Putri Raras Ayu Kusumadewi, putri tunggal dari salah satu bangsawan Keraton Yogyakarta, selalu hidup dalam aturan dan tata krama yang ketat. Dunia luar hanyalah dongeng yang ia dengar dari pengawal dan dayang-dayangnya.
Hingga suatu hari, atas nama kerja sama budaya, Keraton Yogyakarta menerima kunjungan kehormatan dari Pangeran William Alexander dari Inggris, pewaris kedua takhta Kerajaan Inggris.
Sebuah pertemuan resmi yang seharusnya hanya berlangsung beberapa hari berubah menjadi kisah cinta terlarang.
Raras menemukan kebebasan dan keberanian lewat tatapan sang pangeran yang hangat, sementara William melihat keindahan yang belum pernah ia temui — keanggunan Timur yang membungkus hati lembut seorang putri Jawa.
Namun cinta mereka bukan hanya jarak dan budaya yang menjadi penghalang, tapi juga takdir, tradisi, dan politik dua kerajaan.
Mereka harus memilih — cinta, atau mahkota.
.
.
Note: semua yang terkandung dalam cerita hanya fiktif belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uffahazz_2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. The Shadow Heir
Angin dingin Norwegia menusuk tulang.
Kabut tipis menyelimuti pelabuhan kecil di Trondheim, ketika kapal kayu kecil yang membawa William dan Raras akhirnya merapat di dermaga.
Langit masih kelabu, seolah ikut menyimpan rahasia yang belum siap diungkapkan dunia.
“Sudah sampai,” ucap William datar, menatap ke arah rumah tua di ujung dermaga yang dikelilingi pohon pinus rimbun. “Di sana orang itu tinggal.”
Raras menatap arah yang sama. Rumah itu tampak seperti pondok biasa dari luar, tapi aura misteriusnya kuat.
Tidak ada tanda kehidupan, hanya asap tipis dari cerobong dan suara burung gagak di kejauhan.
“Kau yakin orang ini bisa dipercaya?” tanya Raras pelan.
William menatapnya sekilas. “Percaya bukan pilihan. Ini keharusan.”
Mereka berjalan menyusuri jalan berbatu licin. Di depan pintu kayu besar itu, William berhenti, lalu mengetuk tiga kali dengan pola tertentu.
Tiga ketukan pendek, dua panjang.
Suara berat dari dalam menjawab, “Kau datang lebih cepat dari perkiraanku, Alcott.”
Pintu terbuka.
---
Sang Pewaris Bayangan
Sosok pria berdiri di ambang pintu. Tingginya hampir sama dengan William, tapi rambutnya lebih gelap — hitam legam seperti arang.
Tatapannya tajam, penuh amarah yang dingin.
Dan ketika ia menatap William, Raras bisa merasakan sesuatu yang aneh — seperti melihat dua cermin yang memantulkan wajah dari dunia berbeda.
“William,” ucap pria itu, suaranya serak. “Sudah lama.”
William menatapnya lama, seolah tak percaya.
“Seth…”
Raras membelalak. “Kembaranmu?”
Seth Alcott tersenyum miring. “Tampaknya kau belum menceritakan semuanya pada sang putri.”
William menunduk, rahangnya mengeras. “Aku pikir kau sudah mati.”
Seth tertawa kecil, getir. “Mati di atas kertas, iya. Tapi di dunia nyata, aku hanya dihapus.”
Raras menatap keduanya bergantian. “Dihapus?”
Seth berjalan masuk, memberi isyarat agar mereka mengikutinya. “Masuklah. Aku akan jelaskan semuanya — bagaimana kerajaan menciptakan satu pangeran, dan menghapus yang lain.”
---
Rahasia Kelahiran
Ruang tamu pondok itu hangat, dengan perapian besar menyala di sudut.
Di dinding tergantung foto-foto lama — wajah seorang wanita cantik berambut perak, mengenakan kalung berliontin biru safir.
“Itu Ibu kami,” ujar William pelan.
Seth menatap foto itu lama. “Lady Eleanor Alcott. Permaisuri kerajaan yang dianggap sempurna — sampai mereka tahu bahwa anak yang ia lahirkan bukan satu… melainkan dua.”
Raras terpaku. “Kalian lahir kembar?”
Seth mengangguk. “Ya. Tapi dalam garis suksesi kerajaan Inggris, kelahiran kembar dianggap ancaman. Tak ada dua pewaris dari darah yang sama. Mereka takut perpecahan, perang saudara, atau perebutan tahta.”
Ia berhenti sejenak, menatap api yang menari di perapian. “Jadi mereka memutuskan satu harus ‘menghilang’.”
William menelan ludah, matanya berkaca. “Ayahku… Raja Alcott sendiri yang memutuskan itu.”
“Bukan,” potong Seth cepat, suaranya dingin. “Ayah kita tidak tahu apa-apa. Itu keputusan Dewan Mahkota — dengan restu dari Grand Chancellor, paman kita sendiri.”
