamaan kuadrat yang terpampang di papan digital, tapi gagal total. Gimana bisa fokus kalau cowok di sebelahku ini kayak punya medan magnet yang menarik semua perhatian?
Dia nyengir pas aku melirik, seolah bisa baca pikiranku. “Lo kelihatan kayak lagi ngebunuh rumus pake tatapan.”
“Gue lebih pengen bunuh lo sih, tapi takut masuk berita,” balasku.
Cakra tertawa kecil, suara rendahnya cukup untuk membuat beberapa cewek di barisan depan menoleh dan melotot tajam ke arahku. Tatapan mereka seolah berkata, Jangan ganggu pangeran kami!
“Beritanya pasti rame. ‘Siswi cerdas tapi sinis menyerang siswa idola.”
“Kurang clickbait. Tambahin subtitle: kebanyakan denger suara ganteng, otak jadi korslet.”
Dan dari situ aku sadar satu hal: Teman-teman Cakra—para “sultan” sekolah, lingkaran dalamnya—semuanya ada di sini.
Ada Gio, yang sering nongkrong bareng Cakra di parkiran motor dan dikenal punya otak kayak kalkulator tapi mulut kayak radio rusak. Dia duduk di barisan depan, sibuk mencoret-coret bukunya, tapi sesekali melirik ke belakang dengan senyum misterius.
Ada Sena, cewek tinggi dengan rambut sepundak yang selalu terurai rapi, duduk dua baris di depanku. Dia anak orang kaya raya, sikapnya anggun tapi posesif, kayak bodyguard pribadi Cakra yang siap menangkis semua ancaman. Tatapannya ke arahku lebih mirip sinar laser daripada lirikan biasa.
Dan ada satu cowok lagi—Arvin, yang dari tadi menatapku dengan ekspresi campur antara penasaran, curiga, dan sedikit... geli? Dia sesekali berbisik ke Gio, lalu mereka berdua menunjuk ke arahku dengan dagu.
Setiap kali Cakra nyenggol pundakku saat mengambil pulpen, atau berbisik hal receh yang cuma kami berdua yang dengar, tatapan mereka langsung tertuju pada kami. Kayak nonton film thriller yang lagi nunggu jump scare. Aku merasa seperti figuran yang salah peran di pesta kerajaan, menunggu momen diusir dari singgasana.
Pas istirahat, aku bersandar ke kursi, menghela napas panjang. Udara dingin AC terasa menusuk tulang.
Aku menatap Cakra yang sedang sibuk memutar-mutar pulpen di jarinya. “Teman-teman lo kayaknya mau otopsi gue pake tatapan,” kataku.
Dia menoleh ke arah mereka, santai banget, seolah tatapan menusuk itu cuma angin sepoi-sepoi. “Mereka cuma belum terbiasa lihat gue ngobrol sama orang yang nggak jaim.”
Aku mengangkat alis. “Aku jaim? Justru aku paling jago nggak jaim.”
“Oh iya,” katanya sambil menahan tawa, suaranya lebih pelan, seolah hanya untuk telingaku. “Kita kan lagi pura-pura suka.”
Aku memutar mata. “Terus, bayarannya gimana?”
“Bayaran?” Dia pura-pura mikir, mencondongkan tubuh sedikit ke arahku, aroma parfumnya samar-samar tercium. “Hmm… senyum lo tiap hari udah cukup sih.”
“Gue minta bayaran yang lebih konkret, bukan gombalan receh yang bisa lo dapet gratis dari Google.”
Dia mengangkat alis, senyumnya melebar. “Kalau gitu, lo mau apa?”
Aku menatap papan tulis digital yang kini menampilkan jadwal kelas. “Ajarin gue rumus parabola.”
Cakra tertawa, kali ini lebih lepas. “Lo serius?”
“Serius. Lo pikir gue mau rugi dua kali? Pura-pura suka, otak tetep jongkok.”
