Arkan itu cowok baik—terlalu baik malah. Polos, sopan, dan sering jadi sasaran empuk godaan Elira, si gadis centil dengan energi tak terbatas.
Bagi Elira, membuat Arkan salah tingkah adalah hiburan utama.
Bagi Arkan, Elira adalah sumber stres… sekaligus alasan dia tersenyum tiap hari.
Antara rayuan iseng dan kehebohan yang mereka ciptakan sendiri, siapa sangka hubungan “teman konyol” ini bisa berubah jadi sesuatu yang jauh lebih manis (dan bikin deg-degan)?
Cinta kadang datang bukan karena cocok—tapi karena satu pihak nggak bisa berhenti gangguin yang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QueenBwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Tujuh
"Orang tua itu pikir aku tak tahu jika cucunya ternyata sakit jiwa."
Arkan masih menatap sang ayah, "Maksud ayah?"
Tuan Harsa meminum winenya sejenak sebelum kembali menatap puteranya, "Aku mendapat info dari seseorang kalau cucu tuan Hans mengalami gangguan kejiwaan karena trauma masa lalu. Tch.. Aku hampir saja tertipu."
"Ayah.."
"Pokoknya bujuklah Elira untuk memutuskan hubungan kalian. Ayah yakin jika ia yang bicara pada kakeknya kita akan baik-baik saja."
"Ayah."
"Lagipula.. Ayah sudah menemukan calon yang lebih baik darinya. Keluarganya cukup terpandang di Eropa dan tentu saja ia tak memiliki penyakit mental."
"AYAH!"
"Apa-apaan itu, Arkan? Itu sangat tak sopan."
"Aku mencintai Elira, Ayah. Dan aku akan menikahinya seperti rencana awal.." Tegas Arkan.
"Menikahi gadis tak waras itu? Bukan hanya gila TAPI DIA BAHKAN TAK BISA MEMBERIKANMU KETURUNAN!"
Arkan semakin emosi ketika Elira dihina seperti itu.
"AYAH JANGAN MENGHINA ELIRA!"
"Itu memang benar, sialan! Dia takkan bisa hamil, Arkan. Takkan pernah bisa! Aku menikahkanmu agar bisa mendapatkan keturunan. Kalau tak bisa lalu gunanya apa?!! Hanya menjadi beban!"
BRAK!
Arkan menusuk pisau steak diatas meja kayu yang cukup tebal itu hingga tertancap kedalam. Wajahnya memerah karena marah, begitupun tangannya yang mengepal kuat dipegangan pisau itu.
"Elira bukan beban! Aku mencintainya dan akan menikahinya. Tak ada yang bisa menghentikanku, meski itu Ayah sekalipun!" Geramnya marah lalu beranjak pergi setelah dengan kasar menendang salah satu kursi.
"..bahkan jika Arfan kakakmu terluka bersama dengan istrinyapun.. Kau tetap tak perduli?
Langkah kaki Arkan berhenti, mengambang diudara dengan syok. Jantungnya seperti dipukul kuat sekali.
Tuan Harsa tersenyum miring, "Pikirkan lagi, anakku. Arfan tak penting untukku, kehilangannya takkan jadi masalah. Tapi bukankah ia kakak tersayangmu? Pikirkan Arkan.. Elira atau Arfan?"
Untuk pertama kalinya Arkan benar-benar berharap ia tak pernah dilahirkan saja.
***
Elira memberontak keras ketika Arkan mendorongnya hingga terjatuh ke tempat tidur. Napas keduanya sama-sama memburu, tapi bukan karena gairah—karena ketakutan. Tatapan Arkan gelap, matanya kosong, seperti bukan dirinya sendiri.
“Arkan, hentikan… ada apa denganmu?” Suaranya bergetar, bukan karena dingin, melainkan karena tubuhnya menolak percaya pada apa yang sedang terjadi.
Arkan tidak menjawab. Tangannya mencengkeram pipi Elira begitu kuat hingga terasa sakit. Ciumannya datang begitu saja—kasar, penuh amarah, tanpa kasih yang biasanya selalu terasa di dalamnya. Elira menjerit tertahan, mencoba melawan, tapi kekuatan Arkan jauh lebih besar.
