Erik koma selama 3 Minggu, setelah jatuh & terjun bebas dari atas ketinggian pohon kelapa, namun selama itu pula badannya hidup & berinteraksi dengan keluarga maupun orang-orang di sekelilingnya, lalu siapa yang mengendalikan dirinya jika jiwanya sedang tak bersama raganya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosy_Lea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semedhi
Pas aku sampai di saung deket villa, pemandangan yang aku temuin bener-bener bikin aku pingin ledakin pos ronda, biar ngerasain yang namanya panik berjamaah.
Suamiku duduk selonjoran, matanya setengah kebuka, kaya orang baru tidur dipaksa melek. Mukanya merah pias, punggungnya lagi diurut sama ibu-ibu tukang urut, aromanya udah kayak pepes. komplit, wangi rempah-rempah herbal yang nggak kutahu namanya, tapi katanya sih mujarab.
Diajak ngomong cuma jawab, “Hhhmm…”
Terus, “Hhhmm…”
Sumpah, itu suara bukan jawaban, tapi sinyal SOS terselubung!
Aku udah nangis heboh, banjir air mata. Lah orang-orang di sana? Duduk santai, cemil kerupuk, ngobrol.
"Masuk angin aja ini mah," kata mereka.
“Udah diurut, nanti juga baikan,” tambah yang lain.
Yang bikin makin pengen gulung karpet, sesepuhnya malah bilang,
“Udah nggak papa, nanti pas adzan dhuhur juga bisa jalan lagi…”
MasyaAllah... ini beneran Indonesia tahun 2025 atau aku nyasar ke zaman kerajaan Majapahit??
Aku khawatir sendiri, nangis sendiri, panik sendiri, semua serba sendiri.
Nggak ada satu pun yang nyeletuk,
"Ayo ke rumah sakit, periksa rontgen, CT scan kek..."
Padahal jatuhnya dari pohon kelapa tujuh meter, bukan dari pangkuan ibu.
Itu tubuh isinya bukan kapas, ada tulang, ada otak, ada organ vital! Masa iya cuma diurut terus nunggu dhuhur biar sembuh?
Rasanya pengen teriak,
“Aku butuh logika, bukan ramuan dan angin-angin mistis!”
Dan kalian tahu, besty? Di situ ada banyak kader desa, ada yang punya mobil, ada yang punya banyak uang, ada yang punya kuasa, cukup satu perintah, pemuda-pemuda desa pasti langsung bergerak. Tapi… di mana nurani mereka? Ke mana rasa simpati mereka pergi?
Suamiku jatuh dari atas pohon kelapa setinggi tujuh meter, dan cuma diurut… dikerok…
Habis itu dengan santainya bilang, “Nanti juga sembuh, dhuhur bisa jalan lagi.”
Serius? Di mana hati mereka? Apa mereka pernah membayangkan kalau kejadian ini menimpa orang yang mereka cintai? Pasangan hidup mereka? Anak mereka?
Ada air mata seorang istri yang jatuh diam-diam karena merasa tak dianggap.
Ada mental dan jiwa anak-anak yang belum paham dunia, belum memiliki dosa, yang kelak akan mencari tahu, kenapa ayah mereka dibiarkan dengan luka di dalam tubuh, bahkan sampai meninggalkan bekas cacat, karena penanganan yang telat?
Semua karena kurangnya rasa peduli, simpati, dan kemanusiaan.
Kenapa ayah dari anak-anakku harus menahan sakit siang malam, tanpa tahu bagian tubuh mana yang sebenarnya rusak, karena tak pernah dibawa ke rumah sakit?
Bukan karena tak ada jalan, tapi karena tak ada rasa peduli.
Dan itu... luka yang jauh lebih dalam dari sekadar memar di tubuhnya.
Akhirnya satu per satu orang mulai bubar, mungkin mereka pikir misi penyelamatan selesai. Tinggallah aku berdua sama suamiku di saung, duduk berhadapan sama makhluk Tuhan paling misterius hari ini, yang katanya “nggak kenapa-kenapa”, tapi buat geser badan aja butuh dibantuin.
Bestie, coba bayangin yaa...
Orang jatuh dari pohon kelapa setinggi tujuh meter, tujuh meter, bukan tujuh senti!
Terlempar ke tanah yang keras, kering, retak-retak bekas kemarau panjang.
Tapi, anehnya, nggak ada satu pun luka terbuka. Nggak ada benjol, nggak ada lecet, nggak ada darah netes.
Kaya jatuhnya bukan ke tanah, tapi ke kasur kapuk dilapisi awan tipis dengan belaian bidadari.
Masuk akal nggak, bestie?
Jelas nggak!
Logikaku udah minta pensiun dini!