Cakra akhirnya ngambil kertas kosong dari bukunya, mulai nulis sesuatu. Tapi entah kenapa, dia malah gambar bentuk hati kecil di pojokan buku catatanku, di samping coretan rumus yang belum selesai.
Aku langsung nyemprot. “Itu rumus apaan?”
“Rumus gravitasi cinta,” jawabnya santai, menatapku dengan mata berbinar.
“Cak, serius dikit bisa gak?”
“Bisa, tapi lo bosen nanti,” katanya, lalu kembali fokus menulis rumus parabola dengan rapi, sesekali menjelaskan dengan suara pelan.
Aku memutar mata, tapi kali ini, aku nggak bisa nahan senyum kecil yang nyaris lolos. Senyum yang buru-buru kusembunyikan di balik buku.
..🍒..
Kelas berjalan lagi. Dan di tengah-tengah penjelasan guru tentang titik puncak grafik, aku perhatiin sesuatu yang lebih menarik daripada rumus.
Sena—cewek penjaga galaksi itu—beberapa kali ngelirik ke arah Cakra. Tatapannya bukan sekadar cemburu, tapi... kayak ada hal yang belum dia cerna. Ada kerutan samar di dahinya, seolah sedang memecahkan teka-teki silang yang rumit.
Arvin juga begitu. Dia sempat berbisik ke Gio sambil nunjuk ke arahku. Gio nyengir kecil, lalu mengangguk-angguk seolah baru saja mendapatkan wahyu.
Oke, ini mencurigakan. Mereka seperti sedang menyusun strategi buat menjatuhkan lawan.
Aku mencondongkan badan sedikit ke arah Cakra, berbisik. “Teman-teman lo kayak lagi rapat rahasia buat nyari tau gue siapa.”
Cowok itu menulis rumus di kertas, tanpa menatap. “Mereka cuma... belum tahu gimana cara lo ngerusak tatanan sosial sekolah dengan mulut lo yang sarkas.”
“Ya, kayak graffiti. Kotor tapi berisi.”
“Guw nggak ngerusak, gue merevitalisasi.”
“Merevitalisasi?” Dia mengangkat kepala, menatapku dengan tatapan geli.
“Ya, kayak graffiti. Kotor tapi berisi.”
Dia akhirnya tertawa kecil, suara tawanya berhasil menarik perhatian beberapa siswa lain.
Sena dari barisan depan sempat menoleh ke arah suara itu, dan aku tahu betul ekspresi itu—antara protektif dan curiga. Mungkin dia pikir aku lagi main api sama “pangeran sekolah”. Aku bisa melihat rahangnya sedikit mengeras.
Padahal, jujur aja, kalau api itu berbentuk kayak Cakra yang sok-sokan ngajarin aku rumus sambil nyoret-nyoret kertas dengan tulisan ‘lo pinter juga kalau nggak sarkas’, ya… mungkin aku juga akan langsung nyiram air. Tidak mungkin aku akan membiarkan api itu membakar sedikit lebih lama, sekadar buat menghangatkan diri.
.....🍒.....
Selesai kelas, semua orang mulai berhamburan keluar kayak tahanan yang baru bebas. Aku beresin buku, siap kabur. Tapi Cakra menahan tasku.
“Nanti pulang bareng, ya. Sekalian bahas kontrak kita.” katanya sedikit berbisik.
Aku mendelik. “Kontrak lo tuh kayak cicilan, nggak ada abisnya.”
“Makanya, kita bahas biar cepet lunas,” jawabnya, dengan senyumnya menawan.
Begitu keluar ruangan, beberapa cewek nyapa Cakra. Ada yang senyum manis sambil mengibaskan rambut, ada yang pura-pura numpang lewat tapi sengaja melambatkan langkah. Cakra hanya membalas dengan anggukan singkat atau senyum tipis, lalu jalan di sampingku, seolah semua mata di ruangan itu nggak penting. Tatapannya lurus ke depan, nggak sedikit pun melirik ke arah mereka. Buat sesaat, aku nggak tahu harus geli atau terharu. Atau mungkin keduanya bercampur jadi satu.