“Kenapa?! Kau mau meninggalkanku seperti ibu?!” teriak Arkan di antara napasnya yang tak teratur. Suaranya pecah, bukan hanya karena marah—tapi juga ketakutan yang jauh lebih tua dari dirinya sendiri.
Elura menangis. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan selain menggeleng berulang kali. “Tidak, Arkan aku tidak akan pergi,” katanya, parau, setengah memohon. Tapi Arkan semakin tersudut dalam pikirannya sendiri.
“Kau bohong!”
Satu suara tamparan menggema. Elira tak tahu siapa yang lebih kaget—dirinya atau Arkan. Keheningan sesaat yang mengikuti justru lebih menusuk daripada teriakannya tadi.
Wajah Arkan perlahan berubah. Pandangannya mulai fokus kembali, dan horor mulai merambat di raut wajahnya sendiri ketika ia sadar apa yang baru ia lakukan. Tubuh Elira bergetar, menangis tanpa suara.
“Apa yang kulakukan…” bisik Arkan, suaranya parau dan nyaris tak terdengar. Ia mundur satu langkah, lalu dua, sebelum akhirnya jatuh berlutut di lantai.
“Jahat.. Kau jahat seperti Ibu,” suara Elira lirih, nyaris patah.
Ucapan itu menghantam Arkan lebih keras dari apa pun. Ia segera merangkak mendekat, memeluk Elira dengan panik, seolah takut kalau orang itu akan hancur jika tidak segera direngkuhnya.
“Maaf… aku tidak sadar… aku tidak tahu kenapa… aku hanya—”
“Ssshh…” Elira menutup mulutnya dengan gemetar. “Aku takut, Arkan. Aku takut melihatmu seperti itu.”
Arkan mengangguk cepat, menunduk di dada Elira seperti anak kecil yang dihantui rasa bersalah. “Aku janji. Tidak akan lagi. Aku bersumpah.”
Keduanya diam lama. Hanya terdengar isakan dan suara napas yang saling mencari ritme. Ketika akhirnya mata mereka bertemu, yang tersisa hanyalah kelelahan dan rasa bersalah yang terlalu berat untuk diucapkan.
Di malam itu, cinta mereka tak hilang, tapi sesuatu di antara mereka retak—tak sepenuhnya pecah, tapi cukup untuk membuat keduanya tahu: ada luka yang tidak akan sembuh hanya dengan pelukan.
Arkan memeluk Elira erat, seolah takut kehilangan pegangan terakhirnya di dunia. Rasa bersalah dan amarah bercampur dalam satu tarikan napas. Elira menatap wajah itu lama—wajah orang yang baru saja menakutinya, tapi juga orang yang ia cintai.
“Arkan,” panggilnya pelan.
Tidak ada jawaban. Hanya keheningan dan gemetar di antara mereka. Lalu sesuatu dalam diri Elira runtuh—dinding yang menahan semua rasa sakit, takut, dan cinta. Ia tidak memaafkan, tapi ia juga tidak bisa menjauh.
Arkan menunduk, menyentuh kening mereka. Dunia di luar seakan lenyap. Tidak ada kata, tidak ada janji, hanya cara mereka berdua mencoba memperbaiki sesuatu yang sudah retak dengan satu-satunya bahasa yang masih mereka punya: keintiman.
Malam itu tidak diwarnai gairah, tapi kesedihan yang lembut. Dua jiwa yang sama-sama berdarah mencoba saling menenangkan, saling percaya lagi—meski tahu besok mereka harus menanggung artinya.
Ketika pagi datang, Elira terbangun lebih dulu. Udara terasa berat. Arkan tertidur di sampingnya, wajahnya tenang, tapi di mata Elira hanya ada sisa tangis yang tak terlihat. Ia menyentuh tangan itu perlahan, sadar kalau cinta bisa menjadi obat, tapi juga luka yang paling dalam.
Tapi Elira tidak menyesali apapun yang terjadi.