Raras menatap William. “Jadi Seth diasingkan?”
“Bayi yang lebih lemah,” jawab Seth. “Begitu alasan mereka. Aku dikirim ke Norwegia dalam diam, dibesarkan oleh keluarga pengawal kerajaan yang disumpah untuk tidak pernah membuka mulut.”
---
Sebuah Kebenaran yang Lebih Gelap
Raras masih sulit percaya. “Lalu bagaimana kau tahu semua ini?”
Seth menatapnya dengan sorot dingin. “Karena aku bekerja di dalam sistem mereka. Sebagai mata-mata.”
William menoleh cepat. “Apa?!”
Seth tersenyum getir. “Aku tumbuh dengan satu tujuan: mencari tahu kenapa aku dihapus. Aku masuk ke dinas intelijen kerajaan, mempelajari dokumen, menyusup ke dalam Royal Dominion Project.”
Ia menatap William dalam-dalam. “Dan di sanalah aku tahu — proyek itu bukan hanya rencana aliansi politik, tapi juga pembersihan darah.”
Raras mengerutkan dahi. “Pembersihan darah?”
Seth berjalan mendekat, mengambil secarik kertas tua dari meja, memperlihatkan tulisan tangan rapi dengan lambang kerajaan di sudutnya.
“Dewan Mahkota berencana menjaga ‘kemurnian’ garis keturunan kerajaan Eropa. Mereka menganggap pernikahan campuran, seperti hubunganmu dengan Raras, adalah ancaman bagi stabilitas monarki.”
Suara Seth menurun, dingin dan getir.
“Dan kau tahu yang paling ironis? Aku ditugaskan untuk memastikan rencana itu berhasil. Untuk mengawasi dirimu sendiri.”
William menatapnya tak percaya. “Kau… mata-mata untuk mereka?”
Seth menatap lurus ke arah William, wajahnya tak menunjukkan penyesalan. “Dulu, iya. Sampai aku tahu rencana mereka bukan hanya menghapus keturunan campuran, tapi juga menghabisi siapa pun yang tahu.”
---
Benturan Darah dan Pilihan
Ketegangan di ruangan itu menebal.
William bangkit dari kursi. “Lalu kenapa kau bantu aku sekarang?”
Seth berdiri, menatapnya lekat. “Karena mereka berencana membunuh kita berdua. Dan hanya dengan menghancurkan sistem itu, aku bisa benar-benar bebas.”
Hening. Api di perapian berderak, menciptakan bayangan di wajah keduanya — dua pangeran dari darah yang sama, tapi hidup dalam dua dunia berbeda.
Raras memejamkan mata sejenak. “Jadi selama ini, semua kekacauan, perburuan, bahkan kematian Naima…”
Ia menatap William, “—semuanya karena kau dianggap mengkhianati proyek itu?”
William menunduk, suaranya pecah. “Ya. Karena aku menolak mengikuti permainan mereka.”
Seth berjalan ke arah meja, meletakkan satu amplop hitam.
“Di dalam sini ada salinan surat keputusan Dewan Mahkota — termasuk nama anggota yang terlibat, dan dokumen yang bisa menjatuhkan mereka. Tapi untuk menyebarkannya, kita butuh satu hal…”
Raras menatapnya. “Apa itu?”
Seth menatap William dalam-dalam, lalu berkata perlahan —
“Darah kerajaan yang sah — tandatanganmu.”
---
Sumpah di Tengah Salju
Malam turun lagi di Norwegia. Salju mulai menutupi atap rumah, memantulkan cahaya bulan pucat.
William berdiri di balkon, menggenggam surat itu. Raras mendekat, menyampirkan selendang di bahunya.
“Kau akan menandatanganinya?”
William menatap kertas di tangannya. “Kalau aku lakukan itu, artinya aku mengumumkan perang terhadap keluargaku sendiri.”
Raras menyentuh tangannya lembut. “Kadang darah bukan tentang siapa yang melahirkanmu… tapi tentang siapa yang berani memilih kebenaran.”
William menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. “Kau benar. Dan aku sudah terlalu lama diam.”
Ia membuka surat itu, menandatanganinya dengan tinta merah darah.
Seth muncul di ambang pintu, menatapnya tanpa ekspresi. “Mulai saat ini, dunia akan berubah. Dan kerajaan akan gemetar.”
Raras memandangi dua bersaudara itu — satu mewakili masa lalu, satu menatap masa depan — keduanya disatukan bukan oleh mahkota, tapi oleh luka dan tekad.
nah,,, buat sebagian org, cinta nya kok bisa diobral sana sini,, heran deh,,
aku suka,,,aku suka,,,
mommy komen nih ya,,,🥰
kalo sempet blz komen kita" ya
senang banget mommy atuh neng,,,
bisa baca karya mu di sini lg🥰