Kami jalan ke parkiran. Udara sore mulai lembap, berbau aspal panas dan sedikit knalpot.
Aku sempat nyenggol pundaknya. “Lo tahu gak, Cak? Gue lumayan suka kelas tadi,” kataku.
“Oh ya? Karena materinya atau karena partner belajarnya?” tanyanya, melirikku dengan senyum menggoda.
“Karena AC-nya dingin,” jawabku cepat, berhasil menahan senyum yang nyaris lolos.
Dia ngakak, suara tawanya renyah. “Oke. Tapi lo betah kan?”
Aku menatap ke arah motor sportnya yang parkir paling mencolok di antara kendaraan lain, warnanya merah menyala, kontras dengan mobil-mobil sedan di sekitarnya.
“Betah sih. Cuma… kayaknya gue salah server.”
“Lo cocok di mana pun, Sa. Lo cuma belum sadar aja,” katanya, menepuk pundakku pelan.
“Lo tuh tahu gak, Cak? Lo bisa banget ngomong kalimat yang niatnya romantis tapi hasilnya bikin eneg.”
“Minimal lo ngerasa sesuatu,” katanya, naik ke motor, lalu memakai helmnya. Aku menatapnya datar. “Ya, pengen muntah.”
Tapi ya, sialnya, aku tetap naik juga ke motor itu. Memegang pundaknya, merasakan jaket kulitnya yang hangat. Dan ketika dia ngebut pelan keluar gerbang, membelah keramaian sore, aku ngerasa sesuatu yang nggak bisa aku akui keras-keras—bahwa mungkin, hanya mungkin… aku mulai menikmati proyek konyol ini lebih dari seharusnya.
✨ Catatan Reva (malam itu):
Cakra Adinata:
Cowok yang bisa bikin semua tempat terasa kayak adegan film,
tapi gue curiga, plot twist-nya nggak bakal seindah trailer-nya.
Catatan tambahan: jangan senyum balik kalau dia senyum duluan.
(Percobaan pertama gagal. Besok coba lagi.)
.....🍒.....
Jika hidupku dijadikan film, judulnya pasti "Kisah Seorang Gadis yang Bertahan Hidup dengan Recehan dan Sarkasme." Genre? Slice of life campur komedi garing. Akhir cerita? Masih to be continued, karena penulisnya sibuk mikirin cara bayar tagihan listrik.
Pagi ini, alarm HP ku keok lagi. Untung, tetangga yang hobi nyanyi dangdut jam 6 pagi jadi alarm darurat. Bangun dengan rambut kayak sarang burung, langsung ngibrit ke dapur nyari sarapan—roti tawar sisa kemarin yang udah alot, tapi lumayanlah buat ganjel perut.
Emak udah cabut ke warung, ninggalin note di meja makan:
"Jangan lupa kelas sore. Makanan di kulkas diangetin. Rejeki dicari, bukan ditunggu!"
Itu mah, signature quote-nya Emak. Tiap baca, rasanya kayak disindir tapi disemangatin sekaligus.
Untungnya sekolah kemarin berjalan kayak biasa: pelajaran, tugas dadakan, momen eksistensiku dipertanyakan pas guru matematika nulis rumus aneh di papan tulis. Sampe akhirnya, sore dateng, dan aku siap-siap buat kelas tambahan tetapi harus pulang dulu buat ambil buku yang ketinggalan dirumah.
Eh, baru aja keluar gang, ada penampakan yang bikin aku auto-berhenti.
Cakra.
Nyender di motor itemnya, jaket disampirin doang, tangan nyelup di saku. Dan—ini nih yang bikin emosi—senyum itu lagi. Senyum sok cool, kayak abis menang taruhan aku bakal lewat sini.
"Nggak nyangka lo nyambi jadi stalker, ya? Kok bisa nongol di mana pun gue berada?" semprotku sambil nyengir.
"Insting gue kuat kalo lo lagi butuh tebengan," balesnya enteng.
