“Dikhianati suami, ditikam ibu sendiri… masihkah ada tempat bagi Andin untuk bahagia?”
Andin, seorang wanita sederhana, menikah dengan Raka—pria miskin yang dulu ia tolong di jalan. Hidup mereka memang pas-pasan, namun Andin bahagia.
Namun kebahagiaan itu berubah menjadi neraka saat ibunya, Ratna—mantan wanita malam—datang dan tinggal bersama mereka. Andin menerima ibunya dengan hati terbuka, tak tahu bahwa kehadiran itu adalah awal dari kehancurannya sendiri.
Saat Andin mengandung anak pertamanya, Raka dan Ratna diam-diam berselingkuh.
Mampukah Andin menghadapi kenyataan di depannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Malam turun dengan sunyi yang aneh.
Langit gelap, dan hujan gerimis jatuh perlahan, menimbulkan suara lembut di atap rumah Andin. Lampu-lampu di ruang tamu menyala temaram. Ia baru pulang dari lokasi syuting, tubuhnya lelah, tapi pikirannya masih dipenuhi naskah dan jadwal yang menumpuk.
Andin membuka pintu rumah perlahan.
Semua tampak normal — sampai langkahnya memasuki ruang tengah.
Ia berhenti.
Bantal sofa berserakan di lantai, vas bunga pecah, dan kaca jendela sedikit terbuka padahal tadi pagi ia yakin telah menutup semuanya rapat-rapat. Napasnya memburu. Ia berusaha menenangkan diri, berpikir mungkin ada kucing liar masuk dari jendela. Tapi instingnya berkata lain.
Ia menunduk, melihat bekas sepatu di lantai kayu yang bukan miliknya. Bekas itu mengarah ke tangga menuju lantai atas.
“Andin… tenang,” bisiknya lirih pada dirinya sendiri. Menatap kearah bekas sepatu itu melangkah.
“Mungkin cuma salah ingat…” gumamnya lagi mencoba menenangkan diri.
Langkahnya perlahan menapaki tangga satu per satu. Setiap langkah terasa berat dan menegangkan. Rumah yang biasanya terasa hangat, kini berubah menjadi tempat asing yang mengancam.
Ketika tiba di depan kamar, ia mendapati pintunya terbuka sedikit. Hembusan angin membuat tirai kamar bergerak pelan. Andin menelan ludah, lalu mendorong pintu itu dengan hati-hati.
Dan di sanalah dia melihatnya.
Tulisan besar di dinding kamarnya — tergores dengan lipstik merah menyala, membentuk kalimat yang membuat darahnya berhenti mengalir.
“Selamat datang, Andin. Aku kembali.”
Andin berdiri kaku. Wajahnya memucat, tubuhnya bergetar hebat.
Jantungnya berdetak begitu cepat hingga terasa menyakitkan di dada. Ia melangkah mundur perlahan, tangan menutup mulutnya agar tidak berteriak.
Lipstik itu… baunya masih baru.
Seseorang baru saja berada di dalam kamarnya.
Dengan tangan gemetar, Andin meraih ponselnya. Ia segera menekan nomor Hans.
Tapi layar ponsel menunjukkan tulisan “Tidak ada jaringan.” Ia mencoba lagi—tapi tetap gagal.
Sinyalnya hilang, padahal rumahnya berada di pusat kota.
Andin menatap sekeliling dengan napas memburu.
“Siapa di sana!?” teriaknya, suaranya bergetar, antara ketakutan dan keberanian yang dipaksakan.
Tak ada jawaban. Semuanya hening.
Hanya suara derit lembut dari arah dapur.
Andin menoleh perlahan. Cahaya redup dari lampu koridor membuat bayangan panjang di lantai. Ia melangkah mendekat dengan kaki yang gemetar, meraih tongkat besi yang biasa ia simpan di dekat lemari.
Ketika ia menoleh ke arah dapur, suara sesuatu jatuh terdengar keras.
Andin terlonjak, lalu menahan napas.
Ia maju beberapa langkah… dan menemukan sebuah cermin kecil di atas meja makan.
Cermin itu… milik Clara — cermin yang pernah digunakan di lokasi syuting dulu, sebelum Clara dipecat.
Andin terdiam, tubuhnya gemetar tak terkendali.
“Tidak… ini tidak mungkin…”
Lalu tiba-tiba, lampu rumah padam.
Andin menjerit pelan.
Semua gelap. Hanya kilat dari luar jendela yang sesekali menyinari ruangan. Dan di pantulan kaca jendela itu… samar-samar, terlihat bayangan seorang wanita berdiri di belakangnya, rambutnya panjang, dan bibirnya merah menyala.
Andin menoleh cepat — tapi tak ada siapa-siapa.
Hanya suara hujan yang kini turun lebih deras.
Suasana semakin mencekam. Ia berlari ke ruang tamu, bersembunyi di balik sofa, tubuhnya gemetar hebat.
“Siapa pun kau…” bisiknya, suaranya hampir hilang, “…aku tidak takut…”
Namun hatinya tahu — malam itu, seseorang benar-benar kembali. Entah siapa pun itu, Andin benar-benar merasa takut.
Beberapa detik kemudian. Suara langkah kaki terdengar dari arah pintu.
"Andin"
"Kamu bersembunyi?" Ucapnya dengan terus melangkah masuk. Matanya menyusuri sudut dengan senyum miring.
Andin gemetar. Dibalik sofa, digelapnya malam, Andin menutup mulutnya sendiri. Menahan agar dirinya tidak bersuara.
langkah itu semakin mendekat. Andin benar-benar ketakutan hingga tubuhnya bergetar.
"Andin.... jangan takut. Kamu bisa melakukan ini" batin Andin mencoba menyemangati diri sendiri.
Ketika langkah itu terasa semakin dekat. Andin sekuat tenaga memegang tongkat besi ditangannya, bersiap memukul orang itu ketika mendekat.
Hingga saat tibanya, Andin berdiri, mengayunkan tongkat besi itu dan siap memukul.
Namun, tubuhnya membeku. Matanya melebar seketika....
.
.
.
Bersambung.