“Sakitnya masih kerasa?”
“Sedikit. Tapi bisa ditahan.”
“Kalau kamu bilang ‘bisa ditahan’ sambil geser duduk tiga kali … itu artinya nggak bisa, Dhifa.”
“Kamu terlalu kasar tadi pagi,” batin Nadhifa.
***
Renzo Alverio dan Nadhifa Azzahra saling mencintai, tapi cinta mereka dibatasi banyak hal.
Renzo, CMO Alvera Corp yang setia pada gereja.
Nadhifa, CFO yang selalu membawa sajadah dan mukena ke mushola kantornya.
Hubungan mereka tak hanya ditolak karena beda keyakinan, tapi juga karena Nadhifa adalah anak simpanan kakek Renzo.
Nadhifa meski merasa itu salah, dia sangat menginginkan Renzo meski selalu berdoa agar dijauhkan dari pria itu jika bukan jodohnya
Sampai akhirnya suatu hari Renzo mualaf.
Apakah ada jalan agar mereka bisa bersatu?
*
*
*
SEKUEL BILLIORAIRE’S DEAL : ALUNALA, BISA DIBACA TERPISAH
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
01. MEREKA BERCIUMAN
ALVERA CORP—Bagian perusahaan dari Alverio Group yang berfokus pada Lifestyle, Brand Management, Strategic Finance
Hawa ruang rapat yang sejuk dan wangi aroma kopi premium nyaris tak mampu menenangkan degup jantung Nadhifa. Dia duduk di antara rekan-rekan barunya di Divisi Pemasaran, mencoba menyerap setiap kata yang diucapkan Manajer Divisi.
Setelah berbulan-bulan magang di divisi keuangan, kembali ke Alvera Corp dengan status karyawan tetap di divisi yang berbeda terasa seperti permulaan baru yang mendebarkan.
Tiba-tiba, suasana hening. Perhatian semua orang tertuju ke pintu yang terbuka. Sosok tinggi tegap dengan aura kepemimpinan yang kuat melangkah masuk, diikuti oleh seorang pria lain yang membuat Nadhifa hampir tersedak napasnya.
Itu adalah Alaric Alverio, CEO Alverio Group sekaligus putra mahkota Kerajaan Alverio. Namanya begitu legendaris, bahkan saat Nadhifa magang dulu, dia hanya pernah melihatnya dari kejauhan.
Tapi yang membuat matanya terpaku justru pria di samping Alaric.
“Selamat pagi, semuanya,” ujar Alaric dalam dan berwibawa, memecah kesunyian. “Saya tidak akan banyak basa-basi. Tim Pemasaran kita akan mendapat tambahan darah baru sekaligus pemimpin untuk proyek khusus yang sedang kita garap. Izinkan saya memperkenalkan,” ujarnya sambil menepuk pundak pria di sebelahnya, “Renzo Alverio.”
Desis kecil terdengar dari beberapa perempuan di ruangan itu. Nadhifa sendiri merasa dadanya berdebar kencang.
Renzo Alverio.
Dia pernah mendengar namanya sekilas, sepupu Alaric yang dikenal kurang tertarik dengan bisnis keluarga. Tapi melihatnya secara langsung adalah pengalaman yang berbeda.
Wajahnya tampan dengan sorot mata yang tajam namun menyimpan kesan hangat, mirip dengan Alaric, terutama pada garis rahang dan senyumannya.
“Renzo akan bertindak sebagai ketua tim untuk proyek kolaborasi kita dengan brand internasional bulan depan. Dia membawa segudang ide segar, dan saya percaya kalian semua akan bisa bekerja sama dengan baik,” lanjut Alaric.
Renzo kemudian melangkah sedikit ke depan, senyum ramahnya terpancar. “Morning, All. Senang akhirnya bisa bekerja sama dengan tim yang hebat. Panggil saja Renzo. Saya berharap kita bisa berkolaborasi dengan baik, tidak hanya sebagai atasan dan bawahan, tapi juga sebagai rekan satu tim.”
Suaranya terdengar menenangkan dan bersahabat. Nadhifa mengamati caranya berbicara, percaya diri namun tidak sombong. Benar-benar berbeda dengan gambaran ‘anak bos’ yang sering dia dengar.
Tak lama setelah perkenalan singkat, Alaric dan Renzo pun meninggalkan ruangan untuk rapat lebih lanjut di dalam. Ruangan kembali riuh dengan bisik-bisik.
“Wah, dia gantengnya nggak ketulungan ya?” bisik seorang rekan di sebelah Nadhifa.
“Iya! Aura-nya beda banget sama Pak Alaric, lebih ... hangat, gitu.”
“Tapi lihat nggak tadi, mereka berdua keliatan banget dekatnya. Padahal kan sepupu.”
Nadhifa hanya mengangguk kecil, pikirannya masih melayang pada sosok Renzo. Tapi kemudian, obrolan di sebelahnya menarik perhatiannya.
“Katanya sih, mereka berdua itu nggak cuma sepupu, tapi juga udah kayak saudara kandung sejak kecil,” bisik seorang karyawan senior. “Renzo ini kan lebih sering dirawat dan dibesarkan sama ibunya, Ibu Adelina. Dan dia anak tunggal. Jadi ya, tumbuh bareng sama Alaric.”
“Ibu Adelina? Itu ibunya Renzo? Sayang banget ya sama Renzo pasti?” tanya rekan yang lain.