"Salah insting. Gue lagi butuh me time." koreksi ku menghela nafas pelan melihat kearah jalan, dimana angkot tujuan sekolah sudah lewat. “Berarti lo beruntung.“
"Lo dapet dua-duanya. Me time di belakang gue," lamjutnya, nunjuk jok motor. Aku lirik motornya. Mewah, jelas. Lucunya, helm yang dia kasih ada stiker "Live Laugh Love" pink pudar. Udah kayak helm yang dia bawa kabur di parkiran sepi.
"Serius ini helm lo?" tanya ku tidak percaya.
Dia cengengesan. "Punya adek gue. Tapi kayaknya cocok buat lo."
"Cocok buat bikin gosip," bantah ku dengan sedikit pembenaran si cewek miskin.
"Justru bagus. Latihan, pura-pura biar makin real." balesnya enteng, mata coklatnya tampak tajam menyoroti helm ditanganku..
Aku mendengus. "Latihan mulu? Kita kayak mau persiapan teater kelulusan."
"Kalo mau meyakinkan, ya harus latian," tekannya. Dengan suara yang dalam dan kepala yang miring.
"Terus, skenarionya apaan nih?"
"Simpel. Lo pura-pura suka sama gue di depan orang," ucapnya santai. Cakra membuatku merasa tercekik di tempat, aku melipat tangan di dada. "Serius, Cak? Masih bahas itu?" Baru satu hari tenang dengan kata kontrak itu.
"Kontraknya gimana?" Cakra tersenyum tipis meraih tas ranselku tanpa diminta.
Aku balas tatap dia tajem. "Bayarannya?"
Cakra senyum miring. "Mau dibayar apaan? Duit, makanan, atau... amal?"
"Gue pilih yang terakhir," jawabku malas. Hendak menarik tas dari tangannya namun cowok jangkung itu menjauh sedikit menyandar pada motornya. .
"Amal?" keningnya berkerut samar.
Aku menipiskan bibir, menghela nafas pendek. "Yup. Biar lo belajar jadi manusia normal,"
Dia ngakak. "Oke, very specific. Langkah pertama?"
Aku tunjuk warung gorengan di ujung jalan. "Mulai dari hal kecil: beli gorengan sendiri. Nggak pake nyuruh-nyuruh."
"Gue pernah beli, kok," bantahnya. Menegakkan punggung, melirik kearah warung.
"Bohong. Lo aja nggak tau harga bakwan sekarang," sanggahku jelas tidak percaya, paling mentok dia makan gorengan yang dia beli di restoran hotel bintang tujuh!
Cakra kelihatan mikir bentar, terus nanya polos, "Masih gopek?"
Aku nyaris keselek ludahku sendiri. "Gopek? Cakra, itu harga zaman gue masih ngempeng!"
Tawanya meledak, bikin suasana sore jadi nggak terlalu bikin emosi. Sial. Aku sedikit mual mendengar dia berkata. “Lo bikin hal biasa jadi menarik, nanti kita coba deh. Tapi, bagian di panggang supaya sehat ”
....
Akhirnya, mau tak mau aku berangkat bareng Cakra. Karena jam kelas yang mepet, sekaligus hemat ongkos. Aku suka rela duduk diatas motor setelah disogok bubble tea yang katanya viral kata warga sekitar rumah. Cakra beliin cuma-cuma. Sumpah, lama kelamaan memang aku kayak porotin kekayaan dia. Angin sore nyapu rambutku yang aku ikat setengah dengan ikat rambut merah jambu yang sudah melar. Alhasil aku melihat dari kaca spion bagaimana keadaan rambutku, sampai sekolah pasti berantakan.
Dan buat beberapa detik, semua hening—cuma suara mesin motor sama detak jantungku yang nggak karuan.
"Sa," panggil Cakra, pelan teredam helm. Namun karena posisi motor ini yang tidak bisa berjauhan dengan jok panjang, aku jelas mendengarnya.