Suamiku kelihatannya utuh, tapi dalemnya? Aku nggak tahu.
Dan yang paling bikin nyesek, cuma aku yang kelihatan panik, yang lain santai, serasa abis nonton drama dan siap lanjut ke episode selanjutnya.
Hati kecilku cuma bisa teriak,
“Ya Allah, jangan biarin aku jadi janda dadakan gara-gara kepercayaan yang kelewat optimis...”
Agak lama baru kelihatan juga akhirnya...
Kaki kanannya mulai membengkak, pelan-pelan tapi pasti.
dan katanya pas jatuh itu posisinya miring ke kanan.
Ya pantes aja kaki sebelah kanan sekarang udah mulai ngambek. Terus yang tadi masih bisa duduk selonjoran sekarang cuma bisa tidur bersandar, susah gerakin badan.
Dan aku cuma bisa menatap dengan pandangan nano-nano antara panik, sebel, sedih, sama pengen nyubit pipi.
Aku temani raga pak su sambil bacain dzikir dan ayat-ayat pendek, berharap bisa bantu nenangin rasa sakitnya atau minimal bikin dia lebih tenang.
Eh taunya… dia malah meringis sambil ngrengek
“Yang… aku pengen ke kamar mandi…” katanya dengan suara lemah tapi ngotot.
Yaaa Allah… ini suami jatuh dari pohon kelapa, belum bisa gerakin badan sendiri, tapi udah pengen ke kamar mandi.
Aku bilang, “Mau apa? Di sini aja ya… nggak ada orang kok, nanti aku yang bersihin.”
Tapi dia geleng-geleng, matanya setengah merem tapi keras kepala banget, tetep maksa, “Ke kamar mandi aja... nggak mau di sini...”
Ya Allah, padahal buat geser badan aja dia megap-megap. Aku yang liat sampe bingung harus nangis dulu apa tarik napas dulu.
“mbeeb, disini aja ya, aku yang bantuin, pelan-pelan... nggak usah maksain ke kamar mandi, mau gerak aja susah belum bisa,” kataku lagi, setengah nahan tangis setengah nahan emosi.
Tapi dasar pak su kepala batu, tetep aja maksa.
Sumpah bestie, ini bukan cuma ujian fisik, tapi ujian kesabaran tingkat akhir.
Suami jatoh dari pohon kelapa, badannya remuk, tapi gengsi dan idealismenya masih utuh.
Dia ngerengek terus minta ke kamar mandi, sementara aku udah nyaris short circuit antara panik, bingung, dan lelah. Akhirnya dengan langkah setengah lari, aku keluar saung cari bala bantuan.
Pas lihat ada beberapa bapak-bapak lagi siap-siap motong kerbau di deket villa, langsung aja aku samperin dengan muka kucel dan suara serak.
“Pak, pak... tolongin Erik dong... dia mau ke kamar mandi... tapi nggak bisa gerak sendiri... tolong bantuin ya...”
Alhasil, para bapak-bapak yang tadinya udah siap pisau buat nyembelih kerbau, langsung berubah haluan jadi pasukan gotong royong darurat. Dengan gerakan setengah bingung tapi sigap, mereka berdiri lagi, ninggalin kerbau yang udah pasrah di tempat, terus pindah tugas: nggotong suamiku ke kamar mandi.
Suasananya jadi absurd banget, kerbau nunggu disembelih, suami minta ke kamar mandi, aku udah kayak komandan panik di tengah dua operasi penting.
Tapi seolah semesta belum puas nguji kesabaran, drama belum kelar bestie…
Perjuangan cari bala bantuan buat gotong suami ke kamar mandi, pengorbanan para bapak relawan yang rela pending gorok kerbau, ternyata berakhir sia-sia.
Suamiku, dengan tenangnya malah merem di kamar mandi. Ya Allah, itu orang tapa apa gimana? Duduk diem, mata merem, seolah nemu tempat healing paling sakral di dunia.
Aku sampai mikir, ini manusia normal apa udah nyatu sama energi mistis desa?
Ya Allah, bener-bener deh… kalau aja di situ ada santri atau ustadz, bisa jadi suamiku udah di-ruqyah. Lha gimana enggak, gayanya udah persis orang kesurupan, denger dzikir bukannya adem malah minta ke kamar mandi, eh pas nyampe sana bukannya setor dosa kecil, malah duduk merem kaya lagi semedhi.
Mana ada orang waras betah diem di kamar mandi kaya lagi meditasi. Akhirnya dengan di paksa dia digotong balik ke saung, meski dia nya ngotot pengen stay di sana. Lah kita juga mikir, mau ngapain nungguin orang merem diem di kamar mandi, bisa-bisa kita jadi patung gips juga di pojokan.