“Nggak, itu ibu tirinya. Ibu kandungnya kan Vivianne. Tapi katanya, hubungan Renzo sama ibu kandungnya sendiri kurang baik. Ibu tirinya, Ibu Adelina, itu yang ngasih dia kasih sayang penuh. Sampe-sampe, karena suatu penyakit, Ibu Adelina nggak bisa punya anak lagi, jadi Renzo dianggap seperti anak kandungnya sendiri.”
Mendengar itu, serpihan informasi yang pernah Nadhifa dengar tentang keluarga Alverio mulai menyambung. Keluarga yang tampak sempurna di luar, ternyata memiliki dinamikanya yang kompleks.
Seorang anak dengan dua ibu. Satu yang penyayang namun bukan ibu kandung, dan satu lagi ibu kandung yang justru digosipkan bersikap seperti ibu tiri karena obsesinya pada warisan.
Duduk di kursinya, Nadhifa merenung. Di balik senyum ramah dan ketampanannya, ternyata Renzo menyimpan cerita hidup yang tidak sederhana.
Rasa penasarannya pada pria itu mulai membuncah, bukan lagi hanya sebagai ketua tim barunya, tetapi sebagai seorang lelaki yang dibesarkan dalam bayang-bayang perseteruan warisan dan dilema kasih sayang dua ibu.
Gosip bahwa dia dan Alaric sangat dekat pun kini masuk akal. Mereka bukan hanya sepupu, tapi seperti saudara yang diikat oleh pengasuhan yang sama.
Dia menarik napas dalam-dalam. Dunia Alverio ternyata jauh lebih dalam dan rumit dari yang pernah dia bayangkan.
Dan entah mengapa, sosok Renzo Alverio tiba-tiba terasa seperti sebuah misteri yang ingin sekali dia pecahkan.
...***...
Senja mulai menyapa kota besar itu. Nadhifa baru saja menyelesaikan sholat Ashar di mushola kecil di lantai 20, lantai paling atas sebelum rooftop.
Ruang kerja di lantai 11 sudah hampir sepi, hanya tersisa beberapa rekan yang masih menyelesaikan tugasnya. Nadhifa mematikan komputernya, berencana pulang lebih awal hari ini.
Saat sedang memindahkan tas kerjanya ke bahu, pandangannya tertangkap pada sebuah pemandangan yang tidak biasa. Dari kursinya yang kebetulan menghadap langsung ke koridor executive, ia melihat sosok tinggi tegap yang tak asing lagi.
Alaric Alverio.
Aneh, pikir Nadhifa dalam hati. Seingatnya, Alaric sangat sibuk mengurusi induk perusahaan, Alverio Group, dan jarang sekali muncul di Alvera Corp, apalagi di jam-jam seperti ini.
Alaric tidak terlihat buru-buru. Malah, dia berjalan dengan santai menuju ruang kerja Renzo.
Sebelum mengetuk, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Dia langsung masuk tanpa menunggu jawaban.
Nadhifa, yang terpaku di tempat duduknya, tanpa sengaja mendengar suara obrolan hangat yang samar-samar dari balik pintu. Tertawa kecil. Suara Renzo yang biasanya tenang terdengar lebih cerah.
“Sepertinya mereka benar-benar dekat,” gumam Nadhifa, teringat gosip yang beredar tentang ikatan mereka yang seperti saudara kandung.
Tiba-tiba, gerak-gerik di balik tirai bambu yang menjadi partisi ruang Renzo menarik perhatiannya. Tirai itu tidak benar-benar rapat, terdapat celah-celah kecil. Dari posisinya, Nadhifa bisa melihat siluet dua figur di dalam.
Dia melihat Alaric melangkah mendekati Renzo. Lalu, yang terjadi selanjutnya membuat Nadhifa terbelalak, napasnya tersangkut di tenggorokan.
Dia menyaksikan Alaric dan Renzo. Dua sosok yang dikenalnya sebagai sepupu. Berpelukan erat, dan dalam sekejap, kepala mereka mendekat ... berciuman.
Astagfirullah!
Nadhifa langsung memalingkan muka, dadanya berdebar kencang seperti baru ditabrak mobil. Pipinya memerah membara, lebih karena rasa malu dan paniknya sendiri daripada yang ia saksikan.
Dia buru-buru berdiri, menjatuhkan pulpen yang ada di pangkuannya. Dengan tangan gemetar, dia mengambilnya sementara otaknya berputar kencang.
“Ya Allah, apa yang barusan aku lihat? Itu ... itu bukan ciuman antara saudara, 'kan? Tapi ... mereka 'kan sepupu? Atau...?”
Dia merasa seperti telah mengintip rahasia yang sangat pribadi, sesuatu yang tidak seharusnya ia ketahui.
Tanpa berpikir panjang, Nadhifa mengambil tasnya dan nyaris berlari menuju lift. Jari-jarinya menekan tombol ‘L’ berkali-kali, berharap lift cepat datang.
Dia terus beristighfar dalam hati, berusaha menenangkan diri yang campur aduk. Rasa bersalah karena ‘mengintip’ dan ingin tahu yang terlanjur membara membuatnya kalut.
Dunia Alverio yang semula tampak seperti drama keluarga yang rumit, kini tiba-tiba berubah menjadi sebuah labirin rahasia yang jauh lebih dalam dan gelap dari yang pernah ia bayangkan.
Dan tanpa sengaja, dia baru saja mengintip salah satu pintunya.