"Hm?" sahutku tanpa menebak apa yang ingin dia bicarakan.
"Gue pengen nanya sesuatu," ucapnya, mata coklat Cakra melirik sesekali kearah kaca spion.
"Kalimat itu biasanya berujung bencana," candaku niat tidak niat dengan pertanyaan cowok itu.
Cakra terkekeh. "Serius. Lo pernah ngerasa nggak pengen jadi orang lain?"
"Pernah. Pas ngerjain PR fisika," jawabku asal sedikit berteriak agar tidak ada drama hah-hah?!
"Gue serius, Kayyisa," tekannya.
Aku terdiam, lebih milih mandangin langit senja. Dengan backsound dikepala indahnya pemandangan~"Kayaknya nggak. Gue lebih sering pengen jadi diri gue yang lebih beruntung aja," jawabku jujur.
Cakra nggak bales.
Lah tadi dia yang tanya, tapi setelah aku balas malah diam. Tapi aku bisa ngerasa, dari cara dia ngelambatin motor, dari lirikan sekilasnya, ada sesuatu yang pengen dia omongin, tapi ditahan.
Entah apa, padahal aku udah mau coba nepuk bahunya buat bilang berhenti aja disini, cari semak-semak kalau kamu kebelet boker Cakra.
Abisnya ekspresinya nahan-nahan gitu.
Sampe akhirnya, kita berhenti di depan sekolah. "Gue tunggu di parkiran," ucapnya, ngelepas helm.
"Ngapain? Mau jemput lagi?"
"Nggak. Cuma pengen liat lo latian jadi 'cewek yang pura-pura suka' di kelas," jawabnya cepat merapikan rambut sebentar terus tangannya menjulur kearah helm yang aku pakai, dia bantu aku buat buka helmnya yang sebenarnya aku bisa sendiri. “Hari ini gue bakal telat masuk kelas, ada urusan di perpus.”
Aku nyengir, masih belum nggeh dengan perkataan lanjutan dari Cakra. malah balas berujar. "Lo kayak produser sinetron ngelatih figuran." niat meledek.
"Lo figuran paling mahal yang pernah gue rekrut."
OH YA JELAS! Itu sudah pasti tiga bulan dibayar, terus traktir dan ayam geprek tiap hari menanti ...
"Lo bos paling nyebelin yang pernah gue temuin," timpalku mengambil tas dari tangannya lalu bertanya balik. “Ayok aku duluan jalan?”
“Bareng?”
“Eh jangan deh, nggak enak nanti diliatin.” Aku merutuk sendiri dengan pertanyaan konyolku tadi. Bagaimana bisa mulut suci ini mengajak Cakra Adinata jalan berbarengan dikoridor sekolah? Bisa-bisa nambah haters.
“Lo duluan, gue nyusul.”
Kelas sore berjalan sedikit berbeda di hari pertama. Tanpa kehadiran Cakra, aku malah sedikit tidak terlalu diperhatikan dikelas. Nyaman, namun aku begitu aneh dengan semua orang memang gosip bagaikan berita angin yang datang cepat namun lebih cepat terbawa arus.
Tanpa Cakra pun aku menjadi lebih fokus, belajar dengan sedikit—ingat sedikit pikiran ku masih ke obrolan tadi. Cakra bilang pengen latian—dan kontrak yang dibuat di kafe tempat kerjaku tempo lalu, cuma buat kontrak. Tapi kayaknya, dia beneran pengen tau gimana caranya hidup normal, lepas dari embel-embel "pangeran sekolah."
Dan di situ Aku sadar… mungkin Cakra bukan gangguan dari neraka. Mungkin, dia cuma cowok yang belum tau caranya jadi biasa.
💞 Catetan untuk bab berikutnya ...
"Latian pura-pura suka" ternyata bukan soal akting doang.
Tapi tentang nyari titik tengah antara realita sama hal konyol yang lama-lama mulai terasa… nggak sepenuhnya palsu.
✨ Bersambung...